Banyak orang bilang, makanan ibu adalah makanan yang paling sempurna. Apa betul?
Menurut saya justru tidak. Makanan seorang ibu bukan makanan yang paling sempurna.
Sekitar 15 tahun lalu, Mamak sedang rajin ikut kelas pastry. Beliau merasa kurang ahli membuat kue dan kudapan. Karena waktu yang luang –saat itu empat orang anaknya sudah bersekolah– maka Mamak memutuskan untuk ikut kelas memasak.
Salah satu kelas yang ia ikuti adalah kelas memasak mie pangsit. Segala teknik dan langkah sudah diajarkan. Semua bahan sudah dibeli. Tinggallah dua orang anak lelakinya yang diperbudak untuk menguleni adonan pangsit. Sementara itu, mereka, dua anak lelaki yang baru duduk di bangku SMP itu, sudah tak sabar ingin bermain bola.
Akhirnya pekerjaan rodi itu sudah selesai. Pangsit direbus. Matang dengan sempurna. Tapi tunggu. Mie yang dimasak ternyata tidak memisah dengan sempurna. Lengket satu sama lain. Usut punya usut, Mamak lupa memasukkan satu bahan, atau salah cara memasak. Hasilnya: mie yang mirip rambut rasta. Menempel satu sama lain
Selepas bermain bola, dua anak lelakinya, ya saya dan Kiki, berharap menemukan satu mangkok mie pangsit enak buatan rumah. Nyatanya, kami manyun karena mendapati semangkok mie dengan bentuk yang sama sekali tidak elok.
Tapi toh kami makan juga. Habis. Dan kami tidak protes. Mamak? Cuma menggerutu sembari nyengir.
Tidak hanya itu saja. Lain waktu, mamak membuat perkedel teri yang terlalu asin. Atau perkedel jagung yang terlalu lembek dan tiada cacahan daun jeruk. Pernah juga memasak nasi goreng yang lembek –nasinya masih panas dan Mamak ceroboh memasukkannya terlalu cepat. Padahal, bagi seorang juru masak berpengalaman seperti Mamak –ia sudah bisa memasak sejak SD– kesalahan seperti ini bukanlah kesalahan yang bisa ditolerir.
Bandingkan dengan restoran, apalagi yang mendapat tiga bintang Michelin. Semua serba sempurna. Tak ada langkah yang boleh salah. Tak ada bahan yang boleh terlupa. Juga tak ada ruang buat keteledoran. Api terlalu besar, daging yang terlalu matang, potongan yang tidak simestris: haram!
Begitu pula penataan makanan dalam piring putih bersih itu. Semua harus ditata ibarat lukisan realis. Indah, penuh warna, dan presisi. Kalau chef mendapati sang sous salah, piring atau pisau bisa dilempar. Tak boleh ada kesalahan! Konsumen adalah raja, mereka tak boleh kecewa!
Maka restoran Michelin, atau banyak restoran mewah lain, adalah representasi dari kesempurnaan. Bukan masakan ibu.
Tapi apa benar kesempurnaan robotik itu yang kita cari? Entahlah.
Menurut saya, masakan ibu justru sempurna karena ketidaksempurnaannya. Masakan ibu adalah sebuah contoh bagaimana seorang manusia seharusnya. Ada ruang untuk kesalahan. Ada sedikit keteledoran, atau kecerobohan. Entah kelebihan garam, atau malah kurang pedas. Tak peduli selihai apapun seorang ibu.
Saya berani bertaruh, bahkan koki sekaligus ibu jago masak macam Sisca Soewitomo pun pernah membikin satu dua kesalahan dalam dapur. Manusiawi.
Masakan Ibu juga merupakan contoh baik bagi demokrasi. Entah bagaimana di dapur orang lain. Tapi di dapur kami, Ayah, anak-anak, dan Mamak bebas berdialog. Melempar kritik atau memberi masukan. Seperti saat kasus mie yang tidak jadi dengan sempurna itu. Atau saat kami mengeluh perkedel teri terlalu asin.
Mamak menerima itu semua, walau kadang dengan kesal. Mamak sadar: tiada penguasa tunggal perihal lidah.
Akan sangat berbeda kasus dengan restoran. Apalagi restoran terkenal, seperti Restaurant Gordon Ramsay misalkan. Kalau anda mengkritik, bisa jadi sang Gordon yang galak itu akan keluar dan menghardik. “Tahu apa kamu soal makanan?!” Bahkan mereka tak segan untuk berkonfrontasi dengan para kritikus profesional.
Penyebabnya jelas: di dapur, chef adalah orang yang berkuasa. Penguasa tunggal. Para sous chef dan staf adalah bawahan. Para pengkritik dianggap sebagai oposan berisik sok tahu yang patut dibungkam.
Tak usahlah di restoran. Bahkan di warung Tegal, kamu akan dipandang aneh kalau mengkritik juru masaknya. Saya bayangkan seorang kritikus ngomel di depan juru masak warteg.
“Mbok, ini sayurnya terlalu lembek. Anda terlampau lama memasak ini. Padahal sayur seperti kangkung cukup di-sautee sebentar saja dalam minyak panas. Kalau terlalu lama, teksturnya akan rusak, dan vitamin pun menguap. Anda bodoh!”
“Ini juga, dagingnya terlalu lama dimasak. Jadinya malah keras. Anda tahu tidak sih kalau daging sapi itu paling baik dalam bentuk medium rare? Ayolah, jangan buat malu warteg anda. Your warteg is a disgrace to humanity!”
“Ini tempenya terlalu tipis. Sehingga menghilangkan juice kedelai yang gurih dan sedap itu. Potongannya juga tidak Julieene. Anda ini kok bodoh sekali sih? Masakan sampah!”
Simboknya pasti bakal masuk ke dapur sebentar, lalu keluar sambil ngacungin pisau.
“Lambemu lamis mas! Kene cocotmu tak iris terus tak sautee!”
Dan ingat, masakan Ibu adalah contoh paling baik tentang cinta yang sama sekali tak kenal pamrih. Meski ibu tak pernah dibayar, masakannya kerap dikritik kalau rasa tidak cocok, ia tetap masak. Terus dan terus. Terdengar klise memang, tapi semua itu bisa dilakukan karena cinta.
Dan tepat di sana, di tengah ketidaksempurnaannya, masakan Ibu adalah masakan yang paling sempurna. Di sana pula, para anak-anak akan selalu merindukan masakan ibu, masakan yang selalu dimasak dengan cinta. []
Aku dadi kelingan Ibuku pendak jajal resep-resep ning tabloid wanita: mesti ono wae bahan sing ra dilebokke sesuai petunjuk resep :))
Hahaha. Awake dewe pasti yo ngono. Misal, kurang bahan kecap Inggris. Awake dewe mikir, “Ah kecap Inggris iki larang, dan ra begitu penting. Mending ra usah wae.” :))))
NEk ng 316 C ga ono panganan sing ga dikritik, tapi tetep dimamah ae karo cangkeme arek-arek. HAHAHA
Hahaha. Jenenge arek-arek nggragas hooo. Wong sego mambu ciu ae diemplok kok :)))
Maaf, penasaran. Sega mambu ciu ki dimasak apa? Enak?
Hahaha. Entahlah mbak. Itu sepertinya temen saya lagi mabuk, terus nasi putih dianggap berbau ciu. Padahal ya nasi biasa :)))