Almarhum ayah saya pernah kena stroke beberapa kali. Yang pertama, kalau saya tak salah ingat, waktu saya duduk di kelas 2 SMP. Satu keluarga panik kala itu. Mamak, apalagi. Namun penyakit ini minggat dalam waktu cepat. Setelah agak sembuh, ayah bisa beraktivitas lagi dengan baik. Kembali mengajar di kampus, naik motor, hingga menyantap sate kambing kesukaannya.
Namun saat saya duduk di kelas 1 atau 2 SMA, ayah kembali kena stroke. Kalau saya tak salah ingat lagi, itu bertepatan dengan konser Slank bareng Mike Tramp, vokalis White Lion. Saya yang sudah merencanakan menonton konser itu, terpaksa membatalkan rencana dan menjaga ayah di rumah sakit. Mamak waktu itu ada kerjaan katering dalam jumlah yang besar. Ia jelas panik kala itu. Akhirnya saya yang menjaga ayah. Pengorbanan itu berbuah manis. Beliau masih bisa sembuh dan kembali beraktivitas seperti biasa.
Nah yang ketiga, baru ia takluk. Setengah badannya lumpuh. Ia tak bisa berbicara dengan jelas. Kalau jalan terseok-seok. Duh, saya sedih sekali waktu itu. Tapi melihat ayah saya yang masih saja bandel menyantap sate kambing dan gule –dengan mencuri-curi kesempatan tentu saja–, saya merasa kalau ia bakal baik-baik saja.
“Sate kambing itu gak begitu pengaruh ke badan kok, gak bikin kambuh. Yang bikin kambuh stroke itu biasanya pikiran yang ruwet dan marah-marah,” kata ayah suatu kali, seusai ia menandaskan tusuk kesepuluh sate kambing di warung dekat rumah. Tengil benar.
Ayah memang suka sok jadi dokter. Ia misalnya, pernah bilang kalau makan sate kambing itu tak apa-apa bagi penderita stroke sepertinya.
“Asal jangan sering-sering,” katanya sembari terkekeh. Saya cuma bisa gemas kalau ia berlaku macam itu. Dasar bandot tua.
Tapi perkataan ayah mengenai pentingnya pikiran yang tenang itu tetap saya pegang teguh, hingga ia meninggal. Saya berusaha menjaga pikiran agar tetap santai. Selo, kalau kata teman-teman saya yang anak Yogyakarta. Saya percaya kalau pikiran yang tenang akan membawa ketenangan hati.
Oh ya, soal ayah, ia meninggal dalam tenang. Bukan karena sate kambing atau gule, tapi karena pembuluh darah di kepalanya pecah. Ia sempat tak sadar selama beberapa jam, sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhir dengan tenang dengan didampingi mamak dan anak-anaknya.
Saya sedih bukan main waktu itu. Menangis tak henti-henti. Saya merasa kehilangan sosok panutan. Dengannya saya bisa berkelakar hingga melampaui batas. Dengan ia pula saya bisa berbicara panjang mengenai seks, rumah tangga, hingga masa depan.
Namun setidaknya saya lega. Ia meninggal bukan karena stroke –walau meletusnya pembuluh darah itu mungkin dampak dari tekanan darah yang tinggi– atau karena marah-marah.
Ayah saya mungkin sadar, marah-marah dan banyak pikiran di sisa umur hanya menghabiskan waktu belaka. Karena itu ia memilih bersenang-senang. Membaca kembali koleksi bukunya. Lebih giat beribadah. Merawat kucing-kucing peliharaan. Hingga melakukan aksi klandestin untuk makan sate kambing, makanan favoritnya.
Karena itu, saya cuma tersenyum kecut waktu seorang calon presiden kembali marah-marah pada seorang wartawan. Ini bukan yang pertama kali, kalau ingatan saya belum berkarat. Sebelumnya ia pernah dengan sinis terhadap seorang wartawati Kompas TV, yang lantas diikuti oleh marah pada wartawati dan kru Metro TV. Beberapa hari lalu, calon presiden bekas komandan Kopassus itu juga terlihat emosi saat diwawancara oleh BBC. Kali ini yang kena damprat adalah wartawan The Jakarta Post.
Ini tentu tak bijak nun mengkhawatirkan. Ini bukan soal pencitraan atau pemolesan figur politik. Melulu karena, masih mengumbar emosi di umur yang sudah senja, rawan menimbulkan efek tak baik. Apalagi calon presiden yang itu pernah punya riwayat stroke.
Momen politik sudah lewat. Saya hanya ingin menyampaikan saran, bukan dalam kerangka politik, tapi dalam momen seorang anak yang ingat petuah bijak sang ayah: Kalem ae Pak Prab, inget kesehatanmu…