Teori Sekrup dan Kepada Siapa Makian Harus Disematkan ?

Gambar dari sini
Pernah saya sangat muak dengan industri musik arus utama di Indonesia. Puncaknya mungkin ketika gelombang musik mendayu-dayu menyerbu. Saya pikir itu titik puncak kemuakan saya terhadap industri musik arus utama di Indonesia. Ternyata saya salah. Belum juga minggat rasa muak saya terhadap lagu mendayu, saya dihantam gelombang boys/girlsband. Ampun! Saya jadi bertanya-tanya siksaan apa yang bakal saya hadapi 2,3,4, atau 10 tahun ke depan. Apakah industri musik Indonesia hanya akan diisi musik-musik mencret seperti itu?

Seringkali saya bertanya-tanya. Apa yang membuat para awak band mendayu, anggota boys/girlband itu mau mempermalukan diri sendiri? Mereka mau dan sanggup berdandan norak, menyanyikan lirik yang mengenaskan, juga dengan suara yang pas-pasan. Bahkan dalam hemat saya, mereka tak hanya mempermalukan diri mereka sendiri. Mereka juga turut mempermalukan kawan dan bahkan keluarga mereka.

Saya punya seorang kawan yang ternyata teman SMA salah satu anggota boysband tenar di Indonesia. Kalau saya mengungkit masalah perkawanannya dengan sang pesohor, dia selalu setengah mati menolak dianggap teman satu almamater si anggota boysband itu.

Tapi mungkin saya terlalu naif dalam melihat semua fenomena lawak-dalam-musik ini.

***
Mari menengok sejenak ke era hair metal. Saat itu hair metal jadi musik terlaku di industri. Ia bagai sapi perah saja. Dan percaya atau tidak, meski awalnya para hair rocker itu ingin tenar, pada akhirnya mereka benci ketenaran. Mereka merasa terlalu lelah menghadapi ketenaran.

Motley Crue salah satunya. Oh ya, sebelumnya saya minta maaf karena sepertinya terlalu sering menulis tentang Motley Crue belakangan ini. Itu karena saya sedang khusyuk membaca “The Dirt”, biografi Motley Crue. Buku ini menceritakan banyak hal. Dan sayang kalau hal itu tak saya ceritakan lagi kepada khalayak umum.

Oke, balik ke salah satu gerombolan rocker terbangsat di dunia ini. Ketika album “Girls Girls Girls” dirilis pada tahun 1987 dan  menjadi nomer satu di Billboard, mereka mengadakan tur selama satu tahun penuh. Yap, penuh, tanpa istirahat. Bayangkan mesin yang terus bekerja selama satu tahun penuh tanpa jeda. Pasti cepat rusak. Dan sayangnya, manusia lebih rapuh ketimbang mesin.

Maka kembali mulailah hari-hari destruktif mereka. Sebelumnya, pada 3 album pertama (Too Fast for Love, Shout at the Devil, Theatre of Pain) kehidupan mereka memang sangat kacau. Tapi diatas langit masih ada langit. Ketika tur “Girls Girls Girls” dimulai, hidup mereka lebih kacau.

Ketika berada dalam titik terendah itulah, muncul suatu teori yang disebut “Cog Theory”.

***
Dalam bagian 9, bab 1, Motley Crue berlagak seperti seorang guru besar rock n roll. Mereka mengemukakan sebuah “disertasi” yang dikembangkan dari pengalaman tur mereka.

Disertasi itu berjudul “The Application of Cog Theory to the Development and Maturation of A Common Rock Group”, yang kalau diterjemahkan dengan bebas menjadi “Aplikasi Cog Theory Terhadap Perkembangan dan Kedewasaan Dari Grup Rock”. Dalam preambule-nya, disebutkan bahwa cog theory adalah sebuah usaha untuk menyibak tirai dibalik bisnis musik dan mesin uang dalam bisnis itu.

Dalam teori ini, sang musisi (dalam hal ini adalah Motley Crue) dianggap sebagai sebuah mesin. Dalam mesin ini ada berbagai unsur, seperti sekrup, gigi, tali pengikat mesin, dll. Itu diibaratkan sebagai bakat, timing, keberuntungan, dan juga “kekuatan” masing-masing personil. Jadi agar mesin itu berjalan, diperlukan semua unsur tersebut. Ada kalanya band itu berbakat, timing mereka muncul tepat, tapi tak beruntung. Jadinya kurang begitu terdengar. Begitulah  gambaran kasarnya.

