Oleh: Chuck Klosterman
Eddie Van Halen tidak mendengarkan musik.
Itu bukan kalimat yang salah atau majas ironi. Eddie Van Halen memang tidak mendengarkan musik. “Aku tidak mendengarkan apapun,” katanya dari sofa kehijauan di dalam 5150, studio rekaman rumahan nan luas yang dibangun di tempat tinggal seluas 7 acre di Studio City, California.
Awalnya Aku menanyakan apakah Eddie pernah mendengarkan ulang album-album lawas Van Halen. Dia bilang tidak tertarik melakukan hal itu. Ketidaktertarikannya pada album-album lawasnya hanya sedikit puncak yang tampak dari gunung es keanehan. Tidak seperti musisi lain yang pernah aku temui, Eddie tidak mendengarkan musik yang tak melibatkannya secara aktif.
Album terakhir yang dibelinya adalah album So milik Peter Gabriel yang dirilis pada 1986. Dia tidak akrab dengan karya Radiohead, Metallica, atau Guns N Roses. Dia tampaknya hanya tahu lagu Ozzy Osbourne yang dimainkan oleh Randy Rhoads, dan tentu saja itu “Crazy Train”.
Dia jarang mendengarkan Pantera, meskipun dia memberi ucapan perpisahan pada pemakaman gitarisnya dan menempatkan kapak dari album Van Halen II ke dalam peti jenazahnya. Eddie tidak mendengarkan radio di mobilnya, terutama karena istrinya tidak suka radio (“Aku lebih suka suara motor,” ujarnya).
Dengan malu-malu, dia mengakui tidak pernah mendengarkan musik sebagian besar band yang membuka konser Van Halen. Dia sempat khawatir, “Apakah itu membuatku jadi orang brengsek?” Memang kadang-kadang dia mendengarkan Yo-Yo Ma, karena dia suka suara cello. Tapi itu pun juga jarang.
“Ini memang hal yang aneh, tapi aku selalu seperti ini di sepanjang hidupku,” lanjutnya. “Aku tidak bisa membuat rekaman kontemporer bahkan jika aku kepingin, karena aku tidak tahu seperti apa sound musik kontemporer itu.”
Saat di bangku SMA, dia terobsesi dengan Eric Clapton, lumayan tertarik pada Black Sabbath dan Deep Purple. Nama-nama itu saja sudah cukup banyak baginya. Eddie dapat mempelajari musik apapun secara intuitif, dan bisa membuat lagu sendiri setiap hari –arsip 5150 berisi banyak lagu yang tak pernah dia rilis– namun dia tidak begitu tertarik pada musik orang lain (gitaris “baru” yang disukainya adalah Allan Holdsworth, gitaris jazz berusia 68 tahun, alias lebih tua delapan tahun ketimbang dirinya).
Dan jika kamu menganggap hal itu sudah aneh, ini hal yang lebih aneh: beberapa menit setelah obrolan ini, aku menyebut nama Taylor Swift sebagai contoh dari penulisan lagu di era modern. Sebelum aku selesai bercerita, Eddie secara retoris menebak kalau Max Martin punya andil dalam menulis lagu-lagu Swift. Jadi, bagaimana mungkin orang yang tidak mendengarkan musik selama tiga dekade, bisa tahu reputasi penulis musik Swedia yang punya spesialisasi pada musik pop polesan itu.
“Aku punya banyak alarm Google,” kelakarnya. “Mungkin aku pernah membacanya, seseorang bilang ‘kalau Max Martin memainkan gitar seperti Eddie Van Halen, dia akan berbahaya.’ Aku tahu dia seperti Desmond Child era Modern. Dia membuat semua lagu hits. Tapi cuma itu saja yang aku tahu tentangnya.”
Itu adalah sebuah kontradiksi –tapi bukan yang pertama, bukan pula yang terakhir.
Berawal dari kancah musik dan pesta belakang rumah di Pasadena dekade 70-an, Van Halen secara radikal membuat musik metal Amerika menjadi lebih modern. Dengan cara mengurangi distorsi, lebih melodius, mengurangi unsur gotik dan kegelapan, serta menjadi lebih inklusif.
Enam album pertama Van Halen terjual sebanyak 34 juta kopi di Amerika Serikat. Lagu “Jump” menjadi single nomer 1 pada 1984. Namun letupan kesuksesan ini berujung pada komidi putar keonaran yang tak pernah berhenti: Vokalis David Lee Roth berkarir solo, memaksa Van Halen untuk membuat ulang identitas baru dengan Sammy Hagar.
Selama 10 tahun berikutnya, Van Halen yang lebih halus dan tidak terlalu bombastis menjual 14,7 juta keping album. Namun formasi ini sama saja berantakannya, berujung pada percekcokan sengit dan keluarnya Hagar, hingga rekonsiliasi setengah hati dengan Roth pada MTV Music Award 1996. Bencana itu kemudian mengulir pada perkongsian aneh dengan mantan vokalis Extreme, Gary Cherone, satu-satunya vokalis yang secara resmi dipecat.
