Dave Buznik adalah seorang pekerja kelas menengah yang sebenarnya tidak begitu pemarah. Ia bisa menghadapi dan mengatasi kemarahan, sama seperti orang biasa. Tapi sebenarnya, zona tempat dia hidup sangat rentan untuk menghasilkan kemarahan. Bosnya licik, pacarnya ditaksir banyak orang, dan lain-lain.
Akhirnya pada suatu kejadian di pesawat, ia lepas kontrol. Ia marah sejadi-jadinya. Dan karena itu, ia diperintahkan oleh hakim untuk mengikuti terapi kemarahan, atau lazim disebut anger management. Akhirnya Dave diserahkan ke ahli kejiwaan bernama Dr. Buddy Rydell. Tapi ternyata sang dokter bukanlah dokter biasa. Ia malah cenderung tidak dapat ditebak dan lebih psycho ketimbang Dave. Ia bahkan sering melampiaskan kemarahan dengan cara yang tak biasa.
Lalu bagaimana kisah Dave? Silahkan tonton sendiri di film yang berjudul Anger Management. Film komedi ini dibintangi oleh Adam Sandler dan Jack Nicholson. Filmnya sendiri lumayan menghibur.
Apa yang coba saya ungkapkan disini adalah: bagaimana cara saya, kamu, kalian, kita, dalam melampiaskan kemarahan?
Saya sebenarnya orang yang jarang marah. Lingkungan tempat saya hidup penuh dengan orang humoris yang nyaris tak pernah mengumbar kemarahan. Mulai teman SMA, teman kuliah, teman organisasi, hingga teman main, nyaris semua tumbuh dengan kultur sering bercanda. Malah bagi banyak orang di luar lingkup kami, cara bercanda kami sedikit keterlaluan. Meskipun begitu, jarang dari kami yang bermarahan gara-gara guyonan. Mungkin itu sebabnya saya jarang marah.
Tapi pasti ada satu atau beberapa momen dimana saya merasakan marah. Saat itu jelas saya butuh pelampiasan. Saya tak pernah punya kiat khusus atau agenda khusus dalam melepas kemarahan. Kadang saya dengar musik, kadang saya lihat film komedi, kadang saya nongkrong, kadang saya tidur. Tidak tentu dan random.
Tapi kalau kemarahan saya sudah mencapai ubun-ubun, sudah mencapai puncak, saya lakukan hal yang menurut saya adalah puncak dari segala rantai kemarahan: diam.
Diam, bagi saya adalah puncak dari kemarahan. Mamak saya seringkali ngomel ketika marah pada saya. Segala macam hal ia omelin. Itu sudah saya anggap biasa. Tapi kalau beliau diam, saya kelimpungan. Berarti ia marah besar. Saya ngomong, ia mengacuhkan. That’s how I know that I’m fucked up.
Dr. Laurence J. Peter, seorang guru yang juga penulis, pernah mengatakan hal yang sama, “Ketika kau berbicara saat marah, kamu akan mengeluarkan kata-kata yang kelak akan kau sesali”. Dia benar. Bisa jadi karena itu saya lebih memilih diam ketika marah besar.
Siddharta Gautama juga pernah menjabarkan analogi yang keren. Ia menggambarkan bahwa kemarahan itu seperti memegang aspal panas dengan maksud melemparkan aspal panas itu ke orang lain. Tapi alih-alih bisa melemparkan, tangan kita dulu yang akan terbakar. Okay, I get the point master.
Tapi saya bukan Buddha yang sukses melepas segala kesenangan duniawi dan bisa menuju nirwana. Saya dan banyak orang lain adalah manusia biasa yang seringkali berurusan dengan marah. Marah karena jalan macet; marah karena anggota DPR kayak jancuk; marah karena berita di TV isinya mencret semua; marah karena musik di Indonesia belakangan kayak ghornea; marah karena ada tawuran antar suporter bola; marah karena ada orang-orang megalomaniak; marah karena cemburu; dan banyak hal yang membuat kita sadar bahwa marah adalah hal yang membuat kita hidup. Setidaknya di Indonesia.
Tapi ketimbang marah lalu melakukan tindakan destruktif, percayalah, diam itu lebih ampuh. Orang yang biasa bergaul dengan kita, ketika melihat kita diam, pasti mereka tahu kalau ada yang tidak beres. Tapi itu hanya dalam kasus tertentu.
suka paragraph terakhir…
Saya sih sukanya mampir ke rumah anggota DPR yang kalau mau ke warung aja musti naik mobil. Saya mampir depan rumahnya dan bareng temen-temen parkiran, saya lemparin kacanya… 😀 (terus kabur) 😛 haduh…