Susy Guese sedang pening. Penulis dari Lonely Planet ini mendapatkan tugas yang teramat sulit: mencari Wiener Schnitzel terbaik di Austria.
“In search of schnitzel in Vienna, it’s a tough job but someone has to do it” ujarnya bersaksi.
Dia tidak sedang membual atau omong besar. Mencari Wiener Schnitzel terbaik di Austria sama saja dengan mencari jarum di tumpukan jerami: nyaris mustahil. Sama seperti kalau kamu pergi ke Madura dan mencari Soto Madura mana yang terbaik.
Wiener Schnitzel memang sudah menjadi makanan rakyat bagi orang Austria, terutama Wina. Jika diterjemahkan secara harfiah, Wiener Schnitzel adalah schnitzel orang Wina. Meskipun, masih ada perdebatan panjang nan tak kunjung usai mengenai asal mula makanan ini.
William Harlan Hale dalam buku Horizon Cookbook dan Illustrated History of Eating and Drinking Throught the Ages, menjelaskan bahwa Wiener Schnitzel adalah turunan dari makanan khas Italia, Cotoletta Milanese, daging yang dibalur dengan tepung dan digoreng hingga berwarna coklat keemasan. Makanan ini jadi populer di Austria saat Roman Apicus, pimpinan tentara Romawi saat itu, menginvasi Austria. Tapi beberapa literatur –seperti buku masak klasik Gebachene Schnitzeln— juga mengatakan, daging goreng berbalut tepung itu sudah jamak ditemukan di khazanah kuliner bangsawan Austria sejak jaman baheula.
Hingga sekarang, perdebatan panjang mengenai asal muasal Wiener Schnitzel masih berlangsung dan sepertinya memang tak bakal usai.
Tapi apakah sebenarnya schnitzel itu?
Situs mengenai sejarah masakan, kitchenproject.com, menjelaskan bahwa definisi kasar schnitzel adalah “…a thin crumbed slice of veal (usually 3 to 6 ounces) fried in oil and served with lemon, and often ligonberry jam and Erdapfel potato salad (German Potato Salad) Pomme Frits (French Fries) or boiled potatoes with parsley and butter.”
Tapi lain lubuk lain belalang. Begitu pula schnitzel. Makanan ini berdiaspora ke daerah lain dan mewujud dalam bentuk yang berbagai jenis pula. Jika biasanya schnitzel menggunakan daging sapi, sekarang ada pula yang memakai daging ayam, babi, hingga kalkun.
Susy sendiri yang harus belusukan ke Austria untuk mencari schnitzel terbaik, menjelaskan terma konvensional tentang schnitzel, dimana makanan tradisional kebanggaan Austria ini adalah daging sapi muda yang diiris tipis, dicelupkan ke telur, lalu di balur dengan tepung. Beberapa di beri penyelesaian akhir berupa pembaluran tepung roti, sehingga warna golden brown semakin terang terlihat. Lantas daging sapi goreng ini diperasi air lemon. Sesederhana itu.
***
Bandung sedang terik siang itu. Saya baru saja memarkir motor di sebuah tempat parkir liar di sudut Braga, kawasan tersohor di Bandung yang berisi banyak galeri kesenian dan juga restoran klasik. Saya sedang bersama Rani siang itu. Usai menaruh helm, kami berdua menyusuri Braga yang tak pernah sepi itu.
Kami begitu penasaran dengan Sumber Hidangan, sebuah rumah makan yang sudah berdiri semenjak tahun 1929. Rumah makan itu konon menyajikan berbagai penganan klasik yang namanya pun masih klasik. Dan yang tak kalah menarik, ada wiener schnitzel yang menurut kabar angin, rasanya sungguh lezat dan harganya pun bersaudara –jauh lebih murah ketimbang harga yang bersahabat.
Sebelumnya, saya sudah puas mengejek Rani habis-habisan. Ia pernah menghabiskan sebagian masa hidup di Bandung dalam kurun yang cukup lama. Tapi ia sama sekali tak pernah mendengar nama Sumber Hidangan, apalagi masuk ke dalamnya.
Tak cukup jauh saya berjalan, sampailah kami pada rumah makan yang dituju. Letaknya di kiri jalan kalau kau melangkahkan kaki melawan arus jalan. Tak tampak plang penanda rumah makan. Hanya ada seorang penjual lukisan kaki lima, dan juga penjual koran. Mereka berbincang di depan restoran yang catnya sudah lapuk dan kelabu itu.
