Mamak dan Semangkuk Soto Banjar

Dulu saya berpikir bahwa Ayah dan Mamak akan terus bersama hingga umur 90 tahun. Lalu salah satu dari mereka meninggal. Disusul oleh yang lain. Tapi ternyata saya salah. Ayah meninggal di usia yang baru menginjak 51. Terlampau muda. Mamak berusia satu tahun lebih tua, alias juga masih muda. Saya sempat berkelakar padanya, “Tak usah nikah lagi ya.” Rasa-rasanya terlalu berat melihat Mamak harus bersama dengan lelaki lain.

Tapi sekitar dua tahun lalu, saat saya pulang ke rumah, saya melihat sosok Mamak yang berbeda. Ia kehilangan pancaran semangat hidup. Mukanya sayu. Tapi dia tetap Mamak yang sama. Setiap saya mengabari akan datang, beliau selalu bertanya: mau makan apa? Maka saya menyebutkan beberapa makanan favorit. Sop buntut. Soto Banjar. Oseng paru. Pecel. Hingga sambal bajak yang terlezat di dunia itu. Saat saya pulang, Mamak selalu membuat sebongkah bumbu pecel. Ia tahu, di Jakarta susah mencari pecel yang cocok di lidah.

Tak urung, saya ikut layu dan tak bersemangat melihat Mamak. Ia juga tambah kurus. Seakan tulangnya hanya berbalut kulit. Tak ada daging. Apalagi lemak. Kerutan di wajahnya tambah banyak. Saya mencoba berpikir keras kenapa Mamak bisa jadi seperti itu.

Kemudian saya paham. Mamak perlahan digerogoti kesepian. Di rumah kami, hanya ada empat orang. Mamak, dua orang adik perempuan saya, dan Mak Ri –asisten rumah tangga yang sudah bergabung di keluarga kami sejak 1987. Orin, adik perempuan pertama saya, bekerja di sebuah bank swasta. Kerjanya pagi, dan pulangnya malam. Sedangkan Shasa, adik bungsu, sibuk dengan skripsi dan pekerjaannya sebagai pengajar beberapa anak sekolah. Sama saja, berangkat pagi pulang malam. Sedangkan Mak Ri sudah terlampau tua untuk melakukan apapun, termasuk ngobrol berlama-lama.

Bisa dibilang Mamak menjalani hari-harinya sendiri. Tak ada kawan mengobrol seperti waktu Ayah masih ada. Tiada pula kawan untuk menonton film, atau sekadar jalan pagi di kompleks perumahan. Saat itu saya sadar bahwa kesepian amatlah menyeramkan. Ia menggerogoti jiwamu dari dalam. Pelan-pelan. Hingga kerut tumbuh menjalar di seluruh tubuh. Membuat wajahmu tampak lebih tua. Padahal Mamak belum juga berusia 60. Masih jauh.

Maka saya memutuskan, kali ini dengan serius dan bukan kelakar: Mamak perlu menikah lagi. Tentu usul ini hanya ditanggapi dengan tertawa oleh Mamak. Rasanya dia terlalu mencintai Ayah, sehingga pasti susah mencintai pria lain. Tapi ini bukan masalah cinta. Perkara cinta pasti ditaruh di urutan belakang jika berbicara tentang hubungan lelaki perempuan dengan umur di atas 50. Ini tentang menjalani hari-hari tua dengan memiliki partner mengobrol dan melakukan berbagai hal bersama. Akhirnya hari itu tiba juga. Mamak menikah dengan lelaki pilihannya, seorang pengajar di sebuah Universitas di Malang. Profesi yang sama dengan Ayah. Enam tahun setelah Ayah meninggal.

Saya? Tentu ikhlas dan ikut berbahagia. Melihat Mamak memiliki teman menjalani hari tua itu rasanya menenangkan. Saya belajar untuk tak egois lagi dengan mengikhlaskannya. Ayah di surga pasti amat paham dan akan mendukung –bahkan sebelum meninggal, dia sempat guyon agar Mamak menikah lagi setelah Ayah tiada.

Lagipula, saya sadar: tingkat tertinggi cinta adalah mengikhlaskan orang yang kamu cintai berbahagia.

