Cinta yang Terlarang

MELIHAT Rhoma Irama dan Kaka Slank berada dalam satu panggung itu ibarat melihat baik dan buruk. Rhoma, nyaris kepala enam waktu itu, sudah merasakan dan melewati masa muda yang bergairah dan berapi-api. Kini dia lebih kalem. Mendalami agama. Kerap dijujug untuk urusan moral. Panggilannya adalah Pak Haji. Sedangkan Kaka, terpaut jarak umur lebih tiga dekade dengan Rhoma, masih panas dan liar. Khas penyanyi rock n roll. Penampilan mereka apik kala itu. Selain karena kolaborasi yang langka, Kaka dan Rhoma juga kerap ngobrol macam anak dan bapak di jeda antar lagu.

Salah satu yang paling menarik terjadi waktu mereka mau memainkan lagu “Haram”, termasuk lagu paling ikonik dalam sejarah dangdut Indonesia. Kaka, yang memang dikenal usil, mulai menggoda Rhoma.

“Pak Haji. Boleh tanya gak?”

“Ya, silakan saja.” Suara Rhoma berat, berwibawa.

“Kenapa sih yang haram-haram itu selalu enak?” Kaka merujuk pada lirik lagu itu, kenapa semua yang enak-enak itu yang dilarang. Itulah perangkap setan, kata Rhoma dulu.

Sang Raja Dangdut mungkin tak menyangka dapat pertanyaan senakal itu. Walhasil, dia cuma bisa cengengesan. Apalagi setelah Kaka kembali menggodanya.

“Dulu pak Haji mudanya nakal gak?”

Lagi-lagi, Rhoma mati kutu dan cuma bisa terkekeh.

Percakapan yang terjadi sekitar 13 tahun silam itu mendadak menyeruak di rongga ingatan. Di hadapan saya ada sepiring kecil makanan. Memang apa yang ada di hadapan saya bukanlah sesuatu yang haram, per se. Halal. Namun terlarang bagi mereka yang punya tingkat kolesterol tinggi. Menengok silsilah keluarga besar yang hobi menantang bahaya soal makanan, terutama dari garis ayah, saya patut khawatir. Saya mulai mendegut ludah. Wangi makanan di depan muka ini mulai menyeruak ke lubang hidung.

Dari warnanya, juga genangan minyak yang mengambang genit, makanan ini pasti enak. Namun lagi-lagi, merujuk pada Pak Haji, yang enak ini kalau ndak haram, ya berbahaya bagi kesehatan. Malaikat di bahu kiri dengan tengil seperti bilang: sikat saja sudah, toh gak setiap hari kok.

Akhirnya saya manut. Malaikat tak pernah salah. Saya tuangkan kuah ke atas munjungan nasi yang didampingi tumpukan daun singkong rebus dan sambal hijau. Saya mencuci tangan. Lalu mengucap bismillah, seraya memanjatkan doa tambahan: semoga angka kolesterol saya ndak melonjak-lonjak amat.

 

SEMUA bermula dari artikel soal gulai gajebo di situs Kompas. Ternyata penulisnya adalah Sastri, kawan yang saya kenal sejak ikut lomba nulis di Detik tapi belum pernah ketemu hingga sekarang. Artikel itu dibagikan oleh Jaki di Twitter, sembari memensyen nama saya dan Yandri.

Kami bertiga mendeklarasikan diri secara serampangan dengan sebutan Padang United. Julukan iseng-iseng yang dibuat karena kami selalu impulsif kalau mendengar makanan Padang yang enak. Perjamuan pertama kami bertempat di RM Surya, sebuah rumah makan legendaris di bilangan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Membaca artikel tentang gajebo, makanan Minang yang langka di Jakarta, membuat kami sepakat akan mendatanginya. Sastri dengan senang hati mau menemani.

Gulai gajebo termasuk makanan Padang yang nasibnya kalah populer ketimbang rendang atau dendeng. Gajebo, dari penuturan sifu Bondan Winarno, adalah istilah Minang untuk menyebut sandung lamur, bagian paling empuk dari sapi, terletak di antara punuk hingga dekat ketiak.

Di ibu kota, salah satu penyaji gulai gajebo yang paling handal adalah RM Sepakat. Berada di lantai dua sebuah ruko di seberang Blok M Square. Tak besar. Kalau sedang jam makan siang, mungkin hanya bisa menampung sekitar 30 orang saja. Namun bisa dibilang ini adalah warung Padang generasi pertama di Jakarta. Sudah buka sejak 1969.

