Tentang Majalah Playboy Edisi Perdana

Suatu hari di daerah Bojong Gede, Jawa Barat, Alfred Ginting dan Soleh Solihun: dua orang wartawan sebuah majalah franchise baru di Indonesia, beserta seorang artis bernama Happy Salma, datang menemui seorang sastrawan legendaris: Pramoedya Ananta Toer.
Mereka berniat mewawancarai penulis yang menghasilkan karya monumental tetralogi Pulau Buru itu. Rencananya, hasil wawancara itu akan dimuat untuk sebuah rubrik di majalah yang edisi pertamanya direncanakan akan terbit pada bulan April 2006. Wawancara itu berlangsung gayeng. Sungguh sangat kentara kalau tiga orang pewawancara itu sungguh paham dan punya ketertarikan besar mengenai kisah hidup Pram. Pram pun demikian, ia tak segan bercerita tentang apapun, tak menutup apapun.
Mulai dari  kisah hidupnya yang berliku dan penuh onak, pembakaran bukunya yang sungguh memilukan, perempuan yang tercantik di dunia, aktivitasnya saat tua menjelang, hingga aktivitas saat ia ditahan di Pulau Buru.
“Apa yang paling tidak bisa anda lupakan dari Pulau Buru?”
“Banyak. Antaranya saya menemukan mangga di pinggir kali. Lantas saya kembang biakkan. Jadi banyak. Nanti kalau ke Buru, ada pohon mangga, ingata saya [tertawa]. Tadinya nggak ada di pedalaman. Saya memelihara ayam delapan. Telornya itu untuk beli rokok, beli kertas, beli karbon di pelabuhan. Karena saya kan di pedalaman. Dan saya senang sekali, sekarang Pulau Buru jadi gudang beras Maluku. Pekerjaan kami itu. Jalanan kami bikin sepanjang 175 km. Belum sawahnya. Belum irigasinya. Belum ladangnya. Kalau sore itu udaranya dihiasi pelangi. Kalau hujan, air dengan keras turun ke bawah. Ikan melawan arus air hujan. Tinggal tangkap saja. Berkarung-karung itu [tertawa].”
Hasil wawancara itu turun dalam 8 lembar halaman di majalah edisi perdana. Artikel itu lantas jadi artefak berharga bagi dunia media, karena selang 3 minggu setelah penerbitan pertama, Pramoedya mangkat. Wawancara itu adalah wawancara terakhir Pram dengan media massa.

Di majalah edisi pertama itu juga ada beberapa tulisan memikat. Mulai tulisan tentang KTP berjudul “Negara, Agama, dan KTP” karya kontributor alumnus Pantau, Agus Sopian; feature tentang kondisi Timor Leste karya  Alfred Ginting; cerpen dari kontributor Dewi “Dee” Lestari berjudul “Sepotong Kue Kuning”, hingga cover story bertajuk “Always Happy Early”, yang berisikan beberapa foto seksi dan testimoni Andhara Early saat difoto untuk jadi kover perdana majalah franchise tersebut.

“Saya mau difoto untuk Playboy bukan untuk mencari popularitas. Ini jadi tantangan buat saya sebagai seorang model”  ujarnya.
Iya, majalah perdana itu adalah majalah Playboy. Majalah yang didirikan oleh Hugh Hefner pada tahun 1953 itu, bagi banyak orang dianggap sebagai majalah porno. Kontennya berisi banyak foto-foto nude. Tapi yang tak banyak orang tahu, Playboy juga berisikan beberapa rubrik menarik. Mulai humor yang cerdas, hingga feature yang menggoda.
Playboy Indonesia pertama kali terbit pada tanggal 7 April 2006. Kovernya berwarna merah dengan Andhara Early pada sampul depan. Erwin Arnanda menjadi editor-in-chief. Beberapa nama beken di jagat jurnalisme juga turut menggawangi majalah ini, sebut saja Arian Arifin yang menjabat deputy editor, Soleh Solihun dan Alfred Ginting menjabat sebagai feature editor, hingga para kontributor seperti Linda Christanty, FX Rudi Gunawan, dan Poltak Hotradero.
Sayang, karena imej yang dianggap porno, peredaran majalah ini tak berjalan mulus. Padahal sama sekali tidak ada gambar nude dalam majalah itu. 70% kontennya adalah konten lokal. Sisanya adalah terjemahan beberapa rubrik. Pada tanggal penerbitan perdana, FPI (Front Pembela Islam) berunjuk rasa dan berorasi. Itu saja? Jelas tidak. Mereka merusak dan membakar. Aceh Asean Fertilizer, selaku pihak yang mempunyai gedung kantor Playboy, protes atas kerusakan itu dan meminta Playboy pindah kantor. 
Berkali-kali di demo dan diancam di Jakarta, Playboy akhirnya memutuskan untuk hijrah ke Pulau Dewata, yang dianggap lebih toleran. Tak melulu ancaman dari masyarakat sipil, bahkan polisi pun turut serta “mengepung Playboy: menetapkan  Erwin Arnada, dan model majalah ini, Kartika Oktavina Gunawan dan Andhara Early, sebagai tersangka terkait kasus pornografi. Bulan Mei, edisi kedua Playboy tak terbit karena ancaman beberapa pihak. Bulan Juni majalah ini terbit lagi. Playboy berumur 10 edisi. Bulan Juni tahun 2007 menjadi akhir dari umur Playboy.
Erwin Arnanda bernasib tragis. Ia dijebloskan ke LP Cipinang selama 8,5 bulan. Selepas bebas dari udara pengap teralis besi, ia menceritakan tentang kronologis kisah penggrebekan dan kebusukan FPI via twitter.
Pagi ini, di tengah kegiatan packing, seperti biasa saya bongkar-bongkar lemari buku. Di tumpukan majalah, saya menemukan majalah Playboy edisi perdana. Saya lupa kapan tepatnya membeli, pun dimana saya membelinya.
Tapi coba saya ingat. Uhm, sepertinya di Blok M Square, tempat harta karun bagi pemburu buku dan majalah. Disana, saya menemukan majalah ini terserak bersama-sama majalah bekas lain. Saya menebusnya seharga 10.000 rupiah saja. Sedikit kontras, karena ketika majalah ini dilarang dan menjadi kontroversi, situs lelang E-bay bahkan membanderol edisi perdana ini seharga $110 (!)
Saya menghentikan kegiatan packing saya sejenak. Membaca ulang majalah berlogo kepala kelinci ini. Lalu menebalkan ingatan pada deretan kata Editorial yang ditulis oleh Erwin.  
“… Kata Ginsberg, kita selayaknya lebih mau memaknai kata-kata dan jangan terjebak dengan pencitraan dari gambar.”

One thought on “Tentang Majalah Playboy Edisi Perdana

Leave a Reply

Your email address will not be published.