Demi menghormati mangkatnya petinju terbesar sepanjang masa, saya menerjemahkan sebuah artikel yang ditulis oleh Gay Talese untuk Esquire edisi September 1996. Karena ultra panjang, saya harus menerjemahkan artikel berjudul asli Ali in Havana ini pelan-pelan dan bertahap. Ini bagian pertamanya. Selamat membaca.
PADA sebuah petang yang hangat serta berangin di Havana, banyak restoran terkenal dipenuhi turis dari Eropa, Asia, dan Amerika Selatan, dihibur oleh gitaris yang tanpa lelah menyanyikan “Guan-tan-a-mera…guajira…Guan-tan-a-mera“; dan di Kafe Cantante ada banyak penari salsa, raja mambo, juga lelaki penghibur bertelanjang dada yang mengangkat meja dengan giginya; serta para penari perempuan berikat kepala saling menempelkan badan yang meniup peluit selagi berputar gila-gilaan dengan badan yang berkilau erotis.
Di tempat seperti kafe, restoran, hotel, dan tempat umum di seluruh pulau, cerutu dan rokok bisa dihisap tanpa larangan atau batasan. Dua orang pelacur merokok dan berbicara berdua di pojokan jalan remang-remang yang membatasi halaman berumput hotel bintang lima di Havana, Hotel Nacional. Mereka berdua adalah perempuan dengan kulit warna tembaga, berumur kisaran dua puluhan, memakai halter dan rok mini dengan warna yang mulai pudar.
Selagi berbincang, mereka memperhatikan dua lelaki –satu kulit putih, satu kulit hitam– bercengkrama di dekat sebuah mobil Toyota warna merah yang parkir dengan bagasi terbuka. Mereka berdebat tentang harga sekotak cerutu Havana ilegal.
Pria berkulit putih itu adalah orang Hungaria berdagu persegi berumur tengah 30-an, mengenakan jas tropis berwarna abu-abu dengan dasi lebar berwarna kuning. Dia adalah salah satu wirausahawan di Havana yang paling terkenal menjual cerutu Kuba buatan tangan berkualitas tinggi, dengan harga di bawah pasaran lokal dan internasional. Sedangkan yang berkulit hitam adalah pria Los Angeles sekitar 50-an tahun, berbadan tegap, botak, bernama Howard Bingham. Dan berapapun harga yang disebutkan si Pria Hungaria itu, Bingham menggelengkan kepala dan bilang, “Nggak, nggak. Itu terlalu mahal.”
“Kamu gila!” jerit si Hungaria dengan sedikit aksen Inggris, sembari membawa satu kotak cerutu dari bagasi dan menggoyangkannya di depan wajah Bingham.
“Ini adalah Cohiba Esplendidos! Yang terbaik di seluruh dunia! Di Amerika Serikat, orang mau membayar 1.000 dollar untuk satu kotak!”
“Tapi aku enggak mau,” kata Bingham, yang petang itu mengenakan kemeja Hawaiian dengan kamera tergantung di leher. Dia adalah fotografer profesional, dan sedang tinggal di Hotel Nacional dengan kawannya, Muhammad Ali. “Aku tidak mau membayar lebih dari 50 dollar.”
“Kamu beneran gila,” kata si Hungaria lagi, sembari menggores segel kotak cerutu dengan kukunya, membuka kotaknya untuk memperlihatkan cap merek Esplendidos yang berkilauan.
“Lima puluh dollar,” kata Bingham.
“Seratus dollar,” si Hungaria ngotot. “Buruan! Keburu polisi muncul.” Si Hungaria bersikap waspada. Dari balik mobil dia mengintip halaman yang dihiasi pohon palem dan tiang-tiang lampu yang berpendar di kejauhan. Jalan menuju serambi hotel yang dijejeri tiang dengan aneka rupa hiasan sudah mulai ramai oleh orang-orang dan kendaraan. Si Hungaria kemudian menegok ke jalan besar, dan matanya bersirobok dengan dua orang perempuan penghibur yang sudah tak lagi merokok itu. Dia mengerutkan dahi curiga.
“Buruan!” katanya ke Bingham, seraya menyerahkan kotak cerutu. “Seratus dollar.”
