It’s So Easy: And Other Lies (Bagian 2)

BAB 9

Tidak seberapa lama setelah diberhentikan dari Black Angus, aku langsung dapat pekerjaan baru. Kantorku ada di gang belakang dekat Hollywood Boulevard. Perusahaan ini “menjual” peralatan kantor. Pakai tanda kutip karena aku sedikit curiga dengan detil pekerjaanku. Hari kerjaku dimulai ketika seorang lelaki beraksen Eropa Timur yang mengenakan tracksuit dan membawa pistol menyuruhku untuk menyetir truk atau van tanpa plat nomor, menuju sebuah alamat tanpa identitas penerima. Aku tak pernah menanyakan barang apa yang aku antar. Sepertinya itu bukan pertanyaan cerdas.

Dengan pekerjaan keliling kota, aku jadi bisa melihat bagaimana warga di L.A hidup dengan sekat-sekat. Banyak teman kantorku menolak mengantarkan “barang” ke Watts. Itu membuatku heran. Di Seattle, Watts bukanlah tempat yang harus dihindari. Seattle memang punya kawasan hitam seperti Central District. Tapi di sana tak seterasing seperti di L.A. Aku bersekolah di Central District. Di L.A, orang yang tinggal di Hollywood tidak pernah keluar dari sana, orang-orang Yahudi di Fairfax juga tidak pernah meninggalkan kawasannya, orang di Watts tidak ingin beranjak dari Watts dan seperti tidak ingin tahu di mana itu Hollywood. Dasar kota yang diselimuti ketakutan.

Suatu hari di bulan Februari 1985 selepas pulang kerja, aku bertemu Izzy. Dia bilang kalau sedang membuat band baru dengan beberapa orang dari L.A Guns, band yang aku tonton bersama Slash. Axl Rose, vokalis L.A Guns, ternyata adalah kawan masa kecil Izzy di Indiana. Izzy yang pertama kali keluar dari Indiana. Lalu Axl mengikutinya. Axl baru saja pindah ke RW kami, kawasan rumah-murah-banyak-kriminalitas di daerah Orchid Street. Band baru Izzy ini juga mengajak Tracii Guns sebagai gitaris. Nama grup mereka adalah Guns N’ Roses.

Hampir berbarengan dengan terbentuknya band ini, pemain bass-nya malah cabut. Izzy mendatangiku karena itu.

“Kamu main bass kan?” tanyanya.

“Aku punya bass,” kataku. Saat itu aku memang sudah mulai nyaman bermain bass, tapi aku belum punya gaya bermain sendiri. Untungnya –ini kemewahan yang hanya didapat oleh anak muda– aku nekat dan pede saja. Apalagi aku sudah tak punya gitar. Di titik ini, ya mau gak mau aku harus main bass.

Saat datang ke latihan pertama GNR pada akhir Maret 1985, Axl dan aku langsung ngobrol dan bercanda. Aku langsung menyukainya. Orang yang sedang memeriksa sound kemudian menyela obrolan kami, meminta Axl untuk ngetes mikrofon. Axl lalu berteriak. Asu! Aku gak pernah dengar suara seperti itu. Ada dua suara yang keluar dalam satu hempasan suara! Di dunia musikologi, ada istilah untuk jenis suara seperti itu. Aku langsung tahu kalau Axl berbeda dengan vokalis lain, dan bertenaga, dan amat serius soal bernyanyi. Bahkan saat itu dia belum benar-benar memanfaatkan suaranya. Menurutku suara Axl kala itu lebih sebagai unik ketimbang bagus. Tapi jelas kalau dia pindah dari Indiana ke L.A bukan karena perkara cuaca. Dia ke sini untuk menciptakan dunia baru dan jadi raja di dunianya itu.

Sedangkan Izzy, dia bukan gitaris yang hebat, tapi aku menyukainya. Aku juga bukan gitaris yang jago. Hal biasa dalam dunia punk. Suatu malam saat kami ngobrol setelah latihan, Izzy menyebut band bernama Naughty Women. Aku ingat sesuatu.

