Bagiku yang saat itu belum kenal, Windu Jusuf itu menyeramkan.
Awalnya adalah satu kelas menulis film di Radio Buku. Windu adalah pematerinya. Dia tampak angker. Rambut berantakan, kepala bagian depan sudah mulai menunjukkan tanda kebotakan, dan suaranya berat –kadang jadi cempreng kalau tertawa.
Di kelas yang diadakan medio 2011 (atau awal 2012, aku lupa), Windu ngomong teori film, Uni Soviet, dan apa-apa yang aku sekarang sudah lupa.
Namun jauh sebelum itu, nama Windu sudah terdengar dari gogon, gosip-gosip undeground. Ada satu kawan cerita, Windu di kampus kala itu suka hanya pakai celana pendek –sejengkal di atas lutut, dan suka mengajak debat banyak orang.
“Dia itu salah satu mahasiswa FISIP angkatan 2004 yang paling pinter,” kata si kawan ini.
Maka saya agak gentar juga mendengar Windu masuk di Kemang Timur. Reputasinya jauh melampaui namanya.
Bagaimana rasanya bekerja dengan orang yang reputasinya sudah kamu kenal baik, sebelum kamu bahkan mengenalnya lebih jauh.
Windu masuk di Kemang Timur circa 2017. Dia sebelumnya sempat lama jadi dosen di sebuah kampus swasta masyhur di Jakarta. Profesi ini amat dia cintai. Kelak aku tahu kalau Windu memang sangat ngemong, dia dengan senang hati mengajakmu belajar bareng, membimbingmu jika diperlukan, dan akan merelakan sebagian besar waktunya untuk jadi sparring partner intelektual.
Namun jadi dosen di masa kiwari tentu beda dengan dulu. Windu harus menghadapi kerjaan administratif menumpuk. Mengerjakan itu semua membuat frustrasinya berkembang biak. Perlahan, rasa muak mengalahkan kecintaanya terhadap mengajar, terhadap dunia akademis.
Windu memilih untuk mundur jadi dosen, dan memutuskan jadi penulis penuh waktu di Kemang Timur.
Aku merasa itu keputusan yang tepat. Kulihat Windu begitu menyukai pekerjaannya. Dia bebas menulis dengan tema yang dipilihnya sendiri. Entah itu film, entah itu perkara revolusi, entah itu yang merah dan kiri.
Malah kalau kuamati, Windu menghayati betul kehidupan bohemian di Kemang Timur. Di sana, dia menemukan banyak rekan yang sama-sama mencintai buku, diskusi, menulis, dan membenci mandi.
Kami perlahan mulai dekat. Windu tak seangker seperti yang beredar dari mulut ke mulut. Dia suka cengengesan. Suka bikin meme. Beberapa lucu, sebagian seperti gurun Nevada. Kering. Sebagian lagi memerlukan kerja otak yang lebih keras.
Di Kemang Timur, Windu jadi kuncen bareng banyak pelintas luar kota yang lebih menikmati kehidupan ala persma ketimang kamar kos yang tenang dan privat, seperti Zen RS dan Fahri Salam. Kalau kamu pernah ke Kemang Timur tengah malam, besar kemungkinan kamu melihat Windu telanjang dada, memutar lagu revolusi Bolshevik dari YouTube (apa coba kata kuncinya?), kadang bernyanyi dengan bahasa yang tak kumengerti, sembari membaca buku atau mengedit naskah.
Windu punya rumah bareng orangtuanya, di Jakarta Timur. Tapi ia jarang sekali pulang. Belakangan ia punya kamar kos yang sebenarnya lebih tepat disebut sebagai gudang bagi buku-bukunya. Karena tak cukup, sebagian dari koleksi bukunya ia bawa ke kantor. Membuat kami tampak seperti sekumpulan pelahap buku yang rakus –padahal itu buku Windu.
Kami jadi benar-benar akrab ketika pergi bareng ke Estonia, medio 2018. Itu kejadiannya ajaib juga.
Suatu hari Windu mengirimkan tautan, isinya tentang kesempatan untuk belajar jurnalisme dan dunia digital di Estonia, negara yang saat ini sektor digitalnya paling maju di dunia. Entah kenapa, tak ada yang menindaklanjuti ajakan itu.
Aku iseng melamar, mengirim CV dan esai pendek tentang kenapa aku harus mengikuti kursus singkat dua minggu ini. Sehari kemudian aku dihubungi orang bernama Elari.
“Mau penerbangan tanggal berapa, dan pakai maskapai apa?” tulisnya dalam surel.
Kami berangkat di malam takbir Idul Fitri 2018, naik Turkish Air. Di transit, kami makan kentang goreng dan burger. Tak ada opor dan soto Banjar di sini.
Sampai di Tallin, kami sebagai orang dari negara dunia ketiga dan menyandang nama yang “mencurigakan”, sudah bersiap untuk kena screening yang konon acak tapi sebenarnya tak acak, malah sistematis. Benar saja. Kami berdua disuruh keluar dari antrean, dipisah, dan dibawa masuk ke ruang interogasi.
Ketika aku tunjukkan surat pengantar, termasuk surat dari Kementerian Luar Negeri Estonia yang jadi sponsor perjalanan kami, mereka tak percaya. Kertas yang ada tanda tangan menteri itu, mereka bolak-balik. Dokumenku dicek berkali-kali. Seakan-akan aku memalsukan dokumen. Windu, setelah kami keluar ruang interogasi dan dapat stempel izin masuk, bercerita juga mengalami perlakuan yang sama. Windu juga melakukan hal yang sama seperti yang kulakukan: cukup mengeluarkan surat undangan itu.