Tanpa perlu menunggu waktu lama, saya masuk ke dalam gedung luas itu. Ada beberapa meja dan kursi klasik yang ditata agak berjauhan. Sedang lampu-lampu dari jaman pra-kemerdekaan menggantung bebas dari atap. Di sudut yang lain, tampak lumut berwarna hijau hasil dari kelembaban yang sudah ada semenjak lama.
Restoran ini dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama adalah bagian roti, dan bagian lainnya adalah tempat untuk bersantap. Di bagian pertama, ada jejeran roti penggugah selera yang dipajang dalam lemari kaca. Nama-namanya unik, beberapa masih menggunakan nama Belanda. Harganya sungguh sangat murah untuk ukuran restoran yang sudah berumur lebih dari 10 windu. Untuk bagian bersantap, tersedia beberapa pasang meja dan kursi yang terbuat dari besi.
Sumber Hidangan tampak cukup ramai siang itu, tapi tidak di bagian restoran. Hanya ada saya dan Rani, juga sepasang opa-oma berumur kisaran 70 tahunan. Selain itu nihil. Segera setelah duduk, seorang pria paruh baya berkumis dan berkacamata menghampiri kami. Namanya Anton.
“Nama udara saya Setioko” ujarnya pendek sembari tersenyum.
Di paruh waktunya, ia bercuap-cuap di sebuah radio khusus memutarkan lagu-lagu Campursari. Ia memang berasal dari Jogja, tepatnya di daerah Gunung Kidul. Ia hijrah dari sana karena Gunung Kindul saat itu sedang tandus dan tak memberinya harapan apa-apa. Maka ke Bandung ia pergi dan menetap hingga kini.
“Para pelayan di sini memang durasi kerjanya lama. Saya sih baru 20 tahunan. Ada yang dari muda hingga meninggal tetap kerja disini” katanya sembari menyerahkan selembar menu.
Kertas menunya bukan jenis menu ala restoran modern yang di tata dan dibuat sedemikiran rupa. Menu di restoran ini hanya selembar kertas lusuh dengan laminating yang ujungnya sudah mulai mengelupas. Tak ada visual menarik, tak ada gambar berbagai jenis makanan yang menerbitkan liur, tak ada pula font yang mencolok mata dan berbentuk indah. Semua diatur dengan sederhana.
Saya memesan seporsi wiener schnitzel lengkap. Harganya tak sampai Rp.30.000. Sedang Rani memesan seporsi bestik sapi komplit. Harganya Rp.25.000. Untuk minum, saya memesan menu yang bernama aneh: Fosco Susu. Saya berjudi. Sedang Rani menunjukkan tabiat sebagai mantan warga penghuni tanah Sunda, memesan teh tawar hangat. Fosco Susu datang mirip seperti milkshake coklat. Rupanya memang tak jauh berbeda. Fosco ternyata adalah susu yang dicampur dengan es krim rasa cokelat. Kalau Fosco soda, es krim akan dicampur dengan soda, bukan susu. Lain kali saya akan mencoba itu.
Selain menjual menu yang kami pesan, Sumber Hidangan juga memberikan beberapa alternatif menu. Dari yang halal hingga yang haram. Mulai nasi goreng, hingga gado-gado. Dari Sate sapi hingga sate babi. Selain itu, berbagai varian es krim turut menggoda genit. Dari jenis arben hingga moorkus. Semua dijual –sekali lagi– dengan harga yang bersaudara kental. Saya lantas membandingkan harga es krim disini dengan harga es krim di Tip Top, rumah es krim klasik di Jogja, yang harganya pernah membuat saya meringis sambil menengok pedih ke dalam dompet.
Selagi menunggu pesanan, saya berkeliling sejenak. Memesan beberapa roti. Sayang, kroket legendaris Sumber Hidangan sudah ludes sejak beberapa jam lalu. Sepertinya terlalu siang saya datang.
Pesanan datang, saya bersorak gembira. Seporsi Wiener Schnitzel datang dengan tampilan yang menggiurkan. Daging sapi berukuran tebal nun besar, dibalut dengan tepung roti, lantas digoreng hingga berwarna coklat keemasan. Bentuk wiener di rumah makan ini tebal, tak seperti wiener di daratan Eropa yang diiris tipis dan memanjang. Pun tak ada irisan lemon untuk disiramkan.
