Akhir Juli 2016, Leonard Cohen menerima email dari Jan Christian Mollestad, kawan baik Marianne Ihlen. Mollestad mengabarkan bahwa Marianne sedang sekarat karena leukimia. Surel itu membuat ingatan Cohen bergerak mundur menuju 1960. Saat itu Cohen tinggal di Hydra, Yunani. Dia menyewa satu ruangan apartemen seharga 14 dolar per bulan. Di ruangannya hanya ada beberapa batang lampu parafin dan perabotan bekas: sebuah ranjang besi buatan Rusia, meja untuk menulis, dan kursi yang dia sebut mirip dengan kursi yang digambar Van Gogh.
David Remnick, yang pernah menulis artikel panjang tentang Cohen untuk The New Yorker, mengatakan bahwa hidup Cohen saat itu –masih berusia 26 tahun– berpindah-pindah dalam kutub yang ekstrim. Antara sangat disiplin, atau sangat cuek terhadap perkembangan karyanya. Kala itu, pria kelahiran 1934 ini menulis novel The Favorite Game dan kumpulan puisi berjudul Flowers for Hitler.
Pada saat itulah, Cohen beberapa kali bersirobok dengan Marianne, perempuan Norwegia dengan rambut pirang Skandinavia yang indah. Mengingatkannya pada Freyja, dewi Nordik yang merupakan simbol cinta, seks, dan kecantikan. Tak perlu waktu lama bagi Cohen untuk mengabadikan Marianne. Lagu-lagu “So Long, Marianne”, “Hey, That’s No Way to Say Goodbye”, dan “Bird on the Wire”, lahir berkat gadis cantik itu.
Cohen menggambarkan Marianne dengan sangat puitik di lagu “So Long, Marianne”. Dengan suara bariton yang berat itu, dia menyanyikan, “She held on to me like I was a crucifix as we went kneeling through the dark.”
Tentu kisah mereka tak sempurna. Marianne akhirnya kembali ke Norwegia dan menikah dengan Jan Stang, pekerja perusahaan minyak, pada 1979 dan menetap di Oslo. Sedangkan Cohen melanjutkan hidup untuk kemudian menjadi legenda. Tapi surat yang diterima Cohen pada akhir Juli itu benar-benar membuatnya kelabu. Dia memutuskan untuk menulis surat perpisahan yang indah sekaligus sendu. Juga sebagai penggugah kesadaran bahwa dia akan segera menyusul Marianne.
Marianne, saat itu akhirnya tiba: saat kita sudah benar-benar tua dan tubuh makin ringkih dan aku merasa aku akan segera menyusulmu. Kau harus tahu, aku sangat dekat di belakangmu, sehingga andai kau merentangkan tanganmu, kamu akan bisa merengkuh tanganku.
Tapi Cohen enggan pergi begitu saja. Dia masih menggarap album baru, sekaligus yang terakhir. Pada 21 Oktober, album berjudul You Want It Darker dirilis. Ini album keempatbelas Cohen. Album ini masih menampilkan Cohen yang gelap. Gumaman baritonnya makin berat, seiring umur yang makin bertambah. Menghadirkan suasana kelam yang bikin hati tercekat. Kehadiran organ, piano, violin yang menyayat, dan penyanyi latar gereja yang diatur anak lelaki Cohen, Adam, berhasil membuat album ini terasa sendu dan menguarkan hawa kudus.
Album ini dirayakan dengan gegap gempita. Banyak kritikus musik menganggap ini adalah salah satu pencapaian terbaik Cohen. Neil McCormick, kritikus musik untuk Telegraph, memuji Cohen dengan menyebut, “[…] apa yang membuatnya istimewa adalah dia bukan hanya tetap membuat album, melainkan konsisten membuat album yang kaya, dalam, dan kuat seperti yang sudah-sudah.” Dia tanpa ragu memberi 5 bintang untuk album ini. Sedangkan majalah Rolling Stone menganggap album ini adalah album tergelap Cohen, yang terpekat dari yang pekat.
Apa boleh bikin, Cohen nyars tak pernah gagal menghadirkan pekat. Maklum, julukan pria ini adalah troubadour of sadness. Belakangan panggilannya makin kelam: The Godfather of Gloom. Namun di album ini Cohen turut menampilkan sisi relijiusitasnya. Hubungan cinta dan bencinya dengan, katakanlah, Yesus. Album ini juga menyuratkan ramalan Cohen sendiri soal kematian yang akan menjemputnya dalam waktu dekat.
Dari lagu “You Want it Darker” (Hineni Hineni, I’m ready, my Lord), “Treaty” (yang menggambarkan keinginannya untuk berdamai dengan Tuhan, liriknya: I’m angry and I’m tired all the time. I wish there was a treaty between your love and mine), dan “Traveling Light” yang menyiratkan pesan kematian yang menggidikkan: I’m traveling light, It’s au revoir. Ia sedang bicara tentang sebuah perjalanan yang ringan, mungkin seperti kapas yang melayang, menuju keabadian.
Tiga minggu setelah album You Want It Darker dirilis, Cohen pun pergi. Melayang menuju keabadian. Namun tanggal kematian Cohen masih simpang siur. Media seperti The Washington Post melansir tanggal kematian Cohen adalah 7 November, yang kemudian dirujuk Wikipedia. Artinya ada jeda 3 hari sebelum lelayu ini diumumkan media. Sementara media lain, seperti Rolling Stone, Telegraph, hingga CNN menuliskan Cohen meninggal 10 November waktu Los Angeles. Belum ada keterangan resmi penyebab meninggalnya Cohen. Juga belum ada kepastian kapan Cohen akan dikebumikan.
Kematian Cohen membuat 2016 memang menjadi tahun yang suram. Yang sialan dan bikin misuh adalah: David Bowie, Glenn Frey, Prince, dan sekarang Cohen meninggal dunia pada tahun yang sama. Ya, 2016 ini. Tahun yang justru melambungkan Si Badut Donald Trump.
Beberapa musisi legendaris juga sudah berusia lanjut, dan kita harus bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Paul McCartney dan Ringo Starr, dua orang yang tersisa dari The Beatles sudah berusia 74 dan 76 tahun. Duo dinamis Keith Richards dan Mick Jagger dari Rolling Stones tahun ini berumur 72 dan 73 tahun. Sedangkan Robby Krieger dan John Densmore dari The Doors sudah menginjak umur 70 dan 71 tahun. Gary Brooker dari Procol Harum kini berusia 71 tahun.
Dunia musik sedang menghitung kehilangan baru menyusul kematian Cohen, juga bersiap pada kehilangan-kehilangan yang menjelang.
Dunia semakin gelap, seperti yang diinginkan sejumlah orang. Lagu dan pergerakan-pergerakan kecil seakan tak cukup lagi menghentikan semua kegelapan yang semakin menyebar. Cohen tahu itu, dan dia memilih untuk pergi. Mungkin sembari tertawa. Mungkin sembari mengutuk dan menyerapah. Mungkin juga dengan masygul.
Bayangkanlah Cohen menyenandungkan larik Hineni Hineni, I’m ready, my Lord dalam lagu “You Want It Darker”. Dalam Ibrani, “hineni” berarti “here I am”. Larik yang mengungkapkan kesiapan diri, kesediaan Cohen, untuk dijemput kapan saja.
Di sini, aku pun pasrah, Tuhanku!
Ah, Bung, kau sih mungkin siap. Kami-kami ini yang belum tentu. Au revoir!