Beberapa waktu lalu saya dikirimi foto oleh Nyen. Dua foto berbeda waktu yang ditumpuk atas bawah. Saya meringis. Foto itu menunjukkan bahwa waktu memang bisa terbang.
Foto pertama diambil, kalau saya tak silap, tahun 2010. Penandanya jelas. Rambut saya masih gondrong. Saya memotong rambut panjang itu pada sebuah hari di Desember, salah satu hari yang membuat saya berduka bukan buatan. Tempat foto itu adalah Sempu. Kami naik motor ke sana. Waktu itu Ade akan pindah kerja ke Mojokerto. Menyadari bahwa dia akan berpisah cukup lama dengan kawan-kawan, maka dia mengajak kami untuk piknik. Entah kenapa Sempu yang dipilih.
Perjalanan berlangsung dengan lancar dan layak dikenang. Saya dan Ade kecelakaan. Yang nyetir siapa lagi kalau bukan Ade, lelaki yang tampaknya ditakdirkan tak pernah berjodoh dengan keselamatan di jalan, dan lucunya kerja di jalan. Saya ingat tertawa keras ketika kami rebah di atas tanah, dengan gerimis menyiram, dan Ade mengerang karena ketiban motor.
Kami menginap semalam di sana. Hanya kami berempat. Suasana syahdu. Kami bercakap tentang apa saja. Tapi tidak masa depan. Bagi kami dulu, masa depan terasa sangat jauh dan terlalu berat untuk dipikir.
Siang menjelang pulang kami menyempatkan diri berfoto. Fahmi paling kiri, kemudian Ade yang memakai bandana, di sebelahnya ada Nyen, dan saya. Perjalanan ke peradaban terasa berat. Lelah, lama tak melatih fisik. Ketika sampai, segelas besar Cola campur susu jadi penawar capai. Segar sekali.
Kemudian kami berpencar. Tahun 2011 saya pindah ke Jogja. Fahmi ke Sulawesi, lalu ke Kalimantan. Ade di Mojokerto. Sedangkan Nyen menjaga Jember bersama Nova.
Hitung maju hingga 2016. Saya tinggal di Jakarta sejak dua tahun lalu. Fahmi kerja di Grobogan. Ade masih di Mojokerto, mendapat jodoh gadis lokal, dan sudah punya satu anak laki-laki yang menggemaskan. Sedang Nyen masih teguh menjadi penjaga kearifan lokal di Jember bersama Nova.
Di antara waktu yang sempit dan jarak yang berjauhan, kami masih menyempatkan diri untuk bertemu di Jember. Kemudian melancong ke Bondowoso. Silaturahmi ke rumah Andes, teman SMA yang membuka usaha warung makan bebek korek di Bondowoso.

Kemudian lanjut ke Kawah Wurung, yang terletak tak jauh dari Kawah Ijen. Kami tak berempat. Ade membawa serta istri dan anaknya. Lalu tanpa direncanakan, kami berfoto bareng lagi. Dengan posisi yang tidak sama. Kalau ingat foto bareng kala di Sempu, pasti kami mengatur posisi. Satu-satunya yang sama di sana cuma posisi dan gaya foto saya. Kayaknya saya gak bakat jadi model, gaya di foto gitu-gitu mulu.
Kemarin saya lihat foto ini lagi. Mendadak ingat lagu “Times They Are A Changin” milik Bob Dylan. Betapa waktu berubah, seperti terbang. Kita, manusia, gelagapan mengejarnya. Berusaha ikut berubah agar tak tertelan.
Come gather ’round people
Wherever you roam
And admit that the waters
Around you have grown
If your time to you
Is worth savin’
Then you better start swimmin’
Or you’ll sink like a stone
For the times they are a-changin’
Saya tak lagi gondrong. Perut sudah terlapisi lemak. Sedangkan Fahmi masih tetap setia menjadi pengembara, pergi ke daerah-daerah terpencil. Nyen juga berusaha keras untuk bertahan, dan menabalkan diri untuk tak mudah galau seperti dulu. Ade masih tetap menghabiskan waktu kerjanya di jalan. Perubahan terbesarnya mungkin kini dia sudah jadi suami dan bapak. Perubahan yang drastis, dan saya pikir tak akan mudah menjalaninya.
Mungkin dalam 10 atau 15 tahun lagi Ade, atau kami semua, akan bengong dengan segala perubahan yang terjadi. Semoga kami jadi orang tua yang terhindar dari golongan klise. Golongan yang hanya bisa merepet dan mengkotbahi anak-anak, tentang sesuatu yang tidak kami ketahui. Tentang zaman yang sudah lama meninggalkan kami.
Come mothers and fathers
Throughout the land
And don’t criticize
What you can’t understand
Your sons and your daughters
Are beyond your command