“Udah lama gak maen seseneng ini. Dikelilingi teman dan saudara.” Saya duduk berhadapan dengan Rezanov kemarin malam, di Ecobar, Kemang, Jakarta Selatan. Malam itu ia sedang punya hajat lumayan besar: reuni dengan personel pertama GRIBS.
Semula, GRIBS adalah singkatan dari Gondrong Kribo Bersaudara. Memainkan singkatan kata, mungkin terinspirasi Elpamas (Elek Elek Pandaan Mas) atau AKA (Apotik Kali Asin). Selepas mengeluarkan album pertama pada 2009 –dan menjadi salah satu album lokal terbaik versi Rolling Stone Indonesia– GRIBS hiatus. Kemudian saya mendapat kabar kalau Rezanov ditinggal tiga saudaranya, Dion, Arif, dan Rashta. Rezanov sendirian, limbung.
Tapi ia memang pejuang, sama seperti lagu dalam album pertamanya. “Sekali kau lakukan berarti tak bisa kembali. Pejuang kan selalu sendiri.”
Ia tak hendak menyerah. Maka ia mulai bergerilya mencari kompatriot lain. Di sela mencari rekan baru, pria kelahiran Blitar itu menjadi vokalis tamu untuk beberapa band. Dari Abad, Violet Jessica bersama Baron eks Gigi, hingga Yockie Suryo Prayogo & Friends, bersama Yockie dan Eet Sjahranie, keduanya mantan personel God Bless.
Setelah melakukan pencarian, ia tertambat pada Eben Andreas, gitaris yang sudah lebih dulu dikenal sebagai virtuoso dan aktif dalam komunitas musik metal Jepang. Gaharaiden dan Hugo kemudian menyusul di departemen drum dan bass. Nama tetap GRIBS, tapi mereka tak lagi bersaudara. Kecuali sedarah dalam musik rock.
Mereka masuk studio dan berhasil mengeluarkan album kedua berjudul Thunder. Ada perbedaan lumayan besar di album ini. Musiknya lebih trengginas. Besar kemungkinan pengaruh dari Eben dan Hugo. Album ini juga menampilkan musik GRIBS dalam spektrum yang lebih luas. Ada sedikit unsur thrash dan hardcore ketika Arian 13 didapuk jadi vokalis tamu di “Sampai Jumpa di Neraka”. Juga pengaruh opera rock dalam “Istana Ilusi” yang sangat menghantui itu.
Ihwal reuni ini adalah saat mantan Ryan AR, mantan manajer GRIBS, terbaring sakit sejak setahun lalu. “Dia yang bawa GRIBS ke mana-mana,” kata Rezanov.
Maka para personel awal GRIBS kembali berkumpul dan melakukan jam session. Ternyata masih ada chemistry. Mereka mengajak serta Gigantor, band beraroma hardcore dan thrash yang juga dimanajeri Ryan. Kebetulan Gigantor juga sudah lama tidak manggung, terakhir pada 2013, tolong ingatkan saya jika salah.
“Waktu kami tunjukkan foto kami bersembilan, Ryan menangis,” ujar Rezanov lagi.
Maka malam itu Ecobar terbakar. Tempat yang sedikit sempit sama sekali bukan halangan untuk mengadakan moshpit. Bau keringat penonton bercampur dengan wangi cocktail seharga ratusan ribu. Para penonton menirukan gerakan menyembah saat Dipo Gigantor menyayat fret gitar dengan cepat. Juga bernyanyi bersama saat “Born to be Wild” dimainkan.
GRIBS tampil seusai Gigantor. Ini pertama kalinya saya menyaksikan GRIBS dalam formasi awal. Hadirnya Dion (gitar), Arief (bass), dan Rashta (drum) membawa pada kenangan saat pertama kali mendengar album perdana GRIBS.
Ada kenaifan dan keluguan yang jujur serta menyenangkan. Tipikal band rock yang tak peduli masa depan, yang penting tetap memanjangkan rambut dan main musik tiap hari. Kehidupan macam itu banyak dituangkan di lagu album pertama. Coba dengar “Rocker” yang di satu sisi terdengar klise (dengan kalimat yang paling sering diucapkan di ranah rock: rock n roll musikku, rock n roll hidupku), tapi di sisi lain menghadirkan kepolosan dan semangat anak muda yang berkobar bukan main.
