Stroke

Seorang teman baru saja mendapat musibah. Ibunya terserang stroke. Teman saya itu akhirnya bertanya mengenai pengalaman saya dulu, sewaktu almarhum ayah menderita penyakit yang sama.

Saya bercerita banyak hal. Sebagian besar sih standar. Seperti menghindari makanan dengan kolestrol tinggi. Tidak boleh sate kambing, kurangi jerohan, tak makan kuning telor, dan sekian banyak pantangan lain.

Namun masalah makan ini masih sedikit fleksibel. Apalagi kalau kasusnya di ayah. Ia adalah pecinta makanan kelas wahid. Sukanya sate kambing, gule, dan aneka ria makanan dengan kolestrol tinggi.

Dulu, setelah dirawat di Surabaya selama 1,5 bulan, ayah sempat tak makan masakan dengan garam dan vetsin. Mamak selalu memasak dua hidangan. Satu yang normal, untuk anak-anaknya. Dan untuk ayah: masakan dengan metode rebus atau kukus, plus tanpa garam dan vetsin. Tapi kebiasaan ini hanya bertahan sekitar 2 minggu saja. Mamak saya tak tega melihat ayah tak doyan makan.

Sejak saat itu ayah menganggap remeh pantangan makan. Saya yang sering kebagian pulung, mengantar ayah dengan sembunyi-sembunyi makan sate kambing atau gule di dekat rumah.

“Asal pikiran tenang, makan sate kambing satu porsi masih gak papa lah,” kata ayah belagu.

Tapi ayah ada benarnya juga. Pikiran yang tenang merupakan salah satu faktor penting agar tak terkena stroke. Dulu ayah terkena stroke, selain karena faktor makanan, juga karena faktor stress yang tinggi. Waktu itu ayah masih mengajar di kampus dan mengurusi beberapa usaha ternaknya. Jadi rawan stress.

Setelah terkena stroke, ayah mulai mengurangi jadwal mengajarnya. Semua bisnisnya dilepas agar tak membuatnya stress. Memang ada banyak perubahan pada ayah. Salah satu perubahan terbesarnya adalah ia jadi lebih sensitif. Gampang marah. Tapi juga gampang menangis dan tertawa. Hal kecil, tak peduli sesepele apapun, bisa membuatnya marah, nangis, atau tertawa.

Misal: ia jadi marah besar hanya karena adik melipat halaman buku. Atau ia tertawa hingga terkencing saat menonton tayangan Extra Vaganza. Di suatu kesempatan, ia pernah menangis di tengah rokaat sholat Jum’at. Alasannya, “Ingat sholat di Masjid Nabawi.” Iya, sesepele itu memang.

Karena itu, orang dekat penderita stroke juga perlu membangun dan menyiapkan mental. Sekuat-kuatnya. Bayangkan, kamu harus menyaksikan orang terdekatmu berubah drastis.

Di awal menangani ayah, saya seringkali kesal dan marah melihat ayah seperti itu. Hanya karena saya menyetir motor lebih dari 60 kilometer per jam, ayah bisa mengomel. Siapa yang tak emosi?

Tapi lama-lama saya, dan juga keluarga saya, terbiasa dengan roller coaster emosi ayah. Kalau ia sedang marah, tinggal digoda biar ia tertawa. Begitu pula kalau menangis, tinggal melawak saja agar ia kembali tertawa.

Salah satu titik terendah selama ayah terkena stroke adalah mental yang turun drastis. Ayah, yang biasanya aktif mengajar atau jalan-jalan, mendadak tak bisa berbuat apa-apa. Jalan saja ia kesusahan. Saya pernah mewek ketika Mamak berkisah bahwa ayah ingin mati saja.

“Biar tidak menyusahkan kamu sama anak-anak,” kata Mamak menirukan ucapan ayah.

Saat kondisi itu, biasanya Mamak dan anak-anaknya yang menguatkan ayah. Entah itu lewat obrolan bercanda. Atau obrolan serius tentang masa depan. Saya sendiri lebih banyak mengajak ayah mengobrol antar lelaki. Kadang diselingi guyonan. Semisal, “Ayah harus sehat terus. Masa gak mau lihat aku nikah?” Biasanya setelah itu, Ayah akan mewek. Tapi tak lama, dia kembali baik-baik saja.

Dalam merawat ayah, Mamak adalah benteng terkokoh sepanjang masa. Ia menemani ayah, dengan setia dan kesabaran yang seakan tiada berujung. Saat ayah dirawat di Surabaya sekitar 1,5 bulan, Mamak selalu di sampingnya. Meski untuk itu ia harus menangis berkali-kali karena kerap dibentak untuk sesuatu yang sepele. Saya tahu, di satu titik, ia pasti tak tahan. Namun kecintaannya toh selalu lebih besar ketimbang kegusarannya.

Menurut saya, keluarga penderita stroke memang harus menyiapkan mental sejak awal. Ini penting. Jadi tidak melulu terfokus pada perawatan pasien. Seringkali, keluarga terlalu fokus untuk merawat pasien hingga lupa menyiapkan mental untuk itu. Padahal pasien stroke memerlukan perawat yang bernafas panjang dan yang punya kesabaran tinggi.

Semoga pengalaman kecil ini bisa membantu kalian: para keluarga orang-orang yang terkena stroke. Semoga orang terkasih selalu diberi kesehatan. []

Leave a Reply

Your email address will not be published.