Beberapa hari lalu saya menonton Burnt, film kuliner yang dibintangi Bradley Cooper dan Seina Miller. Hasil unduh tentu saja. Sebab entah kenapa film ini tidak, atau belum, ditayangkan di Indonesia.
Kisahnya sebenarnya standar. Adam Jones (Bradley Cooper), adalah seorang chef yang kembali bangkit dari kubur. Dia pernah menjadi chef di restoran bintang dua Michelin di Paris, kemudian karirnya hancur karena narkoba. Dia kemudian menghilang. Dianggap meninggal, atau tewas dibunuh bandar narkoba. Ternyata dia menghukum diri sendiri, sekaligus berusaha untuk sembuh dari kecanduan.
Usahanya berhasil. Maka dia mulai mendatangi kawan lama, Tony (Daniel Bruhl), mantan kepala pelayan yang pernah bekerja bareng Adam. Dia sekarang mengelola hotel mewah yang dimiliki sang bapak. Tujuan Adam jelas: mencari modal untuk restoran. Tony setuju.
Maka mulailah Adam mencari personel impian untuk restoran yang akan dia bangun. Setelah kru dapur terkumpul, maka cita-cita mulai dicanangkan oleh Adam: mendapat bintang tiga Michelin.
Salah satu momen menarik di film ini adalah ketika Adam yang saat itu sedang tak berumah, menumpang tinggal di rumah salah satu krunya. Sang kru tak bisa tidur karena deg-degan. Pacarnya berbisik: siapa sih dia? Kamu yakin dia terkenal?
“Kalau kamu chef, dia itu seperti… The Rolling Stones.”
“Dia bikin aku takut.”
“Ya gimana lagi, dia chef bintang dua Michelin. Dia harus menakutkan.”
“Dua bintang? Kok ndak banyak?”
Sang kru lelaki ini menghela nafas. Kemudian kembali mendongeng soal Michelin sembari berusaha memaklumi ketololan kekasihnya itu.
“Bahkan untuk dapat satu bintang Michelin aja, kamu harus seperti Luke Skywalker. Kalau dapat dua bintang kamu harus seperti… Obi-Wan Kenobi. Dan kalau kamu dapat tiga bintang… kamu adalah Yoda.”
Percakapan itu lantas membawa pikiran saya melanglang tentang derajat bintang Michelin dan betapa kerasnya kehidupan di dapur restoran Michelin. Bagi yang belum tahu, Michelin adalah kitab suci para penggemar makanan, terutama makanan mewah dan berkelas. Sejak lebih dari seratus tahun lalu, Michelin selalu menerbitkan buku panduan restoran terbaik di dunia. Bintang satu, bintang dua, dan yang tertinggi: bintang tiga.
Lucunya, atau malah menggelikannya, buku panduan ini diterbitkan oleh Michelin, satu dari tiga perusahaan ban terbesar di dunia. Kenapa lucu? Ya karena orang percaya panduan restoran yang diterbitkan perusahaan ban. Ah sudahlah.
Bagi restoran-restoran terbaik di dunia, bintang Michelin adalah segalanya. Kehilangan bintang bisa berdampak buruk pada kelangsungan bisnis. Sebaliknya, mendapat bintang bisa mendongkrak popularitas restoran. Dalam Burnt, tekanan itu tampak dari hari perdana pembukaan restoran Adam. Dia marah-marah. Membanting semua perkakas. Membentak semua orang. Petaka.
Mungkin Burnt adalah fiksi. Tapi kerasnya kehidupan dapur itu nyata. Benar adanya. Apalagi di dapur restoran Michelin. Apalagi di restoran yang sedang berusaha mendapat bintang tiga Michelin.
Beberapa hari setelah menonton Burnt, situs BBC Indonesia menurunkan berita dengan judul Koki Terbaik Dunia, Benoit Violier Diduga Bunuh Diri. Benoit adalah pemilik restoran de I’Hotel de Ville di Swiss, yang mendapat tiga bintang Michelin. Dalam senarai La Liste, daftar 1.000 restoran terbaik di dunia yang dirilis oleh Kementrian Luar Negeri dan Pariwisata Perancis, restoran milik Benoit ini menempati peringkat pertama dengan poin 82,35.
Berbagai dugaan menyeruak. Kematian Benoit mungkin disebabkan karena tak kuat menahan tekanan karena mengelola restoran terbaik dunia. Kalau kamu sudah berada di puncak, maka hal yang bisa kamu lakukan adalah turun ke bawah. Dan pengelola restoran terbaik dunia tentu berusaha keras menjaga agar itu tak terjadi. Tekanan semacam itu yang diprediksi menjadi penyebab Benoit bunuh diri.
