Tambahan Tentang Jurnalisme Musik

Hari Minggu (20/01) menjadi hari yang menyenangkan bagi saya. Meski hujan seharian mengguyur kota Jember, banyak orang yang hadir dalam diskusi tentang jurnalisme musik di warung kopi Cak Wang.
Diskusi berjalan hangat dan menyenangkan. Saya terbantu oleh hadirnya Bayu dan Ivan sebagai MC, jadi membuat saya gak mati kutu, hehehe. Ada banyak pertanyaan yang muncul di diskusi itu. Beberapa ada yang bisa saya jawab. Beberapa lagi membuat saya kebingungan. Salah satunya adalah pertanyaan dari Halim Bahriz tentang hal-hal di luar musik yang masuk dalam penulisan musik.
Pertanyaan itu membuat saya bingung. Bukan pertanyaannya yang bikin bingung, tapi lebih tepatnya karena saya yang tidak bisa menjawab, hehehe. Untunglah ada pembantu saya, Arman Dhani yang membantu menjawab pertanyaan itu. Terima kasih Dhan, besok gajimu saya naikkan lima ratus rupiah. 
Beberapa hari menjelang diskusi, saya mendadak merasa kurang kompeten untuk berbicara mengenai jurnalisme musik. Sebabnya tentu saja karena pengalaman saya tidak begitu banyak. Karena itu, saya butuh penguat opini. Akhirnya saya menanyakan beberapa hal kepada mas Wendi Putranto  Saya menganggap beliau sangat berkompeten untuk berbicara mengenai jurnalisme musik.
Tapi dasar saya yang bebal, saya mengirimkan daftar pertanyaan terlalu mepet. Saya mengirimkannya hari Sabtu malam. “Itu sudah masuk waktu ngapel Ran” kelakarnya. Pertanyaan itu akhirnya dijawab hari Senin.   Jawaban-jawabannya lumayan memberikan pencerahan. Nah, daripada nganggur di email, lebih baik saya unggah di sini saja. Siapa tahu berguna. Kebetulan pula, beberapa orang yang tidak hadir di acara diskusi, beberapa kali menanyakan perihal jurnalisme musik ini.
Nah, semoga jawaban dari mas Wendi bisa menambah apa yang kemarin sudah didiskusikan.
Tabik!
***
1. Apa sih perbedaan mendasar antara jurnalisme musik dengan penulisan musik seperti di blog atau zine?
Jurnalisme Musik itu kalo menurut gue mengikuti kaidah jurnalisme itu sendiri yang selalu bersandarkan pada fakta atau peristiwa yang terjadi secara obyektif, bukan fiksi, kalau zine atau blog itu sifatnya personal dan sangat subyektif karena cenderung menjadi corong opini editornya pribadi. Kalau dalam jurnalisme politik bahkan pers jadi pilar keempat demokrasi, watchdog, mungkin kalo di musik, jurnalisme musik bisa menjauhkan para pembeli dan pendengar musik dari bahaya musik-musik jelek hahaha.
2. Apa yang dibutuhkan seorang penulis untuk bisa masuk ke dalam dunia jurnalisme musik?
Modal dasar yang dibutuhkan cuma kemampuan menulis dengan baik beserta minat dan referensi musik yang luas. Pemahaman tata bahasa pada tahap berikutnya menjadi sebuah keharusan juga nantinya.
3. Sebenarnya, bagaimana sih dunia jurnalisme musik itu? Apakah menyenangkan seperti yang dialami William Miller di Almost Famous, atau getir seperti kata Lester Bangs?
Dunia jurnalisme musik sejauh yang gue tekuni sejak 1996 itu sangat menyenangkan kok. Mungkin tidak sedramatis Miller di Almost Famous, tapi lebih kurangnya mirip seperti itu. Di antaranya sering dapat CD gratis, nonton konser gratis, mewawancara artis musik idola, travelling ke berbagai negara di luar negeri gratis untuk meliput konser musik, selain itu sering kali juga menjadi side job tersendiri, kayak diundang menjadi pembicara, menjadi juri dengan honor tersendiri juga hehe.  
4. Di Indonesia, apakah Aktuil yang pertama kali mempelopori jurnalisme musik? 
Bukan, setahu gue yang pertama kali memelopori itu sebuah majalah gaya hidup dari Yogyakarta, namanya Diskorina, pertama terbit pertengahan 50an. Selain meliput musik juga ada tentang film dan berita gaya hidup lainnya. Denny Sabri dulu pernah juga menjadi staf redaksi di sana sebelum join dengan Aktuil.
5. Apa ada perbedaan antara jurnalisme musik masa lampau dengan masa sekarang? Kalau ada, perbedaannya seperti apa mas?
Fluktuatif sih, ada era jurnalismenya sangat lugas, lantang, kritis dan obyektif, ada juga eranya jurnalismenya melempem, dan hanya cenderung menjadi corong label rekaman dan mengutamakan jurnalisme jaga hubungan baik. Jurnalisme Musik jaman dulu, era awal 70an itu keren-keren, tulisan-tulisan yang pernah gue baca di Aktuil itu sangat lugas dan kritis sama artisnya sendiri, tapi di dekade 80an, 90an cenderung biasa aja, kurang kritis, mungkin karena terpengaruh otoriternya orde baru.
6. Sebenarnya tulisan seperti apa sih yang bisa dianggap tulisan jurnalisme musik?
Pada dasarnya semua reportase musik termasuk jurnalisme musik, tapi kadarnya tergantung artikel apa yang ditulis, kalo itu berbentuk berita ya mesti faktual, obyektif dan cover both-sides, kalo termasuk review pastinya subyektif dan opiniated, kalo berbentuk feature bisa jadi gabungan antara semua itu.
7. Jika berbicara mengenai media musik di Indonesia , RSI masih nomer 1. Sebenarnya, bagaimana cara agar bisa menulis untuk media mapan seperti RSI?
Terima kasih kalo anggapannya begitu. Cara menulis di RSI gampang aja sebenernya. Cuma untuk di majalah sekarang ini memang sifat kontribusinya tertutup, kami akan menghubungi kontributornya kalau memerlukan berita/feature tertentu. Untuk menulis di website, kontributor cukup mengirimkan sample tulisan yang pernah di published dan memberikan usulan sebelumnya ke editor tentang topik/peristiwa/artis apa yang ingin dia cover, kalo disetujui bisa dilanjutkan dengan reportase dan laporannya kemudian, sesimple itu.
8. Tips untuk bisa masuk ke dunia jurnalisme musik?
Tipsnya? Kalau memang punya passion di jurnalisme musik pasti akan melakukan apa saja untuk itu, misalnya bikin zine, webzine, blog. Intinya selalu membuka telinga, menulis dan melaporkan apapun yang terjadi di dunia musik (tentunya musik-musik yang kalian suka, jangan membuang waktu menulis musik yang tidak kita suka) Gak perlu bergabung dengan media besar juga sebenarnya, kalau memang bisa dipertanggung jawabkan isinya dan bermutu, pasti blog, webzine itu nantinya akan berpengaruh juga dan disukai orang banyak. Contohnya kayak Pitchfork, Stereogum, Blabbermouth dan sebagainya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.