Ke Jakarta Aku Kan…

Panjul tidak bisa diam sore itu. Sebentar duduk sembari memegang ponsel. Tak lama kemudian rebahan. Lalu ke kamar mandi. Kemudian ke luar. Menyalakan rokok. Mengajak ngobrol satu dua jenak. Lalu diam lagi. Kembali menekuri ponsel.

Masalahnya memang tak sepele. Lelaki yang akrab dipanggil Bang Edo ini akan meninggalkan kota yang ditinggalinya selama 9 tahun terakhir: Yogyakarta. Aku, Panjul, dan kalian yang pernah tinggal di Yogyakarta, pasti tahu betapa susahnya memutuskan ikatan dengan kota ini.

Pada 2006, Panjul datang ke Yogya dengan hati yang remuk. Baru saja putus cinta. Maka saat ujian masuk, ia memilih tiga kota berbeda, dengan jurusan yang berbeda pula. Asal jauh dari Jakarta, kampung halamannya. Pilihan pertama adalah Jurusan Agrobisnis di Universitas Brawijaya, Malang.

“Terus pilihan kedua di Universitas Udayana, Bali. Ngambil jurusan Pariwisata,” katanya sembari menyetir motor.

Pilihan ketiga barulah ia mengambil jurusan Filsafat Pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta. Itu jurusan baru di kampus yang dulu bernama IKIP Yogyakarta. Kita sama-sama tahu ke mana nasib membawa Panjul. Bersama monster bibir Cahyo dan Yoga, mereka jadi angkatan pertama di jurusan itu. Trio ini kondang ke mana-mana. Tak ada anak UNY yang tak kenal tiga bandit ini.

Setelah 7 tahun kuliah, akhirnya mereka lulus. Itu pun sudah nyaris DO karena Panjul tak tahu tata cara mengurus kelulusan. Tapi mereka bertiga akhirnya selamat dari lubang jarum. Malah berhasil wisuda bareng. Masuk bareng, minggat pun barengan. Heroik tenan.

Bagi Panjul, Yogya tidak sekedar tempat menuntut ilmu. Kota itu merupakan bagian dari hidupnya. Di setiap lekuk kota, di semua sudut benteng, hingga di tiap kilometer aspal, ada kenangannya. Di kota ini pula, Panjul merajah banyak cerita.

Salah satunya adalah legenda Yogya-Solo. Semua tentu tahu tentang legenda putus cinta Panjul yang membuatnya pergi ke Solo naik motor, sembari menangis sepanjang jalan. Saya kebetulan apes karena dijadikan partnernya.

Cerita itu membuka salah satu rahasia Panjul yang selama ini berusaha ia tutupi: ia adalah orang yang melankolis. Selama ini Panjul selalu berlagak sebagai orang yang tough. Anarko. Melawan PSSI hingga polisi. Dan sebagainya. Tapi orang-orang terdekatnya tahu, Panjul adalah orang yang halus hati dan perasa.

Salah satu saksi bisunya adalah tembok kamar kosannya. Saya kaget waktu pertama datang. Ini kos baru, dan baru sore ini saya punya kesempatan untuk berkunjung ke sana.

Di dinding dengan cat warna cokelat muda yang sudah mulai pudar sana-sini, terdapat banyak gambar dan kata-kata puitis. Semuanya menyentuh dan punya kesamaan tema. Tentang cinta.

Saya kutip salah satunya.

Where there is great love
there are always miracles.

Luar biasa. Saya tergagap membaca maklumat romantis dan penuh motivasi ini. Baginya keajaiban itu ada, bukan fana. Dan keajaiban ada karena apa? Yak betul, karena cinta. Mengharukan sekali bukan pemikiran Panjul? Saya kira, kalau bakatnya ini diterus-teruskan, ia bisa merumuskan cinta seperti Erich Fromm.

Kenapa Panjul, lelaki bernama asli Eddward Samadyo Kennedy, bisa menjadi romantis dan penuh motivasi ini? Sepertinya ini berkaitan dengan keinginan masa depan Panjul. Sekira satu tahun lalu, ia mulai kerap menanyakan tentang cinta dan juga pernikahan. Ia seperti sudah ingin menikah. Sebelumnya, saya sama sekali tak berpikir Panjul punya keinginan menikah. Ternyata saya salah besar.

“Gue udah telat nikah ini cuk,” katanya pendek.

Karena cinta dan visi masa depan ini, Panjul dengan berat hati meninggalkan Yogya. Kota ini membuatnya terlalu nyaman. Ia merasa tak berkembang. Selain itu, dengan bekerja di Jakarta, ia berharap bisa menabung untuk biaya menikah. Di beberapa kesempatan pula, ia bercerita tentang keinginannya untuk jadi abdi negara. Saya selalu mendukung keinginannya itu.

Maka tadi malam, selepas adzan Isya berkumandang di langit Kaliurang, saya mengantarkan Panjul menuju Stasiun Tugu. Dua tas ia bawa. Tapi ia tampak ragu. Berkali-kali ia mengeluarkan isi tas. Lalu memasukkannya lagi. Kemudian kembali mengeluarkan beberapa barang. Seperti ada yang belum tuntas. Saya mahfum. Ia berat sekali meninggalkan kota ini.

Saat sampai di Stasiun, Panjul berusaha membuang muka. Tak ingin saya melihat mata yang mulai berair. Saya maklum. Cuma berujar pendek, “Jangan nangis Njul!”

“Matamu cuk!”

Saya menatap Panjul berjalan dengan langkah yang malas dan berat. Ransel ia panggul, dan satu tas ia jinjing. Melihat punggungnya yang lebar dari belakang, berjalan semakin menjauh, menuju peron stasiun dan menaiki kereta yang akan membawanya ke bagian barat, saya seperti bisa mendengar Tony Koeswoyo dan saudara- saudaranya bersenandung.

Ke Jakarta aku kan kembali
Walaupun apa yang kan terjadi

Leave a Reply

Your email address will not be published.