“Aku tahu band itu,” kataku sembari mengingat nama band itu. “Kalau gak salah aku pernah main bareng mereka satu kali. Tunggu… apakah mereka yang berdandan ala waria itu?”

“Yoi,” kata Izzy.

Dia diam sejenak.

“Aku drummernya,” katanya.

Wow, keren, pikirku. Orang ini ternyata adalah veteran di kancah musik punk. Sangar.

Izzy dan Axl sudah punya beberapa lagu: “Think About You”, “Anything Goes”, “Move to the City”, “Shadow of Your Love”, dan “Don’t Cry”. Kami juga melakukan kover ala punk dari lagu Stones, “Jumping Jack Flash”, dan lagu Elvis Presley, “Heartbreak Hotel”.

Rob Gardner, pemain drum, memainkan drum dengan double-kick, tipikal pemain metal. Tracii adalah pemain gitar yang hebat, tapi sound-nya juga amat metal. Kesanku: dia tak punya aura yang aku rasakan saat melihat Slash bermain. Sekali lagi aku tenggelam dalam perasaan bahwa ini bukan band yang aku cari, bukan sebuah band yang bisa berpengaruh dalam dunia musik.

Tapi mereka sudah punya jadwal gigs, dan karena aku menyukai Izzy dan punya banyak kesamaan dengannya, dan Axl juga amat unik, aku memutuskan untuk tetap bergabung di band ini sementara. Setelah kami bermain di klub Dancing Waters dan di satu klub yang tidak penting sehingga aku gak ingat namanya, semua sisa ketertarikanku pada band ini akhirnya benar-benar menguap. Aku gak datang di latihan berikutnya. Setelah itu, Axl menelponku. Dia tahu kalau aku mundur dari band ini dan memohonku untuk datang di latihan berikutnya. Aku setuju dengan setengah hati.

Di luar studio, Axl mengajakku ngobrol.

“Kamu HARUS jadi bagian dari band ini,” katanya. “Ayo coba sekali lagi.”

Satu hal tentang Axl yang kemudian aku pelajari: jika dia melihat sesuatu dalam diri seseorang, dia akan memastikan orang itu tetap menjadi bagian dari visinya.

Tapi masalahnya adalah, aku gak yakin dengan komitmen Tracii dan Rob, yang merupakan akamsi dan merasa nyaman dengan kehidupannya sebagai warga urban. Aku sudah bisa melihat perbedaan orang yang berasal dari L.A dan pendatang. Axl dan Izzy amat berbeda, bahkan dibandingkan dengan pendatang lain –mereka lebih serius. Axl kadang tidur di jalanan pada masa awal pindah ke L.A. Izzy juga akan melakukan apapun untuk mempertahankan band ini, tak peduli kamu pecandu narkoba atau bukan. Di mata mereka terlihat pandangan, Kamu boleh ikut atau tidak, tapi kami akan membuat jalan sendiri dan mewujudkan mimpi kami. Aku menyukai pemikiran itu. Tetap saja, aku tak tahu bagaimana cara ngomong ini ke Axl. Aku lantas bilang: sepertinya Rob dan Tracii tak akan cocok di band ini dan akan enggan mengorbankan apapun demi kesuksesan band ini. Axl tak menyanggah. Kami masuk ke studio.

Saat latihan, aku punya ide. Aku sudah pernah mengalami masa keras punk: aku terbiasa tidur di lantai dan melakukan apapun agar bandku bisa terkenal. Berdasar pengalamanku, kondisi susah seperti itu bisa membuatmu melihat komitmen kawan satu bandmu. Sebuah perjalanan penuh kesengsaraan adalah apa yang dibutuhkan Guns N Roses.

Aku menarik Axl dan Izzy.

“Cuk, kalian ingin main di tempat baru selain Dancing Waters asu itu?”

Mereka mengangguk.

“Kalau kita memang akan bermain di depan tiga orang, setidaknya ayo main di tempat lain.”

“Budalno wis!” kata Izzy.

Aku langsung merasa kalau Izzy paham apa tujuanku. Dia pernah mengalami masa keras yang sama denganku. Dia tahu ini adalah cara untuk menguji ikatan antara kami dan mengetahui mana simpul yang paling lemah.

