Bulan penuh malam ini. Suasana syahdu. Dari luar, terdengar lamat suara adzan. Lelaki berambut gondrong, berombak, itu baru saja melepas kaosnya. Gerah. Dengan santai ia memutarkan lagu. Dengan segera, terdengar seorang pria berwajah tua dan bersuara serak mengaduh dari pengeras suara.
She sends me my blue valentines
To remind me of my cardinal sin
I can never wash the guilt
Or get these bloodstains off my handa
Malam panas seperti ini selalu membuatnya terkenang akan masa lalunya. Ia punya sejarah panjang kemesuman dengan beberapa orang perempuan. Mulai dari yang tampak pendiam tapi ganas di ranjang. Atau perempuan dari kota tetangga yang rela menempuh belasan kilometer untuk bertukar keringat dan memacu nafas. Hingga perempuan yang cocok jadi tantenya, yang selalu suka dicium di leher dan ditarik rambutnya itu.
Tapi yang paling membekas, adalah perempuan dari kota ujung dunia itu. Ia yang seakan memasang susuk pengasih di sekujur tubuhnya. Di betis yang lentik, pada kaki yang jenjang, di dua payudara yang sekal, pada pantat yang penuh, hingga di atas kelopak mata dan di bibir yang ranum itu.
Perempuan yang satu ini selalu membuatnya ketar ketir.
Saat bertemu dengan perempuan bermata tajam itu, badannya terasa kaku. Ototnya seperti mengejang. Aliran darah terpusat, menuju daerah bawah perut. Sialan, makinya dalam hati. Apalagi kalau si perempuan melempar senyum berbisa, dengan mata yang seakan bisa menelanjanginya.
Di sela lamunan itu, kadang ia merasa berdosa. Kadang terbawa ke mimpi. Buruk, jelas itu. Tapi toh, kata seorang filsuf, persetubuhan yang tak memakai hati itu bukan hal yang layak dibesar-besarkan. Biasa saja. Terjadi setiap hari, di seluruh dunia. Entah itu pada mereka yang sudah berpasangan, atau mereka yang menganggap seks itu lebih penting ketimbang pernikahan.
Ia mencari korek. Di meja tak ada. Ia mendengus. Terpaksa pergi ke dapur. Menyalakan kompor. Lalu menyulut rokok yang tinggal 4 batang itu. Di asbak kaca, ada empat puntung rokok. Dua rokok kretek, dan dua rokok putihan.
Ia melihat dua bekas lipstik di rokok putih itu. Yang merokoknya, perempuan yang selalu membuatnya tegang itu, sudah pergi sekitar 30 menit lalu. Membuatnya kelelahan sekaligus lemas. Empat kali dalam sehari, pikirnya, cukup membuat energi terkuras. Aku harus mulai rajin olahraga.
Ia melongok ke atas lemari dapur. Ada sisa wiski yang didapat dari kawannya. Merk Sullivans Cove. Temannya memuja wiski ini. “World best single malt,” ujar si teman. Dengan malas ia menuang sedikit isinya ke dalam gelas kaca dengan dasar persegi. Meminumnya habis dalam satu teguk.
And it takes a lot of whiskey
To take this nightmares go away
And I cut my bleedin heart out every nite
And I die a little more on each st. valentines day
Kembali lelaki bertubuh ceking ini menatap dua puntung rokok putihan di asbak. Lipstik merah itu. Dari bibir yang aku pagut dengan ganas seharian tadi. Ia mendegut ludah. Kembali badannya terasa kaku. Ototnya mengeras. Celananya terasa menyempit.
Ia seperti belum rela saat setengah jam yang lalu perempuan dengan bibir mematikan itu pamit sembari memaksa. “Ini malam Minggu, dan tanggal yang spesial buat kami,” katanya tergesa.
Ia memasang celana dalam berenda warna merah muda. Lalu ia bungkus dengan rok hitam ketat selutut. Menonjolkan bagian belakang yang sentosa itu. Yang selalu ia pukul dan ia remas dengan gemas sewaktu bercinta dari belakang.
Lelaki itu hanya terdiam waktu perempuan yang bercinta bagai kuda birahi itu pergi tanpa mengucap salam. Tak ada pelukan, nihil kecupan di pipi, apalagi saling membelitkan lidah. Perempuan itu meninggalkannya sendirian. Di kamar yang penuh asap rokok dan sisa sisa aroma percintaan mereka. Dari sudut matanya, ia melirik ke arah almanak yang tergantung di dinding.
“Selamat valentine. Selamat ulang tahun pernikahan kalian,” gumamnya pendek.
Kembali, lelaki yang sendirian itu menuang wiski dalam gelas. Malam masih panjang. Dari pengeras tua, suara penyanyi itu, lelaki tua dengan rambut yang mulai beruban dan kerut yang mulai tampak di seluruh wajah, masih terdengar. Seperti mengadu dan mengaduh.
She sends me blue valentines
Though I try to remain at large
They’re insisting that our love
Must have a eulogy