“Jangan pernah menghina sebuah band dengan sebutan medioker. Karena kamu tidak tahu seberapa besar pengaruh band itu bagi seseorang,” kata Rani menceramahi saya malam ini.
Pangkal obrolan itu gara-gara saya menyebut Collective Soul sebagai band semenjana. Ternyata Rani sangat menggemari band itu. Pada era 90-an, era kejayaan musik alternatif, Colletive Soul memang cukup punya nama.
Kebetulan, 22 Juni kemarin, band yang berasal dari Georgia, Amerika Serikat, ini sedang bermain di Java Rocking Land.
Sayang, Rani tak bisa menontonnya. Karena itu ia pun sedikit curhat tentang betapa ia ingin menonton Collective Soul. Saya malah mengusilinya dengan menyebut mereka sebagai band medioker.
Rani kesal dengan sebutan itu dan langsung merajuk sembari bercerita mengenai kenangannya dengan band yang terkenal berkat lagu “Run” itu.
Rani lahir dan besar di provinsi Jambi. Sebagai daerah di luar Jawa –hei, kita hidup di negara brengsek yang memegang teguh semboyan Jawa Adalah Kunci– dia sedikit kesusahan untuk mengakses musik cult atau luar arus utama.
MTV lantas menjadi penyelamat Rani. Stasiun televisi musik yang mengudara sejak tahun 1981 ini memang menjadi bagian hidup tak terpisahkan dari banyak remaja era 80 dan 90-an. Dari sana Rani mengenal Oasis, Collective Soul, The Verve, dan beberapa band alternatif lainnya.
Itu adalah masa ketika demam grunge sudah mulai reda. Musik brit pop dan alternatif mulai menjamur. Itulah masa MTV makin berjaya.
“Saat itu aku sedang getol-getolnya mantengin MTV. Musik alternatif berjamuran. Tiap ada video klip baru selalu aku tunggu-tunggu tiap hari,” kata Rani berbinar-binar.
Namun karena MTV tidak bisa disiarkan dari antena biasa, Rani sampai harus menangis pada sang ayah agar dibelikan parabola.
Saking jatuh cintanya dengan musik alternatif ala MTV itu, Rani sampai punya 1 buku tulis khusus yang berisikan lirik lagu band kesukaannya. Kalau liriknya tak bisa ia catat dengan metode listening, maka ia pergi ke warnet untuk mencari liriknya.
“Harus naik angkot. Mana waktu itu warnet mahal pula, 6 ribu/ jam,” tandasnya.
Sesampainya di rumah, Rani menghafalkan lirik itu sampai ketiduran.
Selain MTV, sanctuary musik Rani adalah radio. Saat itu belum ada mp3 player. Harga kaset pun mahal, apalagi untuk anak sekolah seperti Rani yang hanya punya uang jajan Rp 2 ribu per hari. Namun ia tak kehilangan akal. Ia mencuri beberapa koleksi kaset ayahnya, lalu menimpa kaset itu dengan lagu-lagu kesukaannya yang diputar di radio.
“Tapi hasilnya jelek,” tutur Rani sembari bersungut.
Kecintaan Rani pada MTV memang total. Ia hafal semua nama VJ MTV. Bahkan ia sempat “…berfantasi kalau VJ Utt dan VJ Jamie jadi pacarku,” katanya sembari terkekeh pelan.
Selain itu ia juga rela menyisihkan uang sakunya untuk membeli kertas karton. Untuk apa?
“Untuk dikirim ke MTV Singapura, untuk ikutan lomba Letter of the Day. Itu didandani sekeren mungkin,” terangnya. Sayang, jangankan menang, surat-surat Rani bahkan tidak pernah dibacakan. Maklum, saingannya pasti ribuan.
Dari pengalaman masa remaja itu, Collective Soul menjadi salah satu band cinta pertama Rani. Saya tak tahu berapa kali sudah ia melihat video klip band itu di MTV dulu. Karena itu, kemurkaannya pada saya bisa dipahami. Cinta pertama memang susah dilupakan.