***

Suami Mamak –saya memanggilnya Ebes, bahasa slang Jawa Timuran untuk menyebut bapak– jauh berbeda karakter dengan Ayah. Yang paling kentara: Ebes terlalu berhati-hati soal makan. Dia tidak suka makan jerohan. Menjaga jarak dengan aneka daging merah, malah agak memusuhi daging kambing. Makanan favoritnya adalah tempe dan tahu.

Yang juga amat berbeda adalah kondisi rumah. Di Malang, mereka hanya tinggal berdua. Dua orang anak Ebes sudah tinggal di rumah dan kosan masing-masing. ini artinya, Mamak tidak pernah memasak untuk banyak orang.

Hal ini tentu kontras dengan kondisi rumah kami di Arjasa, Jember, yang nyaris tak pernah sepi. Dalam kondisi paling ramai, sekitar 11 atau 12 tahun lalu, rumah kami dihuni oleh sekitar 12 orang. Dan nyaris tiap pagi ada beberapa orang yang mampir ke rumah untuk sarapan. Mulai dari tukang sampah, tukang ojek langganan, hingga penjaja sayur keliling. Bayangkan betapa ramainya rumah kami sewaktu pagi dan waktunya sarapan.

Subuh dimulai dengan Mamak pergi ke pasar. Sebelumnya dia sudah memutuskan akan memasak apa. Di pasar dia tinggal belanja. Pasar Arjasa hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari rumah. Biasa ditempuh dengan jalan kaki.

Untuk makan sehari-hari Mamak harus pandai-pandai mengatur menu. Maklum, Ayah hanya seorang pegawai negeri biasa. Kadang saya heran dengan Mamak, betapa dia cerdik dan lihai mengatur keuangan yang minim untuk rumah dengan belasan penghuni. Karena itu, menu sehari-hari biasanya sederhana namun tetap lezat.

Yang paling sering ditemui adalah telur dadar yang jadi gemuk berkat rajangan kubis dan cabai; tempe dan tahu goreng, serta secobek sambal terasi. Dimakan pakai nasi hangat, rasanya dunia ini seperti tak punya masalah. Untuk makan siang, Mamak tak pernah alpa memasak sayur. Kadang terong balado. Kadang sop ayam. Kadang oseng kangkung. Atau bayam. Atau sayur asem. Lauk pelengkapnya antara sisa lauk pagi, ditambah dengan lauk baru.

Favorit saya tentu perpaduan antara sayur asem, tempe dan tahu goreng, ikan asin, serta sambal terasi. Sayur asem Mamak mengandalkan rasa asam dari asam Jawa dan rasa manis dari gula pasir. Kuahnya bening. Isinya tak banyak macam sayur asam Betawi. Hanya kacang panjang dan jagung, kadang ditambahi potongan timun. Penyeimbangnya adalah sambal terasi yang pedas dan asin.

Mamak suka memakai tomat ranti sebagai bahan baku utama sambal. Ini bukan ranti yang di Tanah Sunda dikenal sebagai leunca, salah satu sayur untuk lalapan. Tomat ranti banyak dipakai di kawasan Tapal Kuda sebagai pengganti tomat. Bentuknya tak mulus seperti tomat yang kita kenal, melainkan sedikit bergelombang. Dunia global memasukkan tomat ranti dalam keluarga tomat heirloom, alias tomat non hibrida. Mungkin karena itu bentuknya tak “sempurna” seperti tanaman hibrida.

Di pasar internasional, yang paling identik dengan tomat ranti adalah tomat Stripped German. Rasa tomat ranti cenderung lebih manis ketimbang tomat yang biasa untuk sambal. Kalau tomat ranti digabung dengan terasi dan juga garam, hasilnya adalah salah satu sambal terbaik di dunia.

Kalau Ayah mendapat rejeki, Mamak pasti masak besar dan agak mewah. Yang dijadikan andalan tentu senjata andalannya: soto Banjar. Beliau memang keturunan Banjar. Resep sotonya diwarisi turun temurun dari nenek buyutnya. Di keluarga besar Mamak, semua anak perempuan diwajibkan untuk bisa memasak soto Banjar.

