Kin Ping Meh, Duran Duran, dan Gargoyle

Saya menengok jam. Sudah pukul 1 dini hari. Saya sedang kebagian mengerjakan laporan utama untuk kerjaan. Dua tulisan. Satu sudah saya rampungkan sedari sore. Satu masih sedang saya tulis.

Seperti biasa, laiknya penderita ODHD, saya susah sekali fokus. Kerjaan baru digarap separuh, sudah asyik mengerjakan hal lain. Misalkan sibuk mendaftar sebagai member di restoran waralaba terkenal, hanya untuk mendapatkan salah satu produknya dengan gratis. Padahal pagi nanti saya harus terbang ke Palembang, kemudian lanjut jalur darat menuju Jambi. Echa, adik ipar saya, akan menikah hari Sabtu. Rani sudah berangkat duluan kemarin pagi.

Di sela kemalasan menyelesaikan laporan utama, saya mengoprek lagi banyak lagu Duran Duran. Entah kenapa bisa nyasar ke band itu. Biarlah. Saya kemudian menekuri lagi “Come Undone” yang kelam sekaligus genit. Juga mengagumi bass line “Girls on Film” yang begitu menggairahkan. Tentu juga sedikit tergagap saat mendengarkan “Ordinary World” yang seakan mengekalkan fatwa Chairil Anwar: nasib adalah kesunyian masing-masing. Tak usah cengeng dan banyak mengeluh, mungkin begitu petuah Simon Le Bon.

Mas Aguk, tenaga tata letak majalah, nampaknya juga mengalami kejumudan yang sama. Ia bangkit dari kursinya. Menanyakan cara mengunduh lagu dalam format Mp3. Saya terangkan dan beri beberapa referensi web untuk mengunduh lagu.

“Ono lagu Kin Ping Meh?”

“Hah? Uopo iku?”

Saya baru kali ini mendengar nama Kin Ping Meh. Setelah saya Googling, barulah saya mendapat sedikit info tentang band ini. Iya hanya sedikit. Bahkan Wikipedia tak bisa bercerocos banyak tentang band asal Jerman yang aktif di dekade 70-an ini. Setelah saya dengar lagunya, band dengan nama rodo gak juwelas ini ternyata memainkan prog rock dan sudah punya lumayan banyak album.

Selera musik Mas Aguk ternyata cukup mengagumkan. Ia tadi menyebutkan Saga, sebuah nama band prog rock. Saya tak tahu menahu, tentu saja.

“Kalau Marillion?” tanyanya.

Saya nyengir. Cuma pernah dengar nama, tak tertarik untuk mendengarkan lagunya.

Setelah ngobrol tujuh atau delapan menit, Mas Aguk kembali ke kursinya. Saya sempat melongok meja kerjanya. Ia sedang memutar beberapa lagu prog rock dari dekade 70-an. Jam segini adalah waktu bebas memutar musik favoritnya. Biasanya di jam kantor, ada Kang Zul yang lebih dominan dalam memutar musik. Sayang, selera musiknya tak begitu bagus, kalau tak mau menyebut agak memprihatinkan. Pernah suatu hari ia memutar lagu “Selamat Ulang Tahun” dari Jamrud, seharian. Benar-benar seharian jam kantor. Dari jam 10 pagi hingga sore hari. Dengan speaker yang lantang.

Setelah saya tanya ke orang kantor, tak ada yang ulang tahun hari itu. Entah kenapa lagu itu yang dipilih. Mas Aguk yang satu ruangan dengan Kang Zul cuma nyengir sambil geleng geleng kepala. Saya memahami rasa frustasinya.

Oh ya, saya mengetik tulisan tak jelas ini dengan laptop kantor yang sudah saya pakai sejak 1 tahun lalu. Laptop pribadi mengalami kerusakan baterai. Saya malas membawanya. Tak praktis sebab harus dicolok. Pun, belum ada dana untuk membeli baterai baru. Padahal semua koleksi lagu saya ada di sana dan saya terlalu malas untuk memindahkannya ke laptop kantor.

Jadilah sekarang saya membongkar folder, siapa tahu ada musik yang nyelip di tumpukan file Eva Lovia, Veronica Avluv, atau Ariella Ferrera. Ternyata memang benar ada: “Mata Angin”, dari grup heavy metal asal Yogyakarta, Gargoyle.

Dulu band itu adalah salah satu band favorit saya. Kenapa dulu? Karena sekarang mereka sudah tak aktif lagi. Saya bahkan pernah menulis singkat tentang band ini di Jakartabeat. Saya salin sebagian teksnya di bawah ini:

Heavy metal ala Gargoyle sungguh sangat menyenangkan. Dengan sound tipis ala musik hard rock circa 80-an, suara vokalis yang melengking tinggi, dan duel solo gitar bertaburan di sekujur lagu. Sesekali mereka menyelipkan lirik-lirik slengean dan kocak. Mendengarkan Gargoyle sedikit mengingatkan saya pada EdanE era Ecky Lamoh.

Saat almanak 2012 nyaris berakhir, mereka mengeluarkan album terbaru: Tanah Para Raja. Walaupun konsistensi mereka di jalur heavy metal sedikit dipertanyakan (jumlah lagu ballad dengan lagu kencang nyaris berimbang, di mana hal ini bisa membuat identitas musik Gargoyle sedikit membingungkan), tapi beberapa lagu tetap membuat saya terkesima. Selain itu yang membuat saya sedikit lega adalah, personel Gargoyle adalah anak-anak muda yang mengabaikan tren Post Rock atau Folk.

Salah satu lagu yang membuat saya jatuh cinta pada Gargoyle adalah “Mata Angin,” sebuah lagu heavy metal yang mengocok adrenaline. Lagu ini punya segala hal yang diperlukan dalam sebuah lagu heavy metal yang baik dan benar: ritme yang cepat dan menggugah semangat, dihiasi dengan lirik-lirik membakar, dan ini yang paling penting: duel solo gitar pada pertengahan lagu. Oh, betapa saya merindukan solo gitar, sesuatu yang sepertinya sudah layak dimasukkan museum barang langka.

Setiap saya mendengarkan lagu “Mata Angin,” saya tak bisa tidak tergugah. Menurut hemat saya, lagu ini hampir layak disandingkan dengan anthem EdanE, “Ikuti.” Saya berharap Gargoyle bisa menjadi besar dalam dunianya. Ia bisa jadi band heavy metal yang disegani. Namun dengan satu catatan: mereka harus tetap konsisten dengan jalurnya.

Selagi menunggu gebrakan mereka selanjutnya, simak track “Mata Angin” yang dapat diputar dan diunduh di sini. Selamat mendengarkan dan selamat terbakar!

Perasaan saya tidak berubah hingga sekarang. Setiap mendengar lagu itu, saya merasa terbakar sendirian. Apalagi dengan ajakan provokatif “…liar bersamaku dan kubawa ke mana kau mau.”

Sekarang saya sedang mendengarkan “Mata Angin” dengan volume 88 persen di laptop. Saya agak segan menyetelnya dengan volume maksimal, takut mengganggu penghuni bawah tangga kantor. Eh sudah tahu kan kalau kantor saya ada hantunya?

Oke, saya melantur terlalu jauh. Ini saatnya kembali kerja. []

2 thoughts on “Kin Ping Meh, Duran Duran, dan Gargoyle

Leave a Reply

Your email address will not be published.

>