Howard Bingham tidak merokok. Dia, Muhammad Ali, dan rekan-rekan seperjalanannya akan meninggalkan Havana besok, setelah berpartisipasi dalam acara kemanusiaan yang membawa sepesawat penuh obat-obatan untuk rumah sakit dan klinik medis yang kehabisan pasokan karena embargo Amerika Serikat. Bingham ingin pulang dengan beberapa cerutu ilegal terbaik untuk kawan-kawannya. Tapi di sisi lain, menurutnya, seratus dollar itu masih terlalu mahal.
“Lima puluh dollar,” kata Bingham dingin, menengok jam tangannya. Dia memutuskan untuk pergi.
“Oke, oke,” kata Si Hungaria dengan tak sabar. “Lima puluh dollar.”
Bingham merogoh uang di kantong, dan si Hungaria lekas mengambilnya kemudian menyerahkan sekotak Esplendidos sebelum minggat dengan Toyotanya. Salah satu kupu-kupu malam itu menghampiri Bingham, tapi sang fotografer buru-buru pergi ke hotel.
Malam itu Fidel Castro mengadakan pesta untuk Muhammad Ali, dan Bingham hanya punya setengah jam untuk berganti pakaian dan berada di serambi hotel untuk bergabung dalam bus yang akan membawa mereka menuju kantor kepresidenan. Dia akan membawa salah satu hasil fotonya untuk si pemimpin Kuba itu –sebuah foto yang diperbesar, memperlihatkan Muhammad Ali dan Malcolm X berjalan bersama di trotoar Harlem pada 1963. Malcolm X saat itu berumur 37 tahun, dua tahun sebelum dia tewas ditembak; sedangkan Ali yang berusia 21 tahun kala itu, baru akan memenangkan pertandingan kelas berat dalam pertandingan tak terlupakan melawan Sonny Liston di Miami. Foto karya Bingham itu ditulisi: UNTUK PRESIDEN FIDEL CASTRO, DARI MUHAMMAD ALI. Di bawah tanda tangannya, mantan juara dunia itu menggambar hati berukuran kecil.
MESKIPUN Muhammad Ali sekarang berusia 54 tahun dan sudah pensiun dari tinju selama lebih dari 15 tahun, dia tetaplah salah satu lelaki paling kondang di dunia, dikenali di lima benua; dan selagi berjalan menyusuri lobi Hotel Nacional untuk menuju bus, dengan mengenakan tuksedo abu-abu sewarna kulit hiu dan kemeja sutra putih yang dikancing hingga atas tanpa mengenakan dasi, beberapa tamu hotel mendekati Ali dan meminta tanda tangannya. Butuh waktu 30 detik baginya untuk menulis “Muhammad Ali”, tangannya begitu gemetar, efek dari sindrom Parkinson. Meskipun dia berjalan tanpa bantuan, gerakannya cukup lambat, dan Bingham serta istri keempat Ali, Yolanda, mengikuti di dekatnya.
Bingham bertemu Ali 35 tahun lalu di Los Angeles, tak lama setelah Ali menjadi petinju profesional dan beberapa saat sebelum dia membuang “nama budaknya” (Cassius Marcellus Clay) untuk kemudian bergabung dengan organisasi Black Muslims. Bingham kemudian menjadi kawan lelaki terdekat Ali dan sudah memotret semua aspek kehidupannya: kenaikan dan kejatuhan tiga kalinya sebagai juara kelas berat; tiga tahun terusirnya Ali dari dunia tinju, dimulai pada 1967, karena menolak bergabung dengan tentara Amerika dalam Perang Vietnam (“Aku tak pernah punya masalah dengan orang Vietnam”); empat pernikahannya; Ali jadi bapak dari sembilan anak (satu adposi, dan dua anak bukan dari hasil pernikahan); kemunculan Ali yang seakan tanpa akhir di semua bagian dunia –Jerman, Inggris, Mesir (berlayar di sungai Nil bersama anak lelaki Elijah Muhammad), Swedia, Libya, Pakistan (memeluk pengungsi dari Afghanistan), Jepang, Indonesia, Ghana (mengenakan dashiki dan berpose bersama Presiden Kwame Nkrumah), Zaire (menghajar George Foreman), Manila (menghajar Joe Frazier)… dan sekarang, di malam terakhir kunjungan Kuba 1996, dia sedang menuju jalan bertemu dengan pemimpin ranum yang sudah lama dia kagumi –seorang yang bertahan selama 40 tahun meskipun dibenci dan menghadapi niat jahat 9 presiden Amerika Serikat, CIA, Mafia, dan berbagai rupa warga Kuba-Amerika.