Nah, kira-kira seperti ini gambaran sebuah mesin industri musik: ada platform alias alas di bawah mesin ini. Lalu ada cog (sekrup) yang dililit oleh conveyor belt. Nah, di platform inilah ada daftar band-band yang menanti giliran untuk bisa ikut berputar di conveyor belt.

Cog theory terdiri dari 5 bagian.

Tahap Pertama disebut dengan tahap “The Platform and Conveyor Belt” alias platform dan sabuk berjalan.. Ini adalah tahap awal. Bayangkan ada sebuah alas pada bagian bawah mesin. Pada alas ini ada daftar artis/band yang menunggu antrian untuk naik ke dalam sabuk berjalan dari bawah menuju bagian tengah, lalu ke atas. Nah, ketika berada dalam sabuk berjalan itulah mereka membuat album dan berpromosi. Ketika berada di bagian akhir sabuk berjalan itulah, ada sekrup yang lebih besar ketimbang sekrup pertama, dan ada sekrup yang paling besar. Sekrup ini saling terhubung oleh conveyor belt tersebut.

Jadi seperti ini pengandaiannya. Sekali artis/band itu meloncat masuk ke dalam conveyor belt, itu artinya mereka sudah membuat album dan berpromosi. Nah, kalau mereka bisa “lompat” ke sekrup yang lebih besar (yang disebut dengan first cog alias sekrup pertama), maka itulah awal mula kesuksesan mereka. Tapi ada pula yang sudah melompat ke dalam conveyor belt, tapi tak bisa berpindah ke sekrup. Akhirnya mereka kembali berputar ke bawah dan kembali dalam daftar antrian. Kalau tidak beruntung, mereka terlindas dan tak ada orang yang mengingat mereka.

Dalam hal ini, album pertama Motley Crue yang berjudul “Too Fast for Love” tidak berhasil melompat ke dalam sekrup. Mereka hanya numpang lewat, dan akhirnya kembali ke platform. Dimana mereka harus kembali antri untuk bisa melaju lagi di conveyor belt. Kalau di Indonesia, ingat demam Ska? Tipe-X adalah salah satu yang berhasil melompat ke dalam sekrup pertama. Lainnya mungkin gagal. Begitu pula boysband di Indonesia. SMA*SH bisa dibilang berhasil melompat ke dalam sekrup pertama dan terkenal. Tapi rekan sejawatnya banyak yang gagal. Hanya numpang melintas. Meski para boysband itu sama-sama gak penting, norak, dan memalukan; timing yang menentukan.
 

Tahap kedua dari Cog Theory adalah “The First Cog” alias sekrup pertama. Tahap ini adalah tahap awal kesuksesan. Album kedua Motley Crue berjudul “Shout at the Devil” yang dirilis pada tahun 1983  berhasil di pasaran. Hal ini ibarat mereka berhasil melompat dengan sukses ke sekrup pertama.

Nah, ketika sebuah band berhasil masuk ke dalam sekrup pertama, disanalah mesin uang mulai berjalan. Gigi mesin mulai dijalankan, sekrup mulai berputar, dan tak ada lagi yang bisa menghentikan mesin itu berjalan. Kalau dalam sistem ekonomi, ini mungkin ibarat sistem lingkaran setan kapitalisme. Tapi karena saya tak paham mengenai -isme, maka saya tak berhak dan tak akan menjelaskannya disini.

Sekrup pertama yang sudah mulai berjalan itu adalah tahap awal kesuksesan. Perlahan, mesin akan berputar makin cepat. Dalam dunia entertainment, kita akan menyaksikan perputaran mesin yang kencang itu dalam bentuk ekspos berlebihan sebuah band/artis baru yang dianggap fenomenal. Motley Crue mengalami perlakuan yang sama.

Kalau di Indonesia, mari sejenak mengingat Shinta & Jojo atau Briptu Norman. Di awal kemunculan mereka yang fenomenal, mereka sudah masuk ke dalam mesin uang yang tak berdaya mereka hentikan. Mereka menenggak kesuksesan. Dan infotainment pun mengeksploitasi mereka dengan sadis. Tiap gerakan, tiap gerik, bahkan tiap kedipan mata mereka pun dilaporkan di infotainment. Kalau saja tak melanggar norma pertelevisian, saya yakin warna, corak, atau ukuran celana dalam mereka pun mungkin akan diberitakan.

