Fahmi Menikah

Fahmi adalah sahabatku sejak masuk SMA 2002 silam. Berarti sudah 20 tahun kami berkawan.

Fahmi masuk kelas 1.1, sedang aku di kelas sebelahnya, 1.2. Waktu masih masa orientasi, para kakak kelas memanggil Fahmi dengan nama Kunto. Kata mereka, wajah Fahmi mirip sekali dengan Pak Kunto, guru biologi.

Ketika pelajaran resmi dimulai, di kelas biologi yang diampu Pak Kunto, aku memutuskan untuk ikut memanggil Fahmi dengan sebutan Kunto.

Sebenarnya di kelas 1, Fahmi punya kawan akrab lain. Umbar, Go Kong, dan Vicho. Para guru menjuluki mereka sebagai kuartet setan. Sudahlah bandel, otak jongkok pula. Padahal kelas 1.1 ini konon adalah sekumpulan siswa yang masuk dengan nilai ujian SMP tertinggi. Ternyata banyak yang blangsak.

Kami akhirnya sekelas setahun berikutnya. Kami tak sebangku, karena aku duduk dengan Beni Wahyudi –kami memanggilnya Ben biar kayak pamannya Peter Parker. Kemudian pindah duduk bareng Nyen, lalu Ndowe.

Di kelas 2 pula, aku memutuskan ikut organisasi pecinta alam, Hega’s Wana. Karena Fahmi sudah ikut sejak kelas 1, maka dia jadi seniorku. Waktu diklat, wuiiih, dia pura-pura gak kenal aku. Galak banget, asu. Sama aja seperti Umbar yang sok galak. Aku disuruh push up ratusan kali oleh dua orang mahluk durjana itu. Jancok. Habis diklat, aku balas dendam. Fahmi kukeplak kepalanya, dan khusus Umbar: kuceples dahinya yang selebar lapangan golf itu.

Aku, Fahmi, dan rombongan pendakian Gunung Semeru, circa 2004.

Kami banyak melewatkan waktu bareng, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Sebagian besar menyenangkan sehingga akan terlalu banyak untuk diceritakan , sedikit ada saling marah dan bermusuhan (waktu kelas 3 Fahmi marah denganku dan Umbar karena menjulukinya budak cinta, dan Fahmi tak menegur kami selama sebulan), dan beberapa sedih –walau setahun kemudian sudah kami tertawakan, sih.

Yang sedih dan bodoh memang lebih enak untuk diceritakan. Maka begini…

Jadi, waktu kelas 2, Fahmi naksir seorang kawan perempuan yang kebetulan teman sekelas. Naksir mungkin kata yang kurang tepat. Cinta, mungkin.

Untuk perempuan ini, Fahmi sering kirim salam di radio lewat wartel milik orangtuanya. Pernah suatu kali kami rombongan ikut diklatsar paskibra di kawasan Taman Nasional Sukamade sebagai undangan. Lepas makan malam, Fahmi ambil gitar, lalu menyanyikan “Aku dan Bintang” dari Peter Pan dengan suara yang dienak-enakkan. Tiap dia mengeluarkan kata “bintang”, dia melihat kawan perempuan kami ini dengan pandangan berbinar.

Menjijikkan.

Akhirnya sejak malam itu, Fahmi mengganti nama kawan perempuan ini di daftar kontaknya menjadi: Bintang. Setiap kami ngobrol dan kebetulan perempuan itu terseret di obrolan kami, maka Fahmi menyebutnya pula sebagai Bintang.

Menggelikan.

Yaaaah, namanya juga cinta. Aku berusaha maklum, walau kadang ingin sekali menjambak mukanya yang sok imut tiap ngobrol dengan Bintang.

Satu waktu, di pagi hari sebelum bel masuk berbunyi, kami main di depan kelas. Gobak sodor atau apa lah gitu. Lalu datanglah Bu Ismi, guru matematika yang paling akrab dengan para murid.

“Bintang kecelakaan,” kata beliau.

Wuiiih, Fahmi langsung panik, seperti sebentar lagi kiamat dan dia belum sempat sholat untuk terakhir kali. Dia langsung mengemasi tasnya, lalu cabut begitu saja ke rumah sakit. Kami, kawan-kawannya, cuma bisa misuh. Opo sih, cuuukkkk.

Fahmi juga pernah muntab ke aku dan Nyen. Sepele, kami bikin Bintang menangis dengan mulut kami yang pedas dan tajam. Fahmi merasa kami biadab. Kami cuma bisa cengengesan.

Pada akhirnya kisah cinta itu berakhir mengenaskan.

