Ayah

Sejak ada Spotify, saya suka memutar lagu random. Kadang senang karena menemukan lagu uenak yang sama sekali tak saya tahu sebelumnya. Kadang gembira karena menemukan lagu lama yang tiba-tiba keputar, dan membawa banyak kenangan.

Suatu siang, menjelang berangkat kantor, Spotify tiba-tiba memutar “Father and Son”. Saya terdiam. Termenung. Menekuri tiap kata yang dilempar oleh sang penyanyi. Tiba-tiba pipi saya basah. Rani yang keluar dari kamar, kaget melihat saya menangis tersedu. Ia ikut menangis. Memeluk saya. Tangis saya makin kencang.

Lagu itu memang selalu mengingatkan saya pada ayah. Tangisan itu kemudian membuat saya sadar, saya tak akan bisa melupakan ayah. Ia sudah pergi 7 tahun lampau, tapi kenangan tentangnya terus berakar terus menjalar di tubuh saya. Saya dulu berpikir, kepedihan karena ditinggal seseorang bisa hilang seiring berjalannya waktu. Tapi ternyata tidak. Pedih seperti itu hanya memudar. Tinggal butuh sedikit polesan –ingatan, atau kenangan yang tiba-tiba menyeruak– untuk membuat rasa kehilangan itu datang lagi.

Persis seperti yang dibilang Bret Michaels, luka karena kehilangan itu seperti ditakik pisau. Lukanya sembuh, tapi bekasnya akan selalu ada. “Like a knife that cuts you. The wound heals but the scar, that scar remains.”

Dua hari lalu, kehilangan serupa menimpa sahabat saya sedari SD, Putri. Ayahnya meninggal. Putri, anak perempuan satu-satunya, bungsu, sedang ada di Yogyakarta sewaktu kabar lelayu itu datang. Saya bisa bayangkan hatinya hancur. Saya menghubunginya. Menguatkannya. Saya tak ingin tanya macam-macam, sebab saya tahu: saat duka datang, menjawab aneka pertanyaan itu bisa amat melelahkan. Membingungkan. Bikin depresi.

Kemarin saya menghubunginya lagi. Menanyakan kabarnya. Ia berusaha ikhlas. Sama seperti kehilangan manapun, Putri mengalami hal yang sama: kenangan lama tiba-tiba menyeruak. Tumpah. Kerja ingatan memang bikin geleng-geleng kepala. Di saat ada orang terdekatmu meninggal, tiba-tiba saja hal yang tak pernah kamu ingat malah muncul.

Saya menyarankan Putri menulis tentang ayahnya. Itu bisa jadi terapi ampuh, ujar saya. Sekitar 7 tahun lalu saya melakukan hal yang sama. Mengetik sambil menangis, saat semua orang sedang membacakan Yasin di ruang tamu. Kalau diingat lagi, momen seperti itu rasanya bikin saya pengen teriak, hooooaaaaah! Tapi menulis memang manjur. Saya memuat tulisan itu di blog, juga Facebook. Membaca semua komentar kerabat dan tolan rasanya menghangatkan dan menguatkan.

Ada beberapa orang berkisah cerita yang tak pernah saya tahu sebelumnya. Itu sekaligus bikin saya agak sedih sih. Ternyata saya tak pernah benar-benar kenal ayah.

Mendengarkan Cat Steven kemudian jadi upaya menghadirkan ayah kembali. Ia suka penyanyi yang sekarang menjelma jadi Yusuf Islam itu. Lagu favoritnya adalah “Morning Has Broken” yang nyaris setiap sore diputar di Winamp. Mendengarkan “Father and Son” membuat saya mengangguk dan berusaha memahami aneka ria pertikaian kami dulu. Biasanya pertikaian itu disulut oleh nasihat ayah, yang kemudian saya lawan. Tapi sekarang, petatah petitih ayah terasa mendekati kebenaran seiring umur saya yang makin bertambah.

Saya belum punya anak sih. Kemarin-kemarin malah sempat takut punya anak. Dunia makin menyeramkan, kok ya rasanya kasihan anak saya nanti kalau tumbuh di dunia yang seperti ini. Tapi mungkin asyik ya punya anak lelaki. Jadi ingin turut merasakan apa yang ayah rasakan dulu sewaktu mendidik anak-anaknya.

Lagu “Father and Son” berkarakter naratif. Percakapan antara ayah dan anak lelakinya. Meski hanya ada satu suara, perbedaan auranya terasa sekali. Ketika Cat bernyanyi sebagai ayah, tersembur aura bijak dan tenang. Saat ia menjadi sang anak, emosi dan kekecewaan juga terasa amat tebal.

Sekarang saya sudah menjalankan separuh nasehat sang ayah di lagu itu. Sudah menikah dan settle down. Walau kadang masih susah untuk kalem saat mengetahui ada yang tak beres. Selanjutnya saya ingin jadi seperti sosok ayah yang digambarkan oleh Cat Steven.

…old but I am happy.

Al Fatihah untuk ayahku, ayah Putri,  dan ayah-ayah lain yang sudah pergi namun tetap meninggalkan kenangan manis bagi anak-anaknya. []

2 thoughts on “Ayah

  1. Halo mas Nuran, nulis ttg Adventurers and Mountain Climbers (AMC) Malang dong mas… hehehe saran aja siapa tahu minat. Ini Perkumpulan Pecinta Alam e Ebesku. Perkumpulan arek seneng dolen pada masanya, anggotane tuwek2 pokoke wisan. Aku pernah diajak ngumpul pas reuni tahunan di Malang. Asli seru2 ceritanya mulai ada yg pernah naik sepeda balap Bandung – Malang, sampai ada yang hobinya lefting (gatau cara nulisnya), intinya hobinya pergi ke suatu tempat pakai moda transportasi terkecil rutenya, misal Sby-Malang dia akan naik angkot oper setiap ganti rute angkot. Pas acara itu juga Bapak ini turun jalan kaki dari Coban Talun mungkin sampai Terminal Mbatu. Sampeyan cocok soale nulis tentang wong-wong mbiyen ngene hehehe. Sorry nulise campur2 sok akrab hhhe. Salut Mas

    1. Yaampun, Mbak di atasku ini … anaknya Om siapa? :’)
      Papaku juga orang AMC … Aku baca ini rindu sama almarhum Papa. Teman2 AMC-nya ini salah satu teman2 yang sangat setia sampai akhir hayat hidupnya. Setiap tahun mereka bereuni di Coban Rondo, susur sungai .. Ah aku jadi rindu … Nggak nyangka bisa ketemu komen Mbak Anita ini di sini, saat membaca dan memikirkan tentang alm. Papa :'(

Leave a Reply

Your email address will not be published.