Nah, segera setelah mesin berputar makin cepat, maka itu saatnya artis bersiap untuk melompat ke sekrup kedua (sekrup yang lebih tinggi dan lebih besar ketimbang sekrup pertama). Timing lompatan mereka pun harus tepat. Karena kalau tak tepat dan terpeleset, maka artis/band akan terlindas diantara sekrup pertama dan sekrup kedua. Mereka akan hancur dan hilang. Atau kalau beruntung, mereka hanya akan terpeleset ke bawah, jatuh di platform, dan menunggu giliran (lagi) untuk bisa mencapai sekrup pertama (lagi).

Lompatan dari sekrup pertama ke sekrup kedua ini disebut dengan  “The Second Cog” alias sekrup kedua. Sekrup kedua ini lebih besar dan kedudukannya lebih tinggi ketimbang sekrup pertama. Kalau sekrup pertama hanyalah tahap awal kesuksesan, sekrup kedua ini sudah masuk ke dalam kesuksesan. Tapi sekrup ini lebih tinggi ketimbang sekrup pertama, dimana angin berhembus lebih kencang.

Sekali artis/band berhasil melompat ke sekrup kedua, mereka akan sadar kalau mesin ini terlalu kuat untuk dilawan. Mesin ini akan menghancurkan daging, melumat otot, dan menginfeksi otak. Kalau diibaratkan, band akan terpecah. Ego masing-masing personel akan menguat karena mereka sudah terkenal. Dan bagi band yang tak kuat akan tekanan popularitas, mereka akan berselisih dan kemudian hancur perlahan. Hanya sedikit artis/band yang bisa bertahan.

Putaran sekrup masih belum berakhir. Ada yang disebut dengan “Big Cog”, alias sekrup besar. Sekrup ketiga inilah puncak dari perputaran sekrup mesin uang industri musik. Tapi untuk bisa melompat dari sekrup kedua menuju sekrup ketiga, itu tak sekedar mengenai timing, promosi, atau bakat lagi. Itu diluar kuasa band dan manajemen. Kalau saya tak salah ingat, ekonom Adam Smith menyebutnya sebagai “the invisible hand”.

Motley Crue bertahan cukup lama di sekrup kedua. Mereka mengeluarkan “Theatre of Pain” yang busuk minta ampun, dan “Girls Girls Girls” yang lumayan bagus dan laris di pasaran. Mereka berkali-kali nyaris terpleset kembali ke platform dan hancur tergilas putaran sekrup dan gerinda. Tapi semua berubah ketika mereka mengeluarkan album “Dr. Feelgood”.

Seperti yang sudah diungkapan di bawah, bagaimana sebuah band bisa melompat ke dalam sekrup besar, itu hal yang di luar kuasa band/ manajemen. Ketika “Dr. Feelgood” dirilis, Motley Crue sudah nyaris hancur tergilas gerinda. Kehidupan mereka kacau balau dan berada dalam titik terendah. Ketika menggarap “Dr. Feelgood”, mereka dalam keadaan bersih. Siapa yang sangka, diantara gempuran band-band hair metal lain dan juga scene hardcore yang mulai menggeliat, album ini malah meledak. Yap, Motley berhasil melompat ke dalam sekrup besar, the big cog.

Sekarang kita masuk ke dalam tahap ke empat, “The Big Cog” alias sekrup besar. Big cog ini diibaratkan magnum opus dari sebuah band. Guns N Roses punya Appetite for Destruction, Metallica punya Black Album, Skid Row punya Slave to the Grind, dan Motley Crue punya Dr. Feelgood.

Di sekrup yang paling besar, band sudah muak dengan ketenaran dan popularitas. Ketika sebuah band berhasil masuk ke dalam big cog, mereka mendapatkan apa yang diimpikan oleh banyak orang. Ketenaran, kekayaan, grupies, dll. Tapi sekrup besar ini tidak bisa menyediakan hal seperti privasi, waktu untuk sendiri, persahabatan, stabilitas, cinta (baik familial maupun romantic), dan ketenangan batin.

 Ketika “Dr. Feelgood” tanpa disangka berhasil meledak di pasaran, Motley Crue tak bisa melakukan apapun kecuali turut serta dalam putaran mesin yang melaju sangat kencang. Ketika mereka sudah mulai lelah, sekrup besar akan menghancurkan perkawinan mereka, persahabatan, juga kehidupan pribadi. Sehingga mereka tak punya kegiatan apapun selain ikut dalam putaran mesin (tur panjang, wawancara, dll).

