Mencari Firdaus Kuliner Betawi

Sekitar dua pekan lalu, saya menyambangi Gramedia. Sudah lama sekali tak ke sana. Seperti biasa, rak pertama yang saya sambangi adalah rak buku kuliner. Dan seperti biasa pula, tak banyak pilihan di sana. Hanya ada buku resep, aneka jenis resep. Saya tak mendapati buku-buku kuliner yang menarik hati.

Saya rindu sekali dengan buku kuliner yang ditulis dengan naratif layaknya buku perjalanan dan ditulis personal laiknya buku harian.

Di belahan dunia lain (sebut saja Barat), ada banyak sekali chef, jurnalis, penulis, hingga akademisi yang menulis buku kuliner. Bahkan buku kuliner rasanya menjadi genre tersendiri. Karyanya beragam bentuk. Mulai dari pelacakan sejarah, catatan personal, hingga memoar.

Anthony Bourdain, misalkan. Chef terkenal ini menulis banyak buku kuliner. Mulai yang paling terkenal, Kitchen Confidential, hingga The Nasty Bits (yang kebetulan saya dapat di sebuah toko buku bekas di Blok M).

Ada pula Marco Pierre White yang menulis memoar tentang prosesnya menjadi chef legendaris –dia satu-satunya orang di dunia ini yang bisa membuat Gordon Ramsay menangis, selain ibunya tentu saja. David Gentilcore secara spesifik menulis tentang sejarah tomat di kuliner Italia. Kemudian duet Jeffrey Alford dan Naomy Duguid yang menelusuri kuliner di Asia Tenggara, Michael Ruhlman yang menulis buku tentang kehidupan di sekolah kuliner bergengsi, Culinary Institue of America; hingga Madhur Jaffrey yang menulis kisah personal masa kanak-kanaknya di India dalam Climbing the Mango Trees. Si Jerry Hopkins, penulis biografi Jim Morrison, pun menulis buku Extreme Cuisine: The Weird & Wonderful Foods that People Eat, sebuah buku tentang kuliner ekstrim di seluruh dunia.

Tapi kerinduan saya sedikit terobati dengan buku Bondan Winarno, 100 Mak Nyus Jakarta. Tanpa pikir panjang, saya ambil buku ini. Bisa dibilang, buku ini adalah oase di tengah gersangnya buku kuliner di Indonesia. Entah kenapa, sedikit sekali buku kuliner non resep di Indonesia. Saya pernah membeli buku kuliner nusantara terbitan Lentera Timur. Cukup menarik, sayang tidak dikemas dengan baik dan tak diedarkan secara luas. Buku kuliner Indonesia terakhir yang saya baca –dan saya suka sekali– adalah Monggo Mampir, yang bertutur tentang tempat makan legendaris di Yogyakarta. Penulisnya adalah Syafaruddin Murbawono.

Buku 100 Mak Nyus Jakarta bisa dibilang adalah sekuel dari buku pertama, 100 Kuliner Mak Nyus. Kalau di buku pertama Bondan menuliskan tentang makanan pilihan di Indonesia, di buku kedua ini lingkupnya diperingkas: Jakarta.

Karena membawa kata “Jakarta”, tentu hidangannya akan sangat beragam. Terlebih, ibu kota negara ini adalah salad bowl berbagai kebudayaan. Nyaris semua makanan Indonesia ada di Jakarta. Tentu hidangan utama buku kuliner ini adalah masakan Betawi, tuan rumah di Jakarta.

Di buku ini, Bondan kembali menampilkan kelasnya sebagai penulis ciamik, tidak sekadar pelahap makanan kelas wahid. Bondan jelas punya pijakan yang kuat dalam menuliskan buku ini. Sebelum terkenal sebagai ahli kuliner, ia lebih dulu sohor sebagai wartawan investigatif.

Bukunya Bre X, Sebungkah Emas di Kaki Pelangi masih menjadi rujukan karya investigatif di Indonesia. Pria kelahiran Surabaya ini juga handal sebagai kolumnis. Kolomnya tersebar di berbagai media. Mulai dari Kompas, Tempo, hingga Suara Pembaruan. Kolomnya tentang perjalanan dan makan-makan di Kompas Cyber Media dan Suara Pembaruan Minggu kemudian dijadikan buku berjudul Jalansutra. Tulisan Bondan selalu menyenangkan untuk dibaca. Cair, lugas, dan tak lupa menyisipkan humor segar di sana-sini.

