Menjadi rumah makan dengan reputasi baik dan panjang itu tidak selalu indah.
Menjadi rumah makan dengan reputasi baik dan panjang itu artinya harus siap dengan segala konsekuensi. Misalkan dikritik karena mutu makanan yang inkonsisten. Hal ini bisa terjadi karena penerus gagal menghadirkan masakan yang serupa dengan pendahulunya. Sudah banyak contoh rumah makan yang bertumbangan karena pergantian generasi.
Menjadi rumah makan terkenal, ini juga artinya akan ada banyak jenis pengunjung. Mulai dari para jutawan yang terkesan dengan rasa dan menafikan tempat yang terpencil, orang yang hanya ingin mencoba masakan dengan reputasi terkenal, hingga orang biasa saja yang gayanya macam orang terkaya di Indonesia mengalahkan Budi Hartono, tapi lagaknya belagu betul.
Siang itu, saya menemui tipe pengunjung ketiga saat sedang menyantap sop buntut Cut Meutia, di bilangan Menteng, Jakarta Pusat.
Si pengunjung, bapak berkacamata paruh baya dengan tampang yang menjengkelkan, datang dan memesan sop buntut. Dari sana ia mulai cerewet.
“Gak usah pakai nasi.”
“Es teh tawar ya minumnya. Gak ada? Ya udah air mineral saja.”
“Ada perkedelnya gak?”
“Sopnya minta dagingnya aja ya.”
“Mas, tolong bukakan ini,” ujarnya sembari menunjuk botol air mineral.
Bayangkan, untuk membuka botol air mineral saja ia tak sanggup, dan mungkin terlalu enggan. Luar biasa orang ini. Mungkin ia lupa membawa asisten pribadinya siang itu, sehingga tugas membuka botol harus dilimpahkan ke orang lain.
Tapi untunglah, perilaku tengik macam begini tak membuat nafsu makan saya menurun. Saya meneruskan makan sop buntut yang lebih dulu dikenal dengan nama Sop Buntut Semoga (Hj. Nurjanah) ini.
Sejak pertama berdiri pada dekade 1970-an, rumah makan ini tak banyak berubah. Baik rasa –karena ini pula, rumah makan ini tetap ramai dikunjungi setiap hari, puncaknya adalah jam makan siang–, maupun lokasi dan interior rumah makannya.
Secara lokasi, warung ini mematahkan segala macam teori pemasaran. Letaknya memang di Menteng. Tapi jangan bayangkan Menteng kawasan gedongan. Melainkan di gang kecil yang bernama Jl. Menteng Kecil. Memang kecil, harfiah. Patokan paling mudah adalah gang ini berada pas di belakang Masjid Cut Meutia. Tak sulit untuk ditemukan.
Di rumah makan ini juga tak ada meja bagus atau peralatan makan yang berkilau. Saat saya datang, masih ada sisa minyak,ceceran nasi, dan tumpahan kuah di meja yang dilapisi helai mika dengan merk minuman botol itu. Tapi justru ini adalah hal yang menarik.
Warung ini membuktikan kalau rasa adalah segalanya. Ini juga berlaku untuk para orang kaya yang ingin makan makanan enak. Meski tempatnya tak seberapa bersih, juga berada di gang sempit, tapi toh banyak orang tetap datang.
Sebenarnya, saya tak memacak ekspektasi yang terlalu tinggi. Sebab jenis masakannya adalah sop buntut. Saya punya standar tinggi untuk dua masakan, sop buntut dan soto Banjar. Mamak saya paling jago memasak dua makanan itu. Rasa-rasanya, hingga sekarang saya belum menemukan lawan tanding sepadan dari dua masakan Mamak itu.
Benar saja, sop buntut Hj. Nurjanah ini masih satu tingkat di bawah masakan Mamak. Maap ni ye Mpok Janah.
Tapi tetap, sop buntut ini sangat layak dikunjungi.
Secara rasa, sop ini sedikit unik karena sudah asam dari sononya. Alias sudah diberi kucuran jeruk nipis terlebih dulu. Kata Mpok di sana, sejak dekade 1970-an, titimangsa warung ini berdiri, pengunjung suka cita rasa asam. Kuahnya keruh, hasil dari rebusan buntut selama berjam-jam. Saya meragukan ada penyedap rasa di sini.
Memang, menyantap sop buntut lebih segar dan sedap kalau dikucuri jeruk nipis.
Lalu perkara isiannya. Saya sedikit terheran ketika menemukan lembaran daun kol berenang dengan tenang. Mengingatkan saya pada tongseng. Sepengetahuan saya, sayuran di sop buntut tidak terlalu beragam. Hanya kentang, wortel, seledri, dan bawang daun. Tapi tentu, adanya kol ini merupakan kreasi yang menarik. Anggap saja sop buntut gagrak Nurjanah.