Dari awalnya janjian hanya empat orang, anggota sekte membengkak jadi 9 orang. Selain anggota awal Padang United, ada pula Sastri, Dhani, Gita, Farchan, Dom, dan satu lagi kawan Farchan yang saya lupa namanya.

Kami tak mau coba-coba. Membelah kemacetan Jakarta demi makanan, sudah pasti kami ingin yang terbaik. Semua dari kami memesan gulai gajebo serta beberapa lauk tambahan. Dalam hal ini, saya menambah seporsi gulai otak. Gulai gajebo datang dalam porsi piring kecil. Kuah asem padehnya merah tua. Potongannya mungkin cuma selebar jejeran tiga jari. Kalau boleh dibagi secara prosentase, tiga perempatnya adalah bagian ginuk-ginuk, dan sisanya adalah daging yang sebenarnya tak penting-penting amat.

 

MENJELANG makan, oborlan antara Kaka dan Rhoma mendadak datang lagi. Tadi pagi saya sudah makan delapan butir telur puyuh, satu tusuk sate usus, dan satu tusuk rempela ayam ditemani seporsi bubur ayam. Sekarang mau ditambah bagian sapi yang paling berlemak? Bayangan badan yang berat dan bahu yang kesemutan membayangi.

“Yaelah, ora rebel cuk. Sikat ae, gak setiap hari kok!”

Malaikat di sebelah kiri kembali ngece. Saya kalah. Saya menuang kuah merah meriah itu. Mencucup sedikit. Asam, segar. Tak berat karena menihilkan santan. Kata Sastri, kuahnya pakai air kelapa. Asamnya, menurut Bondan, datang dari asam kandis. Saya gigit dagingnya.

Ya tuhan.

Memang lemaknya tak meleleh. Tapi empuk.

Jancuk, enak cuk. Benar kata Kaka, yang dilarang itu biasanya enak. Ini buktinya. Bagian lemak ini jauh lebih dahsyat ketimbang daging sapi bagian manapun. Bahkan kalau mau ditandingkan dengan Kobe sekalipun. Kuahnya merupakan kebahagiaan tersendiri. Apalagi kalau disiramkan ke nasi panas, yang kemudian disikat bersama sambal hijau.

“Kalau ini aku pasti nambah,” kata Yandri yang ngomong sambil mulut penuh nasi. Benar saja. Jaki nambah. Farchan nambah. Apalagi Dhani, tak usah ditanya lagi. Saya tak tega mengirimkan gambar makanan ini, apalagi deskripsinya, ke Rani. Bisa-bisa dia minta ditalak kalau saya lancang mengirimkan foto gulai gajebo di masa seperti ini.

 

SAMA seperti reaksi Rhoma ketika digoda Kaka, saya juga cuma bisa cengengesan setelah mengganyang satu porsi nasi beserta gulai otak dan gajebo dalam lima menit. Semua lemak itu saya banjur dengan jus timun, usaha –yang entah sia-sia atau tidak– untuk mengurangi kadar kolesterol dalam darah.

Saya tak bisa melakukan apa-apalagi selain cuma cengengesan. Sebab saya sadar ini adalah bentuk cinta terlarang. Namanya juga cinta, apapun dilakukan asal bisa ketemu. Sudah tahu risikonya tinggi, tetap saja ditanggung. Macam kami makan gulai gajebo ini lah.

Benar saja, beberapa menit setelah pulang, badan mulai linu. Bahu mulai macam kesemutan. Pertanda kolesterol tinggi mulai menyerang. Beberapa menit sebelum artikel ini diposting, Jaki kirim pesan pendek. “Bajingan laskar kolesterol, cuk mumet iki ndasku.”

Saya ketawa kecut. Cinta memang menyakitkan ya. Apalagi cinta terlarang macam ini. []

5 thoughts on “Cinta yang Terlarang

  1. tergetar hati saya mendengar nama kak Rhoma disebut2 disini hehehehe

    Dan aduh itu gulai otak, lama sekali belum bersua lagi dengannya

  2. Tulisan legendaris!
    Sejak kecil, saya sama sekali bukan pecinta makanan bersantan, pun dengan masakan padang.
    Banyak teman yang menggoblok-goblokan saya karena tidak menyukai masakan padang.
    Tapi tapi tapi…
    Habis ini ke rumah makan padang ah…
    Mas Nuran, ah… :’D

    1. Yo ndak legendaris lah Yu, wong tulisan gini doang :))) Tapi tetep, kalau kamu ke Jakarta, kudu nyobain gajeboooo 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published.