Kisah Rani ini sedikit banyak mengingatkan saya pada Chuck Klosterman. Chuck, lahir pada 5 Juni 1972, adalah penulis dan esais yang lahir dan besar di Fargo, sebuah daerah rural di negara bagian Dakota Utara.
Saat remaja Chuck tak punya akses kepada musik-musik cult dan avant garde macam The Velvet Underground, misalnya. Yang bisa ia dengarkan adalah musik yang kala itu populer: heavy metal dan glam rock.
Musik itu lantas jadi cinta pertamanya, sekaligus cinta sejatinya. Ia tak perduli saat orang mencibir glam rock sebagai musik sampah khas industri massal.
“Arti dari musik sebenarnya sangat tergantung dari orang yang menjualnya dan orang yang membelinya. Seniman terbaik kita adalah orang-orang yang tahu bagaimana membuat dirinya menjadi unik dan menarik,” kata Chuck dalam buku yang ia tulis sebagai kudos pada musik glam rock, Fargo Rock City: A Heavy Metal Odysey in Rural North Dakota.
Dan seniman terbaik menurut Chuck adalah para glam rocker: berambut gondrong, terkesan macho, liar, nakal, genit, namun sekaligus bisa sangat manis kalau berbicara tentang cinta. Saking cintanya pada glam rock, ia seringkali sinis kepada para hipster musik yang mencerca glam rock. Atau pada mereka yang mengklaim menyukai dan tahu semua jenis musik.
“Salah satu teori terbesar yang aku hasilkan sebagai bocah SMP adalah: orang-orang yang mengklaim menyukai semua genre musik adalah pembohong dan munafik,” tulisnya.
Chuck juga ingin gondrong sebagaimana idolanya. Namun sang ibu, seorang wanita Selatan tulen yang keras kepala dan konservatif sejati, melarangnya.
“Yang gagal dipahami oleh ibuku adalah, aku tidak sekedar ingin rambut panjang– aku butuh rambut panjang! Motivasiku bukan sekedar fashion, tapi lebih filosofis. I wanted to rock!” katanya jenaka.
Rani dan Chuck punya banyak kesamaan. Mereka tumbuh bukan di daerah metropolitan dimana akses informasi mudah didapat. Saat itu juga belum era internet. Karena itu, mereka jatuh cinta dengan musik yang selalu ada di televisi. Musik-musik seperti itu yang seringkali dicerca sebagai musik pasaran dan tidak berkelas.
Persamaan kedua mereka adalah, musik yang menemani mereka tumbuh besar itu jelas cinta pertamanya. Musik peneman masa remaja seperti itu yang akan selalu lekat di hati.
“Aku suka sekali Radiohead. Namun aku tidak pernah bisa menyukai mereka seperti aku menyukai Motley Crue. Aku tidak bisa melakukan itu karena aku tidak akan pernah bisa jadi remaja berumur 15 tahun lagi. Sekitar 99 persen orang, termasuk aku, hanya akan mempunyai mystical connection dengan musik sekali seumur hidup. Saat itu lah aku merasa bahwa seorang brengsek macam Nikki Sixx bisa mengerti aku. Dan jelas tidak masalah bagiku kalau dia tidak menulis lirik sepuitis Paul Westerberg atau Paul McCartney. Ini tentang timing bung,” kata Chuck panjang lebar.
Sesekali memang mereka menengok ke musik lain.
Rani jatuh cinta dengan The Doors. Chuck jatuh cinta pada Rage Against the Machine dan Radiohead. Namun meski begitu, mereka masih tetap mengenang musik pertama mereka dengan baik. Rani dan Chuck juga akan marah kalau ada yang menghina musik kesukaan mereka. Dan mereka juga menaruh musik cinta pertama itu menjulang langit.
Kemarin malam, Rani bertemu dengan beberapa kawan lama. Mereka sama-sama tumbuh besar di era 90-an. Karena senasib sepenanggungan tak bisa menonton Collective Soul, mereka melampiaskannya dengan berkaraoke ria edisi lagu hits 90-an. Saya membayangkan mereka dengan khusyuk, syahdu, sekaligus tuma’ninah menyanyikan lagu “Run.”
I’m going to buy back memories
To awaken some old qualities []