Di buku ini, Bondan sama sekali tak kehilangan cirinya. Ia menjadi pemburu makanan yang tekun, rela mencari hingga gang sempit. Bahkan ia rela mencari sayur babanci, makanan khas Betawi yang ia sebut dengan nada sedih, “…punah dari lembaga kuliner komersial –bahkan di tanah kelahirannya sendiri.”

Bondan juga berhasil menjadi sejarawan kuliner partikelir dengan melacak asal usul berbagai makanan Betawi. Dari prosesi nyorog, hingga dugaan asal nama sayur babanci.

Sebagai penulis kuliner, Bondan sangat kuat dalam menuturkan deskripsi. Ranah
food writing memang sangat mengandalkan deskripsi. Simak kalimat mak nyus Bondan yang menggambarkan tentang sayur telur terubuk dalam makanan sayur besan:

Anda tidak akan pernah dapat melupakan sensai telur terubuk itu sirna pelan-pelan di mulut anda dalam kuah santan beraroma petai yang begitu indah.

Sebagai hidangan pendamping, buku ini juga menghadirkan aneka makanan
Nusantara yang ada di Jakarta. Dari makanan Aceh, Sumatera Utara, Jambi,
Bangka Belitung, hingga yang sedikit langka di Jakarta: kuliner Maluku dan Papua. Tambahan menariknya adalah Bondan juga menyertakan resep masakan yang ia tulis. Beberapa resep konon ia dapat dari tempat makan yang ia sambangi.

Setelah rampung membaca buku ini, muncul perasaan gregetan. Sejauh ini, Bondan adalah satu-satunya penulis buku kuliner yang mumpuni di Indonesia. Sayang sekali belum ada sekondannya yang meluncurkan buku. Padahal ada banyak juru masak handal di Indonesia. Dari generasi Sisca Soewitomo hingga Marinka. Mulai William Wongso, hingga Rahung Nasution. Cerita mereka di dunia kuliner tentu akan sangat menarik kalau ditulis. Tapi kenapa hingga sekarang belum ada karya tulis mereka? Entahlah.

Buku ini sangat layak untuk dikoleksi karena isinya yang informatif dan juga segar. Kalau ada nilai minusnya, itu adalah –tanpa mengurangi rasa hormat — hadirnya dua penulis tamu, Lidia Tanod dan Harry Nazarudin.

Secara pengetahuan kuliner, mungkin mereka setara dengan Bondan. Namun perbandingannya terasa timpang jika bicara teknik penulisan. Karena ditulis oleh tiga orang penulis berbeda, ritme penulisannya terasa tidak stabil.

Tapi di tengah sedikitnya rujukan tentang kuliner Indonesia, apalagi kuliner Betawi,
buku ini layak diambil dari rak di toko buku terdekat anda. []

6 thoughts on “Mencari Firdaus Kuliner Betawi

  1. Aku ahak binung dengan konsep ‘Buku Kuliner’. Apakah buku yang memuat tentang cerita mendalam seputar urusan perut atau buku kumpulan resep masakan? kalo yang terakhir mah di Gramedia bejibun, Ran. Dari yang kompeten seperti Nyonya Rumah dan Bu Sisca sampai nama-nama geje yang bikin buku dari hasil Googling resep.

    1. Ya itu Jak. Yang banyak di Indonesia ini kan buku resep. Kalau itu mah ada ratusan kali. Yang susah kan nyari yang kumpulan tulisan macam punya Pak Bondan di Jalasutra. Buku kuliner sih bisa berbentuk beragam jenis, mulai dari feature-feature pendek kayak di LA Times, penulisan sejarah (misal sejarah kuliner Jawa Timuran), sampai tulisan kuliner yang akademis tapi tetap bertutur. Terakhir buku kuliner bagus yang aku baca itu Monggo Mampir, yang ditulis Syafaruddin Murbawono.

  2. Ngapunten, Mas Nuran, yang ini “… perbandingannya terasa timbang jika bicara teknik penulisan.”
    “Timbang” ini maksudnya “timpang” ya? Hehehe. 😀

  3. Apa bedanya buku dng judul 100 mak nyus bondan winarno dgn 100 mak nyus Jakarta…apakh isinya bnyak persasamaan atau bnyak perbedaannya? Mohon penjelasan nya cak…

    1. Kalau 100 Mak Nyus itu makanan pilihan Indonesia. Kalau 100 Mak Nyus Jakarta itu makanan-makanan Betawi plus makanan yang ada di Jakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published.