Suatu malam, Fahmi minta aku menemaninya membeli bunga. Sudah kuduga. Sejak beberapa hari sebelumnya, Fahmi tiba-tiba tak terlihat merokok. Aku menebak dia pasti mau beli sesuatu. Benar saja, dia mengajakku ke sebuah toko bunga, membuatku terpaksa melihat Fahmi sembari tersipu memilih bunga untum Bintang ini.

Aku juga tahu kalau kemarin Fahmi bilang ke Bintang kalau dia akan berkunjung ke kosannya. Bintang memang berasal dari kota sebelah, dan kos untuk efisiensi. Setiap akhir pekan dia akan pulang ke rumahnya.

“Sabtu ini jangan pulang, ya. Aku mau main ke kosanmu,” kata Fahmi.

Yang dipinta, hanya mengangguk lemas.

Benar saja, waktu kami datang ke sana, kosan Bintang sepi. Hanya ada monyet peliharaan ibu kos yang nguik-nguik berisik melihat kami datang. Fahmi mengetok pintu berkali-kali. Tentu nihil jawaban. Tak akan ada wajah Bintang yang membuat Fahmi semangat tiap hari.

“Sudah, kasihin aja bunganya ke monyet. Mayan buat camilan,” kataku.

Patah hati itu adalah awal mula dari patah hati-patah hati berikutnya… dengan orang yang sama.

Cinta dan goblok kadang batasnya memang setipis kertas.

***

Fahmi sering diejek oleh banyak orang karena satu hal: tak kunjung menikah.

Kami, kawan-kawan baiknya, kadang juga ikutan meledek, walau lebih sering membela statusnya sebagai bujangan yang tak kunjung dapat jodoh. Percayalah, akan selalu ada body shaming, relationship status shaming, dan segala hal yang politically incorrect di perkawanan yang sudah berjalan puluhan tahun.

Fahmi sendiri bukannya tak ingin menikah. Aku tahu ikhtiar Fahmi, begitu pula ayah dan ibunya yang juga ikut membuka jalan. Tapi jodoh kan sesuatu yang misterius. Apalagi Fahmi kadang kurang bisa berpikir strategis dan bertindak taktis.

Aku dan kawan-kawan lain turut berusaha mencarikan Fahmi kenalan. Tak perlu dibidik sebagai jodoh dulu. Cukup sebagai kenalan di awal. Pada akhirnya semua hanya jadi teman-teman baru Fahmi.

Hingga suatu hari, ada seorang kawan bernama Dini, ikutan tren yang dipicu oleh selebriti Twitter bernama Greschinov: membuat CV untuk mencari jodoh.

Fadiah Nur Dini. Aku tak begitu kenal dengannya. Hanya kenal sebatas dia pernah lumayan aktif di lingkaran penulis Mojok. Namun aku merasa Dini bisa cocok dengan Fahmi.

Dini santri perempuan yang mandiri, kuat, punya mental perantau, dan dia lulusan Sastra Arab dari UIN Yogyakarta. Ini sangat pas dengan Fahmi yang sejak dulu sering merantau, sekaranf bekerja di sebuah kota kecil di Jawa Tengah (tak semua orang mau pindah ke kota yang oleh kawan kami Ade disebut sebagai kota mati dan Indomaret pun susah dicari), dan berasal dari keluarga santri.

Aku, Fahmi, dan Ibunya saat mengantar Fahmi merantau ke Kalimantan, 2011.

Aku kemudian minta izin untuk membagi CV itu ke Fahmi. Dini memberi lampu hijau. Aku beri CV itu ke Fahmi, dan dia memutuskan untuk bergerak sendiri.

Sat set.

Saking sat setnya, aku kaget ketika datang undangan mereka menikah.

“Ini beneran?” kataku setengah tak percaya.

Fahmi terkekeh. Brengsek. Aku todong dia untuk bercerita detail. Aku merasa dia utang penjelasan. Akhirnya Kunto Junior ini menjelaskan semua, bagaimana proses pendekatannya, ngobrol agak lama, hingga memutuskan untuk menikah.

Akhirnya pada 16 Juli 2022, Fahmi resmi menikah dengan Dini. Aku datang ke akad nikahnya, di sebuah masjid di kota Mojokerto. Datang pula Ade yang memang sekarang berdomisili di sana, serta Nova dan Mbak Sukma dari Jember. Beberapa kawan lain yang awalnya mau datang, satu-satu membatalkan.

Nova dengan pose bapak-bapak, Ade, Fahmi, dan aku setelah selesai akad nikah.

Ketika melihat Fahmi dan Dini di pelaminan, aku tertawa kecil mengingat semua jalan yang harus dilalui Fahmi untuk sampai ke titik ini. Aku lantas sampai di satu kesimpulan.

Jodoh memang misterius.

Leave a Reply

Your email address will not be published.