Bingham menunggu Ali di dekat pintu bus yang menutupi jalan masuk hotel; tapi Ali terperangkap dalam kerumunan orang di lobi, dan Yolanda membiarkan beberapa orang lebih dekat dengan suaminya.
Yolanda adalah perempuan rupawan berbadan besar, berusia 38 tahun, yang punya senyum berseri, bintik-bintik di wajah, dan sedikit corak kulit yang menandakan jejak keturunan berbeda ras. Sehelai selendang yang tergantung menyaput kepala dan bahunya, bahunya ditutupi oleh gaun lengan panjang, dan bawahan gaun apik berwarna cerah itu menggantung hingga bawah lutut.
Dia berpindah agama dari Katholik ke Islam saat menikahi Ali, pria yang lebih tua 16 tahun tapi memiliki ikatan keluarga, bisa ditengok pada masa kecilnya di kampung halaman mereka berdua di Louisville. Ibu Ali dan ibu Yolanda adalah sahabat dekat yang berpergian bareng untuk menonton pertandingan Ali. Yolanda kemudian bergabung dalam rombongan Ali, menjadi dekat tidak hanya dengan dunia tinju, tapi juga perempuan-perempuan yang pernah ada di kehidupan Ali: para kekasih, istri-istrinya, ibu dari anak-anaknya; dan Yolanda masih tetap berhubungan baik dengan Ali selama dekade 1970-an, ketika dia kuliah psikologi di Vanderbilt dan kemudian mendapat gelar master dalam jurusan bisnis di UCLA. Kemudian –seiring berakhirnya karir tinju dan pernikahan ketiga Ali, serta kesehatan yang memburuk– Yolanda menjadi makin dekat secara kasual, dan secara alami dia menjadi pendamping Ali.
Yolanda tahu Ali menikmati keadaan dikerubuti penggemarnya. Ada sebersit cahaya di matanya. Wajahnya memang tidak ekspresif, dan tak ada kata-kata yang keluar dari juara dunia yang pernah sangat cerewet ini. Tapi otak di balik penyakit Parkinson itu masih berfungsi secara normal, dan dia selalu berkomitmen terhadap apa yang dia kerjakan. Dia selalu menulis namanya lengkap pada kartu atau secarik kertas yang diajukan para penggemarnya. “Muhammad Ali.” Dia tidak pernah hanya menulis Ali, atau inisial. Dia tak pernah mengecewakan para penggemarnya.
Para penggemar malam ini berasal dari Amerika Latin, Kanada, Afrika, Rusia, Tiongkok. Jerman, Prancis. Ada 200 biro perjalanan Prancis yang menginap di hotel, dalam rangka kerjasama dengan pemerintah Kuba untuk meningkatkan perdagangan pariwisata di sana (tahun lalu ada 745.000 turis membelanjakan sekitar 1 milliar dollar). Selain itu juga ada produser film asal Italia bersama kawan perempuannya dari Roma, dan mantan pegulat Jepang, Antonio Inoki, yang pada pertandingan persahabatan pada 1976 di Tokyo pernah mencederai kaki Ali (tapi Ali menyambutnya hangat dua malam lalu di lounge hotel sembari mendengarkan pianis Kuba Chucho Valdes memainkan jazz dengan piano baby grand Moskva buatan Rusia); dan di kerumunan penggemar juga ada, menjulang dibanding yang lain, mantan pahlawan kelas berat Kuba berusia 45 tahun setinggi 195 centimeter, Teofilo Stevenson, yang merupakan peraih tiga kali medali emas Olimpiade 1972, 1976, dan 1980. Di Kuba, dia sama terkenalnya dengan Ali atau Castro.
Meski reputasi Stevenson berasal dari kekuatan dan skill dalam ring (meskipun dia tak pernah bertarung dengan Ali), dia juga dikenal dan dihormati karena tidak tergiur oleh tawaran promotor tinju profesional, dengan keras kepala menolak dollar dari para Yankee (julukan ejekan untuk kulit putih Amerika) –meskipun Stevenson sangat melarat. Dia masyhur sebagai Merak Kuba di seluruh penjuru negeri. Menempati jabatan tinggi dalam program atlet Kuba dan mendapatkan banyak perhatian dari perempuan Kuba. Hasilnya: dia punya empat istri, yang menjadi saksi bagaimana canggihnya selera perempuan Stevenson.