Atau “Rock Bersatu” yang sebenarnya layak menjadi lagu kebangsaan makmum rock di abad 21. Saat “…ini gawat, sudah parah. Generasi di ambang kehancuran. Hanya ada satu jalan, kepada rock kami percaya. Lagu cinta, putus asa, generasi dalam bahaya. Wahai ibu, dengar kami: biarkan anakmu dengar lagu ini...” menjadi bahan bakar utama lirik, maka itu tanda munculnya kembali rock yang tanpa tedeng aling-aling.
Bagaimana tidak, Rezanov dan sekondannya percaya bahwa semua masalah bisa diselesaikan dengan musik rock. Semangat ini sukar dicari padanannya sejak Kurt Cobain menembak kepalanya sendiri dan secara tidak resmi mengakhiri era kejayaan musik rock.
Cara GRIBS menulis lirik dan membuat musik mengingatkan saya pada Slank saat baru terbentuk dan Bimbim muda masih menulis lirik dengan slengean. Album perdana yang penuh gairah dan gelora masa muda itu mustahil diulang.
Rezanov kini sudah banyak berubah. Ia masih berambut panjang dan selalu maksimal saat tampil. Tapi kini ia membiarkan kumisnya tumbuh. Ia juga bekerja kantoran, di sebuah perusahaan periklanan, sesuai dengan jurusan ketika kuliah. Mungkin sekarang ia sadar bahwa hidup tak semudah di lagu “Rocker”, juga tak melulu menarik seperti di “Rock Bersatu”.
Saya tak menganggap itu sebagai kekalahan. Justru itu adalah bentuk kedewasaan Rezanov yang mau berkompromi agar bandnya tetap jalan terus. Bekerja kantoran dan tetap bermusik adalah pilihan yang ideal, sekaligus berat. Ideal dalam arti masih bisa bertahan hidup sebagai pekerja, dan masih tetap membuat musik yang ia sukai. Anggapan kalau rocker haruslah terus-terusan pesta dan mabuk adalah ide purba, usang. Layak masuk tong sampah. Lagipula musik rock adalah musik kaum pekerja.
Saya yakin, Rezanov tetap seorang pejuang, sama seperti waktu ia berjuang sendirian mengibarkan panji GRIBS. Kalau dulu semasa susah ia tak membubarkan GRIBS, ia jelas tak akan melakukannya sekarang hanya karena ia bekerja kantoran.
Semangat Rezanov toh masih tetap menyala. Ia membuktikannya dengan tampil sangat lepas kemarin malam. Seperti bermain di depan keluarga sendiri. Pria yang besar di Malang ini mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Mampu menggapai nada-nada tinggi dengan mudah, dan menampilkan teriakan panjang yang sukar ditandingi. Beberapa waktu lalu saat GRIBS tampil di At America, suaranya seperti tertahan dan tak maksimal. Tak hanya Reza, semua personel juga tampil dengan semangat bersenang-senang.
“Demi tampil malam ini, gue bela-belain pakai legging lagi. Gak enak, anjing!” kata Arief sembari tertawa.
Lagu pertama yang dimainkan oleh GRIBS membuat saya melonjak kegirangan: “Sang Peramal”. Siapa pula yang tak girang ketika mendengar lagu rock dengan tema peramal, bola kristal, jalan penuh marabahaya, dan siluman ular merah. Seperti membawa kembali kisah kejayaan George Rudy dan Barry Prima saat bermain di film Nyi Blorong atau Siluman Serigala Putih.
Semalam lebih banyak lagu dari album pertama yang dimainkan. “Rocker”, “Gadis Serigala”, “Sinetron Indonesia” dan tentu saja “Rock Bersatu”. Tentu saja ada lagu-lagu dari album kedua. “Hot Lenny” yang kenes, “Rock Akhir Jaman” yang merupakan reinkarnasi dari “Rock Bersatu”, dan tentu saja “Laki-Laki”, sebuah lagu ballad yang seperti anak kandung “What Keeps Me Loving You” serta “House of Broken Love”.
Di akhir, GRIBS berkolaborasi dengan Gigantor. Membawakan beberapa lagu rock klasik. Saya sudah lupa apa saja yang mereka bawakan. Hanya satu yang nyantol di ingatan: “Rock Bergema” yang dibawakan dengan ugal-ugalan. Acara tidak sampai pagi. Tak ada encore.
“Besok pada kerja woy,” kata Reza, tertawa. Sama sekali tak ada nada getir di sana.
Saya juga turut tertawa mengingat besok masih harus pergi ke kantor dan menembus kemacetan. Iya, hidup memang tidak semudah dan semenarik lagu-lagu rock. []