Berdiri di Sudut Winslow, Arizona

Menjelang tidur adalah waktu di mana saya dan istri ngobrol ngalor ngidul. Malam ini saya berkisah tentang Winslow, Arizona. Seperti biasa Rani menyimak dengan acuh tak acuh. Saya bercerita tentang betapa saya ingin naik motor menyusuri daerah Selatan Amerika Serikat. Alabama, New Orleans, Louisiana (terutama Lafayette, karena itu tempat lahir Axl dan Izzy), Arizona, Los Angeles dan California.

“Kenapa sih kamu tertarik banget pergi ke US?” tanya Rani sambil main The Sims di ponselnya.

Belum sempat saya jawab, Rani sudah nyerocos lagi, “Kok kayaknya kamu nganggep US itu hebat banget.”

“Idih, kamu gak romantik sih,” balas saya ketus.

“Ya romantik itu kan biasanya berasal dari ikatan.”

Saya tambah ngomong panjang lebar. Romantisme pria itu tak akan pernah dimengerti oleh perempuan. Sama seperti gadis-gadis yang mencintai Ernesto dan tak habis pikir kenapa lelaki pujaannya itu tak diam saja di Argentina dan hidup mapan, malah memilih naik motor keliling Amerika Selatan.

“Romantisme,” kata saya setengah berdeklamasi, “dibentuk oleh banyak hal. Buku yang kita baca. Film yang kita tonton. Musik yang kita dengar.”

Itu kenapa saya sangat ingin pergi ke AS. Terlalu banyak romantisme yang saya alami dengan negara itu. Saya amat ingin pergi ke Los Angeles, tanah suci para makmum hair metal. Ingin berziarah ke Whiskey A Go Go, tempat Jim Morrison pertama kali meracau puisi Oedipus-nya dan berujung pada lagu “The End”. Di sana pula Motley Crue membuat sebuah ode berjudul “Down at the Whiskey”.

Saya tentu juga ingin pergi ke New Orleans, tempat jazz lahir. Mampir ke Lafayette, untuk menyaksikan kota apa yang telah membesarkan Axl dan Izzy. Belum lagi Fargo, yang dikenalkan oleh Chuck Klosterman; pun kota-kota kecil yang dikisahkan dengan amat menarik oleh Bill Bryson; tentu saja mampir ke Massachusetts, tanah tempat Al Mukarrom Jack Kerouac dikebumikan.

Saya juga merasa punya ikatan amat erat dengan Winslow, Arizona. Kalau kamu baca-baca di internet, ini adalah kota yang hidup segan mati tak mau. Populasinya pada 2014 hanya 9.600 orang. Kota kelahiran saya, Lumajang di Jawa Timur, punya 1 juta orang penduduk. Dengan penduduk sebanyak itu, Lumajang masih dianggap sebagai kota sepi yang hanya cocok untuk para pensiunan. Maka wajar kalau Winslow hanya semacam noktah kecil di raksasa bernama Amerika Serikat.

Tapi saya begitu ingin ke sana karena ingin menyambangi Standin’ On The Corner Park.

Alkisah, pada 1971 musisi Jackson Browne berkendara ke Sedona. Namun mobilnya mogok di Winslow. Terpaksa ia bermalam. Dasar musisi, ia membuat lagu dengan lirik, “…Well I’m standin’ on a corner in Winslow, Arizona such a fine sight to see.” Tapi ia kesusahan menyelesaikan lagu itu. Maka ia pergi ke kawannya, Glenn Frey dari Eagles untuk menyelesaikan liriknya. Glenn, si flamboyan itu, menambahkan lirik “…It’s a girl, my lord, in a flatbed Ford, slowin’ down to take a look at me.” Lagu itu akhirnya direkam Eagles dengan judul “Take It Easy”.

Lagu ini membuat nama Winslow terkenal seantero Amerika. Pemerintah kota lantas membuat patung dengan tulisan Standin’ On The Corner di atasnya. Yang menarik, ada mobil flatbed Ford –yang jamak ditemui di daerah pertanian dan peternakan– yang muncul di bayangan. Seolah kamu ada di sana, menjadi Jackson Browne yang mengeluh karena mobilnya mogok.

Saya pertama mendengarkan “Take It Easy” saat SMP. Meski saat itu sedang gila-gilanya dengan hair metal, lagu itu terlampau bagus untuk diabaikan. Pembukanya begitu lekat di kepala. Banjo yang dimainkan dengan cepat di penghujung lagu membuatnya tambah trengginas.

Suatu hari selepas les Bahasa Inggris, saya tak sengaja menonton video “Take It Easy” di sebuah tempat penjual VCD bajakan. Personel Eagles masih amat muda. Glenn mengambil alih mikrofon. Ia tampak amat cemerlang dengan kaos University of Colorado warna hitam, rambut sebahu, kacamata yang disampir di atas kepala, dan kumis yang melintang hingga samping bibir.

Video ini baru bisa saya tonton lagi berbelas tahun kemudian di Youtube. Dari situ saya tahu kalau video yang saya tonton itu adalah waktu Eagles tampil di Capital Centre medio 1977. Saya mengunduh konser penuhnya, dan pesona lagu “Take It Easy” rasanya tetap sama seperti waktu saya dengar pertama kali.

Lagu yang apik pasti bisa membuatmu berimajinasi tentang hal-hal yang akan kau lakukan sembari mendengar lagu itu. Dan “Take It Easy” membuat saya berimajinasi romantik tentang Amerika Serikat: mengendarai Harley tua dengan santai, selimut digulung dan diletakkan di depan setir, jaket kulit, kacamata hitam, zonder helm, rambut gondrong berkibar dan bau matahari, melintasi dataran AS bagian Selatan yang kering sekaligus penuh cerita seperti digambarkan Ian Frazier di Great Plains (yang terjemahannya saya baca waktu SMA dan kala itu tak saya nikmati mungkin karena ia menulis macam orang meracau, cepat dan bisa membuatmu tersesat).

Obrolan saya dan Rani kemudian saya pungkasi dengan memutar lagi video konser Eagles di Capital Centre, 1977. Tentu saja sembari berdoa saya bisa naik motor melintasi jalur selatan AS sembari dengar “Take It Easy”.

Take it easy, take it easy
Don’t let the sound of your own wheels drive you crazy
Lighten up while you still can
Don’t even try to understand
Just find a place to make your stand, and take it easy

Kelak. Suatu hari nanti. []

Leave a Reply

Your email address will not be published.