Bagaimana dengan buntut sapinya. Ini yang membuat saya segan: dagingnya berwarna merah. Salah satu ciri buntut sapi yang bagus adalah warna yang kemerahan. Buntut yang seperti ini akan menghasilkan juice (sial, saya tak menemukan padanan kata ini dalam bahasa Indonesia) yang gurih dan berminyak.
Bayangkan, daging yang lembut itu direbus selama berjam-jam, lalu rontok ketika daging bertemu dengan gigimu. Saat daging masuk mulut dan bersentuhan dengan dinding tenggorokan, blaaar, daging akan pecah berhamburan. Orang bule sana menyebut daging seperti ini dengan istilah, succulent!
Saran saya kalau makan di sop buntut Cut Meutia ini, jangan tambahkan sambal. Rasa sambalnya sangat kuat. Bukan pedasnya, melainkan asam. Jadi ketika sambal ditambahkan, rasanya akan mengalahkan rasa sopnya.
Oh ya, satu yang perlu diingat, nasi di sop buntut ini sangat sedikit. Mungkin empat atau lima suap sudah tandas. Jadi bagi para penggila karbohidrat, satu piring nasi sepertinya tidak cukup. Tapi tenang, ada perkedel kentang yang patut dipuji, bisa menggantikan asupan karbo.
Secara keseluruhan, sop buntut ini sangat saya rekomendasikan. Tentu dengan beberapa catatan seperti yang saya tulis di atas. Di luar itu, sop buntut ini sama sekali tidak mengecewakan. Apalagi, jarang sekali ada sop buntut enak di Jakarta.
Ini tentu terkait dengan pasokan buntut sapi segar. Sama seperti otak, buntut adalah bagian dari sapi yang bisa diolah, sama-sama lezat, namun jumlahnya sangat terbatas. Anggap saja rata-rata berat sapi pedaging 160 kilogram. Paling bagian buntut hanya 1,5 kilogram saja. Alias, tidak sampai satu persen dari bagian sapi.
Lalu buntut sapi adalah bagian sapi yang paling lama diolahnya. Pada has dalam, has luar, atau sandung luar dan samcan belakang, kamu akan dirajam dan dihinakan serendah-rendahnya jika memasak bagian itu terlalu lama. Apalagi jika kamu berhadapan dengan steak purist yang menganggap well done adalah dosa besar tak terampuni.
Tapi buntut? Kamu harus merebusnya berjam-jam terlebih dulu. Ini tentu merepotkan bagi para pemilik warung. Tapi jangan lupa, buntut adalah bagian sapi yang paling berkarakter dan rasanya paling kaya. Karena alasan-alasan seperti itu, alasan untuk pergi ke sop buntut Cut Meutia semakin bertambah.
Oh ya, setelah sop buntut Cut Meutia sudah saya coba, kini saya sedang mengincar sop buntut Mr. Sangid ex Borobudur. Bagi yang belum tahu, Pak Sangid adalah mantan koki Hotel Borobudur yang menciptakan resep sop buntut khas sana.
Setelah pensiun, Pak Sangid menurunkan resep andalannya itu ke putrinya. Sang putri, yang mantan chef di Jepang, lantas mengembangkan menu buntut menjadi aneka macam olahan. Mulai buntut goreng mentega, buntut bakar, hingga buntut sambal dabu-dabu.
Tapi omong-omong soal masakan buntut, saya jadi ingat kelakar ayah saya tentang bagian hewan yang paling enak dimakan.
“Bagian-bagian yang paling enak itu justru yang terletak di bagian belakang. Di ayam, ada brutu. Sedang di sapi, ya buntut.”
Teori itu tentu asal bunyi saja. Tapi melihat saya tak kecewa saat makan buntut di Cut Meutia ini, saya menganggap teori ayah saya benar. []
Sepakat Ran. Warung yang baik adalah warung yang konsisten pada spesialisasinya. Kalo memang dagangnya sop ya dagang sop aja, kalo dagang bakso yan gak usah jualan ayam goreng.
Mungkin ini warung yang dimaksud Pak Dubes waktu menjamu pas aku ke Teheran. kata dia ada warung sop enak langganannya di Cut Meutia. “Itu warung yang bener, jualannya sop buntut saja”
Gitu.
Setuju Jak. Saiki sing lucu malah akeh banget rumah makan sing gak punya spesialisasi. Yo dodolan spaghetti, dodolan ayam kremes, dodolan burger, tapi ono mie aceh. Dadine mbulet, dan setiap makanannya gak punya karakter.
Wah, ojo-ojo pak Dubes Indonesia untuk Iran seneng mangan nang kene 😀
ah iya, soal bagian belakang hewan itu, saya sangat suka brutu!
Wah, itu kesukaannya bapakku banget mas 😀 Aku lumayan suka, tapi kalau dibakar. Hehehe.