Di Estonia kami belajar banyak, dan bersenang-senang lebih banyak. Kami suka makan nasi goreng Asia di seberang hotel –obat dari masakan Eropa yang seperti alergi bumbu dan garam. Kalau sore kami pergi ke bar. Windu pesan bir, aku susu cokelat.
Kami sering ngobrol tanpa juntrungan. Dan aku cukup terkejut melihat Windu mau “menurunkan derajat” obrolannya denganku. Dia mungkin paham bahwa tingkat intelektualitasku tak akan sampai di levelnya. Maka Windu memilih menurunkan diri agar bisa menyamaiku: receh dan banal.
Tak ada yang berat dan ideologis dari obrolan kami selama dua minggu di Estonia. Yaaa, walau kadang-kadang dia bercerita tentang tanah yang dijanjikan –Uni Sovieeetttt– serta para pemimpin yang membawa kemakmuran dan masyarakat tanpa kelas. Kalau sudah begitu, aku akan menyimak, sembari sesekali memperlihatkan ketidaktahuanku dengan cara melempar pertanyaan sekelas mahasiswa ilmu politik semester satu.
Di Estonia, kami tinggal di dua kota, Tallin dan Tartu. Di Tallin kami lebih banyak belajar dan berdiplomasi, sedang di Tartu condong ke arah pengenalan budaya.
Suatu hari kami diajak pergi ke gedung parlemen. Pemandu kami menjelaskan ini dan itu. Ia kemudian berhenti di tengah tangga menuju lantai dua, dan bercengkrama dengan dua orang lelaki berusia tengah 30 yang mengenakan jeans, kaos oblong, dan blazer.
“Itu tadi Menteri Kebudayaan,” kata pemandu kami.
Sepertinya setelah pertemuan itu, Windu jadi lebih cuek soal kostum. Ini terlihat betul waktu kami pergi ke gedung parlemen Estonia dan ditemui oleh Ketua Parlemennya.
Di saat hampir semua dari kami pakai baju resmi –bahkan ada dua orang kawan kami yang heboh mempersiapkan kostum sehari sebelumnya– Windu hanya pakai celana jeans dan… Kaos oblong warna hitam. Dan itu kaos dari kemarin.
“Ternyata ada yang lebih parah dari kamu, ya,” komentar istriku waktu melihat foto kami.
Lalu ada satu momen yang bikin kami ketawa-ketawa kayak orang goblok kalau mengingatnya.
Di Tartu, ada waktu senggang sebelum datang ke acara pesta rakyat berupa festival musik dan tari. Aku, Yandri, dan Mon dari Thailand, membeli piringan hitam. Windu pergi cari buku. Kami janjian ketemu di taman dekat hotel. Untuk teman nongkrong, aku beli tiga botol bir dan dua kantong keripik.
Ketika kami asyik ngobrol, datanglah seorang tunawisma. Ia mengajak kami ngobrol dengan Bahasa Inggris. Aku lalu menawarinya bir, memberinya roti dan keripik, dan mengajaknya ngobrol. Kami sefrekuensi dan bisa saling memahami.
Windu, entah kenapa, selalu tertawa kalau ingat momen itu.
Pulang dari Estonia, kami berdua terjebak drama yang menguras emosi. Pelayanan Turkish Air yang ngaco membuat kami terdampar di Istanbul. Setelah dua jam jadi seperti bola pingpong, kecuekan para petugas yang membuat otot dan urat leher kami mengencang, maskapai akhirnya memberi kami masing-masing satu kamar hotel –bintang lima, yesss!– , tiket pulang penerbangan esok hari, dan kompensasi sebesar 600 Euro.
Kejadian ini, ditambah pengalaman ketika kami keliling Istanbul, membuat kami sepakat: ini kota yang sepertinya bakal kami benci. Hahaha.
Satu hal: sepertinya itu pertama kali aku melihat Windu marah. Benar-benar marah. Ia bukan Windu yang cengengesan, kalem, dan logis.
Kali kedua aku melihat Windu seperti itu, ditambah rasa kecewa yang terlihat dari mata dan decakan berulang kali, adalah ketika ada satu kejadian di kantor yang akhirnya menjebol benteng kesabarannya. Peristiwa itu berujung satu keputusan yang bikin saya sedih.
Windu memutuskan mengundurkan diri.
Kami sekarang berbeda kantor, tapi masih sesekali ngobrol dan bercanda via pesan WA. Tak lagi intens seperti dulu, tapi kami masih cukup sering bertukar kabar.
Siang tadi Windu berangkat ke Belanda untuk melanjutkan sekolah. Aku senang sekali ketika di awal tahun ini mendengar Windu akhirnya lolos beasiswa doktoral setelah tahun lalu gagal di tahap wawancara. Aku senang melihat Windu terus mengejar mimpinya untuk menuntut ilmu setinggi yang ia mampu. Pada akhirnya, ilmu pengetahuan selalu jadi dunia paling menarik bagi Windu.
Kami berjanji akan ketemuan tahun depan. Mungkin aku dapat kesempatan main ke Leiden, atau bisa juga aku dapat jalan untuk mengunjungi London lagi.
Satu yang pasti, Windu pasti masih akan pakai kaos di momen itu.