Istri pertamanya adalah seorang instruktur tari. Yang kedua adalah insinyur industri. Bini ketiga adalah dokter. Istri yang sekarang, alias yang keempat, adalah pengacara. Namanya Fraymari, perempuan mungil 23 tahun dengan kulit berwarna zaitun dan sedikit manja. Berdiri di samping suaminya yang jangkung, tinggi badannya tak lebih tinggi dari bagian tengah guayabera berbordir –lengan pendek, dibuat ketat membungkus badan, sehingga menampakkan torso yang tirus, bahu yang lebar, lengan panjang dan kekar berwarna gelap, yang dulu pernah menghajar para musuh-musuh yang meremehkan penampilan Latinnya yang manis.
Stevenson selalu bertarung dengan posisi yang tegap, dan dia menjaga postur itu hingga sekarang. Saat orang-orang berbicara dengannya, matanya menatap ke bawah tapi kepalanya tetap tinggi. Rahang di kepala ovalnya seakan sudah terkunci pada posisi yang pas dengan tulang belakang yang tegak. Dia adalah orang yang bangga dengan tinggi badannya. Tapi dia juga mau mendengarkan omongan orang lain, terutama ketika kata-kata yang ditujukan padanya berasal dari pengacara mungil nan elegan yang adalah istrinya. Fraymari kini mengingatkan Stevenson bahwa mereka terlambat –semua orang seharusnya sudah ada di bus; Fidel mungkin sudah menunggu mereka.
Stevenson merendahkan pandangannya ke istrinya, kemudian mengedipkan mata. Dia tahu maksud istrinya. Selama kunjungan Ali di Kuba, Stevenson adalah pemandunya. Dia juga pernah menjadi tamu Ali di Amerika Serikat selama musim semi 1995; dan meskipun dia hanya tahu sedikit bahasa Inggris, dan Ali sama sekali tak bisa bahasa Spanyol, mereka saling memahami melalui bahasa tubuh.
Stevenson kemudian menyibak kerumunan penggemar, dan dengan lembut merangkulkan lengan kanannya pada bahu Ali. Kemudian, pelan tapi pasti, dia menuntun Ali menuju bus.
PERJALANAN menuju Istana Revolusi yang didiami Fidel Castro mengingatkan masa penuh kenangan mobil-mobil pabrikan Amerika yang merangkak lambat sekitar 40 kilometer per jam –mobil tanpa per, Ford dua pintu pre-embargo dan sedan Plymouth, DeSoto dan LaSalle, Nash dan Studebaker.
Juga berbagai kendaraan rongsok catutan yang dibuat dari kisi-kisi Cadillac, as roda Oldsmobile, dan spatbor Buick yang direkatkan dengan plat baja dari drum minyak dan digerakkan oleh mesin yang entah bagaimana bisa menghubungkan alat-alat dapur, mesin pemotong rumput dari zaman sebelum Batista, dan berbagai peralatan lain; membuat keahlian serampangan macam itu jadi serupa karya seni adiluhung.
Jenis transportasi baru yang bisa dilihat di jalanan tentu adalah produk non Amerika. Fiat dari Polandia, Ladas Rusia, motor skuter Jerman, sepeda Tiongkok, dan bus mengkilap berpendingin udara yang baru diimpor dari Jepang. Dalam bus itulah Muhammad Ali kini memandang jalanan dari jendela yang tertutup. Sesekali dia melambaikan tangan untuk membalas sapaan para pejalan kaki atau pesepeda atau pesepedamotor yang mengenali bus Ali, yang jadwal kunjungannya telah ditayangkan berulang kali di televisi lokal.
Seperti biasa, dalam bus Ali selalu duduk sendiri, menyelonjor santai di dua kursi depan bagian kiri, pas di belakang supir dari Kuba. Yolanda duduk di kursi kernet, di bagian depan deretan kanan. Di belakang Yolanda adalah Teofilo Stevenson, Fraymari, dan Bingham. Di belakang Ali dan juga menempati dua kursi, adalah penulis skrip film asal Amerika bernama Greg Howard yang beratnya lebih dari 136 kilogram.