Wiener Schnitzel Lezat Itu |
Tak hanya daging sapi, ada pula selembar telur mata sapi yang ditumpangkan ke atas daging. Untuk yang khawatir tak akan kenyang jika tidak makan dengan nasi, jangan takut, ada potongan potato wedges dalam jumlah yang generous sebagai asupan karbohidrat. Cukup membuat kenyang. Selain itu juga ada pasukan sayur segar: selada, tomat, timut, dan buncis. Semua kombinasi itu lantas diikat dengan saus home-made berwarna coklat tua yang beraksen manis. Resep makanan ini konon masih sama dengan resep dari tahun 1929.
Daging sapinya mungkin bukan daging sapi muda, seperti yang diisyaratkan oleh warga Austria. Terlihat dari serat yang cukup pekat dan erat, yang memerlukan sedikit perlawanan untuk melumatnya. Tapi dagingnya lembut. Baluran tepung roti menghasilkan tekstur crunchy di luar, dan juicy di dalam. Sausnya memberikan nuansa yang menyenangkan: manis dan gurih. Tak perlu saus botol sebagai penambah rasa. Kalau ingin sedikit pedas, silahkan taburkan merica bubuk yang juga turut disediakan. Sayang, menurut saya, sausnya kurang kental. Sedikit terlalu cair untuk ukuran saus.
***
Susy melakukan beberapa riset panjang dan berliku untuk menemukan restoran mana yang menyajikan wiener schnitzel terbaik di Austria. Tapi tanpa dinyana, masakan schnitzel terbaik ia temukan di tempat yang tak pernah ia duga.
Karena lelah dan kedinginan, serta lapar yang menjulur, ia pergi ke sebuah restoran bernama Zur Goldenen Glocke. Ia hanya sekedar pergi tanpa ekspektasi apapun. Alasan ia pergi kesana adalah karena restoran itu dekat dengan hotelnya dan mereka menyajikan schnietzel.
Disana ia menemukan suasana Austria yang sesungguhnya. Tempatnya tenang, menu makanan adalah makanan tradisional Austria, dan bahan-bahannya berasal dari petani lokal. Selain itu sang juru masak sering keluar dapur untuk menemui tamunya dan bertanya apakah masakannya memuaskan atau tidak. Perpaduan antara atmosfir dan schnitzel yang sedap, membuatnya menobatkan Zur Goldenen Glocke sebagai restoran terbaik untuk urusan schnitzel.
“The quality of veal was apparent, along with the breading. Not greasy or overly puffy, this Wiener Schnitzel and its atmosphere were just right” tulisnya pada artikel berjudul In Search of Schnitzel in Vienna –yang judulnya saya comot dan modifikasi untuk tulisan ini.
Ia jelas terkejut. Ia sudah pernah menunggu antrian meja hingga 4 hari di sebuah restoran untuk mencicipi menu schnitzel yang konon paling lezat seantero Austria. Tapi ia menemukan schnitzel terbaik di sebuah restoran kecil berumur tua (berdiri sejak tahun 1886) yang sama sekali luput dari risetnya.
“However, after such careful research, I would have to say it was the corner restaurant, the one I didn’t know or plan on that served up the best Wiener Schnitzel, from atmosphere to taste”
Siapa juga yang menyangka, di Bandung, di sebuah restoran yang jauh dari konsep modern, di restoran yang dindingnya berlumut, yang menyajikan menu dalam sebuah kertas lusuh, terdapat Wiener Schnitzel terbaik yang mungkin pernah ada. []
walah di bandung toh…. kirain beneran di austria….. boleh nih di coba ah….
Been there, done that, got the cheap ice cream too! Lovely lahhh pokmen ya disbanding Zangrandi :))
Iyo Put, hargane jauh lebih mahasiswais ketimbang Zangrandi atau Tip Top :))
Ini dimana sih? Di Braga dimananya? Di jalan apa? Di deket apaan? Kok ga pernah liat? Dari pinggir jalan keliatan ga? *brisik*
Jalannya ya jalan Braga :3 Tanya aja sama orang-orang di sekitar sana, pasti pada tahu. Ini terkenal kok, di pinggir jalan pula.