Setiap lebaran, hidangan utama di keluarga besar Mamak ya soto ini. Setelah sholat Ied, semua anggota keluarga yang jumlahnya puluhan itu pasti berkumpul di ruang tamu. Di meja makan, sudah terhidang puluhan mangkok berisi helaian bihun, potongan lontong dan daging ayam kampung, perkedel yang dipenyet, kentang goreng, bawang goreng, dan daun seledri. Tinggal dituang kuah keruh yang terbuat dari rebusan ayam kampung dan berbelas jenis bumbu. Pelengkapnya ada dua: jeruk nipis dan sambal bajak merah yang pedas menyengat.

Kalau soto Banjar absen, maka penggantinya adalah sop buntut. Saya berani mengadu sop buntut ala Mamak dengan buatan chef terkenal sekalipun. Mamak tak akan kalah. Kuahnya mekrok. Dengan genangan minyak kaldu yang menjamin rasa gurih. Daging buntutnya diempukkan dengan cara paling tradisional dan menutut kesabaran tingkat pertapa: direbus berjam-jam. Tak ada itu namanya diempukkan pakai presto. Hasilnya adalah daging buntut yang pasrah belaka ketika digigit. Saat gigi bertemu dengan permukaan daging maka dhuar! Pecah dan meledakkan saripati daging ke dalam mulut.

Amboi.

***

Beberapa hari lalu saya pergi ke Madura untuk keperluan pekerjaan. Saya sengaja meluangkan waktu untuk mampir ke Malang. Tak lama, memang. Hanya semalam. Tapi yang penting bisa bertemu dengan Mamak. Saya rindu.

“Mamak masakin soto Banjar,” katanya melalui pesan pendek, beberapa jam sebelum saya sampai Malang. Saya tersenyum sekaligus lapar membayangkan kuah soto yang segar itu.

Tapi malam itu saya tak menyantap soto Banjar. Mamak dan Ebes mengajak saya jalan-jalan keliling Malang. Kami sempat mampir ke Oen menjelang pukul 9 malam. Banyak hidangan sudah habis, termasuk lumpianya. Saya hanya memesan es krim cokelat, yang sebenarnya tak begitu istimewa. Tapi ternyata Oen menempati posisi spesial di relung ingatan Mamak. Dulu waktu masih kecil, Mamak dan orang tuanya selalu mampir ke sana kala pergi ke Malang. Tentu kebiasaan itu pudar dengan sendirinya saat Mamak beranjak remaja.

“Jadi terakhir ke sini ya paling lima puluh tahun lalu,” kata Mamak.

Paginya, barulah saya menyantap soto Banjar kecintaan keluarga kami itu. Sama seperti biasa, kuah dijerang. Mamak sudah menyiapkan isian soto dalam mangkuk berukuran besar. Lontong kali ini digantikan nasi. Kemudian potongan (bukan suwiran) ayam kampung. Kentang goreng (saya suka sekali mengudapnya karena rasanya mirip keripik kentang merek C itu). Bawang goreng. Seledri. Perkedel. Lengkap

Harum kuah menyebar ke penjuru ruang makan, dan menyeruak ke dalam hidung waktu tutup panic dibuka. Bikin perut mendadak keroncongan. Setelah kuah diguyur ke mangkuk, saya segera meneteskan perasan jeruk nipis dan memberinya sesendok sambal bajak. Saya aduk hingga semua tercampur. Suapan pertama. Saya tersenyum lebar. Masih tetap rasa yang sama, tak berubah sama sekali.

Selagi kami makan bersama, saya memandangi wajah Mamak. Mukanya bersinar. Pipinya kembali berisi. Begitu pula seluruh badannya. Tak ada lagi tulang yang hanya dibalut kulit. Semangat hidupnya kembali. Saya begitu bahagia hanya dengan memandang Mamak dan mengetahui kalau dia bahagia.

Dan soto Banjar ini membuat kebahagiaan saya menjadi berlipat-lipat. []

2 thoughts on “Mamak dan Semangkuk Soto Banjar

    1. Enggak. Mak Ri masih tetap di rumah Jember. Sekalian nemenin dua orang adikku. Mamak sendiri setiap sebulan sekali pulang ke Jember. Hehehe.

Leave a Reply

Your email address will not be published.