Meskipun Howard baru melancong bareng selama beberapa bulan untuk riset film kehidupan Ali, dia sudah menjelma sebagai sidekick dekat Ali dan merupakan satu dari sedikit sekali orang yang mendengarkan suara Ali dalam perjalanan kali ini. Sang petinju legendaris memang berbicara amat pelan sehingga mustahil mendengarnya dalam kerumunan. Karena itu, apapun komentar atau pernyataan darinya, selalu diungkapkan secara verbal oleh Yolanda, atau Bingham, atau Teofilo Stevenson, atau si penulis muda nan gemuk itu.
“Ali sedang berada dalam masa Zen-nya,” kata Greg Howard lebih dari sekali, untuk merujuk sikap tenang Ali. Seperti Ali, dia mengagumi apa yang selama ini dia lihat di Kuba. “Tidak ada rasisme di sini.” Dan sebagai orang kulit hitam, dia telah lama merasakan apa yang selama ini dilawan oleh Ali dan juga membuat Ali frustasi. Skripsinya kala masih jadi mahasiswa di Princeton menganalisis kerusuhan ras di Newark pada 1967, dan naskah film Hollywood yang baru-baru ini dia selesaikan, mengambil kisah liga baseball Negro pada masa sebelum Perang Dunia II. Dia bermimpi karya barunya tentang Ali sama seperti Gandhi.
DUA lusin kursi selain yang sudah dipesan untuk rombongan Ali ditempati oleh sekretaris jenderal Palang Merah Kuba dan anggota organisasi kemanusiaan Amerika yang mempercayakan donasi obat-obatan senilai 500 ribu dollar; juga ada dua orang penerjemah Kuba dan selusinan awak media Amerika, termasuk komentator stasiun televisi CBS Ed Bradley beserta produser dan kru kamera dari 60 Minutes.
Ed Bradley adalah orang yang ramah tapi pendiam, yang telah muncul di televisi selama satu dekade dengan ciri khas anting di telinga kiri –setelah dikomentari nyinyir oleh rekannya, Mike Wallace dan Andy Rooney, reaksinya adalah: “ya terserang aing, ini kuping-kuping aing.”
Bradley juga menasbihkan ciri sebagai penghisap cerutu; dan selagi dia duduk di tengah bus berdampingan dengan seorang kawan perempuan asal Haiti, dia memaksimalkan keuntungan sikap selo negara Komunis itu terhadap tembakau. Dia mengebulkan cerutu Cohiba Robusto, yang dibayarnya dengan harga normal di toko tembakau Hotel Nacional. Cerutu itu menguarkan wangi tembakau yang menggoda temannya (yang ternyata juga penghisap cerutu) tapi tampaknya membuat sebal dua orang perempuan California pekerja kemanusiaan yang duduk berjarak dua bangku belakang.
Benar saja. Dua perempuan itu kemudian mulai berkomentar tentang kebiasaan merokok begitu banyak orang yang mereka temui di Havana. Mereka juga kecewa ketika mengunjungi rumah sakit pediatris (termasuk penerima sumbangan obat) yang ternyata dikelola oleh tiga dokter pecinta tembakau. Saat salah satu perempuan itu, seorang blonde dari Santa Barbara, menceramahi salah satu dokter perokok karena dianggap memberikan contoh buruk, dia ganti diceramahi balik. Bahwa tingkat panjang umur, kematian bayi, dan kesehatan secara umum di Kuba, secara statistik sama baiknya dengan Amerika Serikat. Atau malah lebih baik dibandingkan warga Amerika yang tinggal di Washington. Di sisi lain, si dokter itu juga menegaskan bahwa dia tidak percaya kalau rokok itu bagus untuk kesehatan –bahkan Fidel Castro sendiri sudah berhenti. Tapi sayangnya, kata si dokter, “tidak semua orang mengikuti Fidel.”
Kata-kata dokter itu sama sekali tak menenangkan si Perempuan dari Santa Barbara. Tapi dia memilih untuk tak berkonfrontasi dalam konferensi pers rumah sakit itu; tidak juga dalam perjalanan bersama Ed Bradley. Dia sama sekali tak berani meminta Bradley mematikan cerutunya. “Mr. Bradley bikin aku takut,” katanya pada sesama pekerja dari California.
Tapi tentu saja Bradley cuma mengikuti dan menghayati gaya hidup di Kuba, pulau yang oleh si dokter perokok disebut sebagai, “tempat lahirnya tembakau terbaik di dunia.” Di Kuba, media Amerika yang selalu tersedia rutin di lapak majalah adalah Cigar Aficionado. []
Bersambung.