Benoit bukan chef Michelin pertama yang mencabut nyawanya sendiri. Pada 2003, Bernard Loiseau, chef masyhur asal Perancis yang menginspirasi sosok chef Auguste Gusteau dalam film animasi Pixar, Ratatouille, bunuh diri dengan menembakkan senapan berburu ke mulutnya. Penyebab bunuh diri, diperkirakan, karena dia stress mendengar kabar burung kalau restoran bintang tiganya, La Côte d’Or’s, akan turun menjadi restoran dua bintang sahaja.
Spekulasi ini bertambah kuat karena Bernard sempat mewanti-wanti asistennya, Jacques Lameloise.
“Kalau aku kehilangan satu bintang, aku akan bunuh diri,” ujar Jacques.
Daniel Boulud, sahabat Bernard yang juga chef terkenal di Amerika Serikat, mengatakan bahwa, “Ada gosip kalau restoran Bernard akan kehilangan satu bintang, dan dia tertekan. Malangnya, dia tidak bisa menahan tekanan itu.”
Sekitar tiga empat bulan lalu, saya sempat iseng bilang ke Rani kalau saya ingin jadi koki. Tukang masak. Saya tentu sadar kalau ini adalah keinginan iseng belaka. Sebab saya mungkin tak akan tahan kerja di dapur profesional. Memasak mungkin menyenangkan bagi saya. Sangat menyenangkan. Tapi untuk menjadi tenaga masak profesional, nanti dulu. Saya tahu diri.
Saya sekarang sedang menerjemahkan artikel dari Vanity Fair, berjudul Why Some of the World’s Most Famous Chefs Don’t Want a Michelin Star. Mungkin akan saya sambung dengan menerjemahkan Who’s to Judge: How the World’s 50 Best Restaurants are Chosen yang pernah dimuat di The New Yorker. Dua artikel ini mungkin bisa menggambarkan seluk beluk bintang Michelin dan bisnis restoran terbaik dunia.
Tapi antri dulu, saya sedang berusaha keras menyelesaikan terjemahan tulisan Chuck Klosterman tentang Eddie van Halen. Sudah lewat tenggat pula, lewat dari ulang tahun Eddie beberapa hari lalu. Saya ternyata tak bisa kejam dengan diri sendiri. Sudah pasti tak akan bisa kejam pada orang lain.
Terang benderang sudah, saya tak akan bisa jadi chef Michelin. []
iya, saya baca itu kemarin berita chef yg bunuh diri itu, dan membaca tulisan njenengan ini saya mendapat pencerahan sangat. benerjuga, orang yang sudah ada di puncak dan terbebani dengan reputasi terbaiknya, kalo ga kuat mental solusinya ya kabur aja dari dunia ya. mengerikan ! saya memutuskan untuk memupus impian saya jd gubernur, deh haha
dan entah kenapa, kemarin, tiba2 kembali ingin menulis sedikit ttg njenengan, monggo kalo sempet ditilik http://auk.web.id/?p=26 😀 matur nuwun
Hahaha. Gak papa lah mas jadi Gubernur. Nanti lanjut jadi Presiden. Siapa tahu beneran bisa, kan saya bangga, bisa ngomong, “Mas Ridwan dulu sering ke kontrakan saya.” Hehehe.
Waaaah, sampe ditulis segala. Makasih banyak ya mas 😀 Tapi ada koreksi sedikit, nama doggy-nya Ozzy, dan warnanya putih gading. Hehehe.
huahaha terbukti ingatan saya makin payah, skarang. Asli saya ingetnya item & kecil dan bernama Axl je. Coba dicek lg mas.. 😐
WOOOOH KLEAN KENAL!
dan Om Warm ternyata namanya Mas Ridwan. wasbyasak!
lhoo siapa sih di negeri ini yg ndak kenal sama mas Nuran hehehe
Iya lah mbak Pit, siapa di dunia blogging ini yang ndak kenal sama Om Warm, alias Om Ridwan, hhe hhe 😀
mas, tim penilai michelin itu siapa aja? kenapa mereka dipilih? indikator bintangnya itu opo wae?
Alhamdulillah saya sudah nonton film Burnt, dapet donlot juga hehe. Cuplikan obrolan salah satu kru yang ditumpangi oleh adam juga bagian yang menarik bagi saya..