“Ngeband dengan Cherone memang aneh,” kenang Eddie. “Kami siap pergi tur, dan tiba-tiba aku melihat dandanan ala John Travolta –sayap-sayapan besar dan jaket norak. Dia seperti bersikap, ‘ya ini gaya manggungku.’ Itu momen di mana aku sadar bahwa formasi ini tak akan berhasil. Tapi aku sama sekali tidak membencinya.”
Hagar kembali bergabung pada 2003 (sebagian besar untuk tujuan tur) namun keluar lagi setelah dua tahun, kali ini diikuti oleh keluarnya pemain bass Michael Anthony (yang kemudian digantikan oleh Wolfgang, anak laki-laki Eddie). Rumor kembalinya Roth menggelembung di permukaan; dan akhirnya benar-benar terjadi pada 2007. Formasi ini bertahan hingga sekarang. Formasi ini merilis album A Different Kind of Truth pada 2012, yang kemudian diikuti oleh album live di Jepang pada 2015. Menariknya, A Different Kind of Truth memasukkan beberapa lagu lama yang terabaikan, dipilih oleh Wolfgang dan liriknya diperbarui oleh Roth.
Eddie melihat segala perubahan ini seperti veterang perang Vietnam mengingat Kamboja — detail tertentu tidak begitu teringat dan kenangan lain tercampur, tapi tak ada nostalgia di sini. Gitaris paling hiperkinetik selama 40 tahun tahun belakangan ini adalah seorang normcore (seorang dengan gaya berpakaian sederhana, tidak pretensius, gabungan dari kata normal dan hardcore).
“Aku adalah lelaki t-shirt dan jeans,” katanya sembari melakukan vaping.
Dia sudah tidak lagi merokok, sudah kehilangan sepertiga lidahnya karena kanker yang menyerang esopaghus. Namun dia tidak yakin kalau rokok adalah penyebab kankernya.
“Aku menggunakan pick logam –kuningan dan tembaga– yang selalu aku gigit di bibir. Tepat pada bagian di mana aku kena kanker,” katanya. ‘Ditambah, aku benar-benar hidup dalam studio rekaman yang dipenuhi oleh energi elektromagnetis. Itu teorinya. Maksudku begini. Aku memang merokok dan banyak ngedrugs. Tapi paru-paruku bersih. Itu memang teoriku, tapi dokter bilang bisa jadi pick logam dan energi elektromagnetis itu yang menyebabkan kankerku.”
Operasi pemotongan lidah ini berpengaruh pada caranya berbicara, sama seperti penggantian pinggul pada 1999 yang mempengaruhi cara geraknya. Tapi dia masih berolahraga beberapa kali dalam seminggu dan tetap gesit. Sebagai buktinya, Van Halen akan melakukan lebih dari 40 tur di Amerika Utara. Dia akan bergabung dengan drummer yang juga saudaranya, Alex (yang dia cintai), anak laki-laki yang jadi bassist (yang juga dia cintai), dan vokalis Roth (yang tidak punya hubungan apa-apalah itu).
“Roth tidak ingin jadi temanku,” kata Eddie yang tampak selalu terkejut dengan fakta ini.
“Gimana ya cara ngomongnya: persepsi Roth tentang dirinya sangat berbeda dengan siapa dirinya yang sebenarnya. Kami sudah bukan pria 20-an lagi. Kami sudah berumur 60-an. Maka coba bertingkahlah seperti orang umur 60-an. Aku berhenti mengecat rambutku, karena aku tahu aku tidak akan muda lagi.”
Eddie ingin membuat album baru Van Halen. Tapi rencana itu punya hambatan besar. “Susah, karena ada empat orang di band ini. Tiga dari kami suka rock n roll. Dan satu dari kita suka dance music,” katanya. “Dulu hal semacam itu bisa diatasi dengan diskusi, tapi sekarang Dave tidak ingin diskusi lagi.”
Saat berkata demikian, Eddie tampak lebih sabar menghadapi Roth ketimbang menghadapi Hagar dan Michael. Eddie bersumpah dia tidak membenci siapapun, tapi dendamnya memang membatu (bahkan dia masih dendam pada produser langganan mereka, Ted Templeman karena memaksanya membuang komposisi kibord Minimoog untuk lagu “Dancing in the Streets” pada 1982: “Alasan aku membuat studio ini karena aku ingin balas dendam ke Templeman.”)
Siapapun tak akan menyangkal kalau Eddie adalah gitaris jenius. Kejeniusan Eddie bertubrukan dengan logika: dia adalah otodidak yang bisa memainkan instrumen musik manapun (dia bahkan punya oboe), tapi dia juga musisi rock langka yang belajar musik di bangku kuliah (baik dia dan Alex belajar di Pasadena Community College pada awal 70-an).
Dia adalah pianis yang ahli komposisi klasik, tapi tidak bisa baca tablature. Dan dia bersikeras kalau saja dia les gitar, dia tidak akan menemukan teknik inovatif yang sekarang diajarkan pada instruktur gitar manapun.
“Eddie punya bakat melodius, bisa menghasilkan groove terbaik,” kata Joe Satriani, sesama virtuoso gitar yang kini bermain di Chickenfoot bersama dua mantan anggota Van Halen.
“Eddie kembali mempopulerkan gitar, saat instrumen itu mulai tidak populer. Dia juga membuat takut jutaan gitaris lain di seluruh dunia karena permainannya sangat apik. Dan orisinal.” []