Kasus ini banyak menimpa band/ artis. Guns N Roses misalnya. Dibalik kesuksesan Appetite for Destruction, Axl dan Izzy yang merupakan teman baik semenjak kecil harus berselisih dan bermusuhan. Slash dan Steven yang merupakan sahabat dekat, jadi bermusuhan karena Steven merasa dikhianati ketika dipecat dari Guns N Roses. Begitu pula Motley Crue. Hubungan antar personel hancur. Begitu pula kehidupan pribadi mereka yang acak adul centang perenang.

Ketika sebuah band berada di dalam sekrup besar, biasanya akan ada pemilik modal (dalam hal ini sepertinya record label) yang mengawasi tindak-tanduk band. Sang pemilik modal ini akan memastikan mesin uangnya berjalan. Mereka akan mengadakan tur yang panjang, bahkan sangat panjang, untuk memastikan band ini tetap berada dalam sekrup besar. Mereka tidak ingin band merekam album baru. Karena itu cara tercepat untuk menjatuhkan band ke dalam platform lagi, atau malah menghancurkan band.

Setelah tahap big cog selesai, kita menuju bagian mesin yang paling kejam (atau malah paling manusiawi)? Tahap kelima ini adalah “The Crusher” alias sang penghancur. Bagian ini ada setelah sekrup besar. Beberapa nama bisa bertahan lama berputar di sekrup besar. Tapi lebih banyak yang tak kuat menghadapi tekanan sekrup besar ini. Mereka akhirnya terlempar dari mesin, kembali ke platform untuk menanti antrian, atau malah hancur terlindas gerinda.

Dunia musik mengenal Jimi Hendrix, Janis Joplin, atau Kurt Cobain yang mati karena tak tahan popularitas. Mereka bisa dianggap hancur karena tergilas mesin. Tapi di satu sisi, mereka adalah pemenang. Karena satu-satunya cara untuk melawan mesin industri ini adalah mati (baik itu mati karena overdosis atau mati bunuh diri, itu terserah). Mereka mati ketika di puncak, dan itu lebih menyenangkan ketimbang jatuh, terlempar dari mesin, dan menua serta dilupakan perlahan. 

Is it better to burn out than to fade away? Yeah, it is. Absolutely…
***
Teori cog ini terpikirkan oleh Nikki Sixx ketika suatu hari melihat Britney Spears di sebuah pusat perbelanjaan. Nikki melihat Britney begitu menyedihkan setelah berbagai skandal yang berakibat ia “terlempar” dari dunia musik. Britney tampak sangat kesepian, juga rapuh. Hal itu mengingatkan ia pada masa beberapa tahun silam, ketika ia berada di posisi yang sama.

Dan sialnya, setelah membaca perihal teori cog ini saya jadi tak enak hati mau menghina Kangen Band, Hijau Daun, Sembilan Band, Wali, Ungu, Sm*sh, dan band-band busuk lain. Saya sadar kalau mereka adalah sapi perah industri musik. Mereka seperti itu karena mereka harus melakukannya.

Lalu saya bingung akan suatu hal: saya harus memaki siapa untuk segala kebusukan musik arus utama ini?

3 thoughts on “Teori Sekrup dan Kepada Siapa Makian Harus Disematkan ?

  1. Lek jarene Dhani ngene, “Sepertinya saya hendak membakar republik ini. Dengan amarah dan dendam..”

    Gak nyambung yo? haha.. maklum copas.

    Mari kita maki saja kebusukan (yang tak akan pernah selesai) itu dengan karya. Mending begitu. Daripada berlelah lelah memaki kebusukan, enak’an kumpul karo penjual parfum biar ikutan wangi.

    Loh, gak nyambung maneh reeek..

    Hidup musik patrol..!!!

  2. wah…menarik pol, aku jadi sedikit ngerti tentang aliran musik yang diceritakan tadi….dan mungkin aku juga merasakan hal yang sama dengan mas nuran, siksaan 5 atau bahkan 10 tahun kedepan yang mungkin akan mengakibatkan sebuah kegilaan berlebih karena terlalu muak dengan industri musik indonesia saat ini …

Leave a Reply

Your email address will not be published.