Dalam gelombang pertama band punk-ku, kami bikin gigs sendiri, sekaligus jadi manajer tur, manajer keuangan, dan membuat kaus merchandise sendiri. Perilaku DIY ini amat kuat dalam bandku dulu. Hasilnya aku tahu luar dalam soal bisnis musik ini. Guns N Roses sudah punya beberapa lagu sendiri dan pengalaman main di konser-konser kecil. Aku rasa bis mengandalkan jaringan yang aku tenun selama bertahun-tahun untuk membuat konser bagi band in. Sebuah tur punk rock di sepanjang Pantai Barat.

“Kurasa aku bisa bikin tur,” kataku. “Mungkin bakal melelahkan, tapi kita bisa manggung.”

Mereka suka ide itu.

“Ayo sikat wis!”

Aku juga bergairah. Seusai tur ini, kami akan tahu apakah band ini akan jadi band penting atau tidak. Di masa itu, tur ala punk rock benar-benar murni petualangan dan memompa adrenaline. Kamu dianggap beruntung kalau bisa menghasilkan uang untuk beli bensin dan sisa recehan untuk beli mie gelas. Kamu akan tidur di rumah kosong, atau jika pemilik klub menyukai bandmu ia akan menyilakanmu tidur di lantai klub. Tapi itu semua gak penting. Yang paling penting adalah tur macam ini akan menguji dirimu, mendorong dirimu melampaui batas-batas kenyamanan, mengusung musik yang kau yakini ke kota lain, membuang segala kehati-hatian dan kecemasan. Kalau sekarang dipikir-pikir, dulu gak ada yang memperingati kami soal betapa gilanya tur ini.

Aku akhirnya berhasil menjadwalkan beberapa konser. Sebagian besar ada di kota tempat aku pernah bermain bersama bandku, atau yang pernah aku lewati saat bekerja sebagai kru untuk The Fastbacks. Konser pertama kami adalah gigs pulang kampung, 12 Juni untuk membuka The Fastbacks di klub baru Seattle bernama Gorilla Gardens. Sisa konser akan dimainkan di tempat kecil gigs-gigs punk biasa dimainkan, rumah bersama, dan aula veteran. Kami akan bermain di RW 13 di Portland, juga di lantai bawah tanah sebuah rumah komunal komunitas punk di Eugene, rumah lain di Sacramento, dan klub bernama Mabuhay Gardens di San Francisco. Jadwal kami amat padat. Soal lain, seperti di mana kami akan tidur dan bagaimana cari duit untuk makan, itu bisa dipikir belakangan.

Rob dan Tracii langsung pesimis sejak awal. Tebakanku: mereka tidak siap untuk keluar dari zona nyaman, meninggalkan kampung halaman dengan bondo nekat, hanya mengandalkan kawan satu band dan kecerdikan untuk bisa bertahan hidup. Beberapa minggu sebelum kami berangkat, mereka berdua mengirim kabar: mereka tidak siap untuk ikut perjalanan tanpa duit ini. Mereka beranggapan tidak tahu di mana akan tidur adalah kegiatan sembrono dan berbahaya. Aku meyakinkan mereka kalau akan ada tempat untuk numpang. Lagipula kami kan akan tur, sebuah konsep yang sebenarnya amat ajaib bagiku kala itu. Perjalanan ini bukan piknik.

Tapi mereka tak perduli. Pertama Rob keluar dari band. Disusul oleh Tracii.

Kami hanya punya waktu 10 hari sebelum berangkat tur.

“Gak usah bingung,” kataku pada Izzy dan Axl, dua orang yang memasang komitmen sepenuh hati dan juga merasa kalau tur ini adalah perjalanan magis.

“Aku kenal dua orang yang bisa gabung band ini.”

Bersambung…

23 thoughts on “It’s So Easy: And Other Lies (Bagian 2)

  1. Mas Nuran, iki lanjutane gak enek meneh ta? Tak kiro enek neng bukune sampean seng Nice Boy Don’t Write Rock n Roll

Leave a Reply

Your email address will not be published.