21 Mei 2015. Saat itu saya sedang ngobrol pendek dengan Mas Rizal Shidiq, jujugan saya kalau bertanya soal jazz. Di sela percakapan soal musik, dia melontarkan satu nama: Joey Alexander.
Saat itu nama Joey sedang melambung karena dianggap sebagai anak ajaib dalam dunia jazz. Saya coba lihat videonya. Anak kecil ajaib yang bermain jazz dengan sangat lancar dan mulus. Saya yang tak paham jazz lantas bertanya pada mas Rizal: apa istimewanya Joey? Soalnya saya menganggap anak ajaib dalam dunia musik bukan hal yang luar biasa.
“He’s deep. Unlike other prodigy, he doesn’t seem to grow out of rigorous trainings and he’s having fun with what he’s doing — playful. Kalo pake istilah elo: nggak boring,” katanya dalam chat.
Saya mengangguk. Berlagak paham, tentu saja. Kemudian berusaha kembali menekuri belasan video Joey. Mencari tahu di mana istimewanya bocah kelahiran Bali ini. Dari pengamatan singkat itu, saya menemukan satu kesamaan: wajah Joey yang tenang dan tampak bahagia saat bermain musik (kawan saya, Mumun, menyebutnya sebagai “old soul”). Mungkin tampang tak bisa dijadikan tolok ukur soal kebahagiaan dalam bermusik. Tapi saya lebih senang melihat Joey bermain ketimbang menonton, misalkan, Sungha Jung yang tampak “dingin” dan robotik saat bermain gitar.
Dulu saya sempat “kasihan” dengan anak-anak kecil yang dilabeli bocah jenius dan segala macamnya. Saya membayangkan tempaan keras, entah dari guru atau dari orang tua. Mereka harus bermain musik dengan sempurna, di saat anak-anak seumuran mereka sedang asyik bermain. Tapi melihat Joey bermain, rasa kasihan itu seperti hilang.
Saat kami bercakap, saya dan Mas Rizal tentu tak akan menduga kalau Joey akan mendapat dua nominasi Grammy pada 2016. Bahkan tampil dua kali di acara penganugerahan Grammy. Joey memang tak menang di dua nominasi itu. Tapi penampilan Joey tetap mendapat tepuk tangan meriah. Bahkan standing ovation dari para pesohor.
Di Twitter, riuh rendahnya juga tak kalah heboh. Kebanyakan memuji tentang Joey. Betapa ajaibnya dia. Juga betapa hebatnya dia karena berhasil menjadi orang Indonesia pertama yang dapat nominasi dan tampil di Grammy.
Tapi segala riuh rendah itu membuat saya penasaran: kenapa tidak ada, atau mungkin belum ada atau saya belum nemu, situs berita Indonesia atau situs musik Indonesia yang membahas tentang musik Joey? Minimal review album perdananya, My Favorite Things, yang begitu dirayakan oleh dunia itu.
Saya coba ketik: review album Joey Alexander. Hasilnya: situs Allmusic ada di peringkat pertama, diikuti oleh tulisan di situs nytimes, kemudian di jazztimes. Nihil dari Indonesia. Kemudian pencarian saya sempitkan agar memaksimalkan hasil dari Indonesia: review album perdana Joey Alexander. Tiga peringkat pertama adalah Rolling Stone Indonesia. Tapi tak ada review albumnya. Majalah itu juga sekaligus memuat laporan panjang tentang Joey di edisi terbaru. Sayang saya belum sempat membelinya. Situs wartajazz, yang juga jadi jujugan saya kalau mau baca-baca soal jazz, hanya memuat empat paragraf tentang My Favorite Thing. Zonder review.
Hal ini membuat saya jadi penasaran sekaligus punya pertanyaan: kenapa tak ada review album Joey?
Bagi saya, album adalah pencapaian seorang musisi. Kalau mau menilai karya musisi, ya harus dengar albumnya. Kalau tak ada review album Joey di Indonesia, bahkan yang pendek sekalipun, apa ini artinya musikalitas Joey kurang dihargai di Indonesia? Bisa jadi sih.
Sebagian besar media maupun orang-orang Indonesia di Twitter sepertinya lebih tertarik dengan tempelan yang menyertai Joey. Semisal “anak ajaib dari Indonesia”, “bocah ajaib dalam dunia jazz”, “orang Indonesia pertama yang…”, bahkan hingga kekonyolan yang membandingkan Joey dengan Agnez Mo.
Saya jadi iseng mengambil kesimpulan: sebagian besar media Indonesia dan gegap gempita di Twitter itu merayakan Joey hanya karena faktor nasionalisme. Tentang orang Indonesia yang pertama kalinya hadir di Grammy. Tentang anak Indonesia yang pertama kali dapat nominasi Grammy. Dan lain sebagainya.
Tadi masalah ini sempat saya singgung di Twitter. Yang menyahut ada beberapa. Salah satunya Ardi Wilda, alias Awe. Dia menyayangkan kenapa tak ada narasi yang menceritakan “…kerja kerasnya dia seperti apa. Yang timbul justru narasi soal bakat yang kesannya taken for granted.”
Soal itu mungkin saya bisa menemukan di majalah Rolling Stone Indonesia. Tapi saya tebak majalah ini pasti akan kesusahan menulis liputan mendalam, karena faktor geografis tentu saja. Joey dan keluarganya sekarang tinggal di New York. Karena itu beberapa kisah apik tentang Joey lebih banyak ada di situs seperti New York Times.
Terlepas dari segala keriuhan di jagat maya ini, keberadaan Joey memang pantas dirayakan. Entah kamu suka jazz atau tidak. Tentu kita harus senang melihat anak semuda itu bisa memainkan musik dengan bahagia. Hal ini jelas menggembirakan di tengah banyaknya orang tua yang mendidik anaknya dengan ajaran kebencian pada kaum yang berbeda.
Pertanyaan selanjutnya mungkin: mau apa lagi, Joey? Saya sih berharap dia tidak terbebani dengan segala macam sebutan jenius atau bocah ajaib. Semoga dia juga akan semakin banyak menelurkan karya-karyanya sendiri. Tak melulu menggubah lagu maestro-maestro jazz.
Tentu selain itu saya juga ingin sekali membaca tulisan panjang dan mendalam soal Joey dalam Bahasa Indonesia. Juga review albumnya. Sekadar meyakinkan saya, atau banyak orang lain, bahwa Joey dipuji di dalam negeri karena musikalitasnya, bukan karena sebutan bocah ajaib atau embel-embel nasionalisme. Kalau saya sih punya dua alasan kenapa tidak mereview album Joey. Pertama, saya belum beli albumnya. Kedua, andaikan sudah beli pun, saya tak akan bisa menulisnya karena memang tidak paham jazz. Hehe.
Atau mungkin saya harus memaksa Mas Rizal untuk menulis soal Joey ya? Bayangkan, dia sudah bisa menggambarkan keunggulan Joey, dengan kalimat yang ringkas. Mungkin memang harus Mas Rizal yang menulis soal Joey. []
Aakk!! Aku disebut di sini. Suka tulisan ini. Meskipun tidak menulis tentang albumnya juga, tapi postingan ini bercerita lebih dalam tentang Joey, sebatas apa yang Mas Nuran tahu dan rasakan. Makasih ya!!! Kapan kita ngopi?
Eh gue pertamax ya?
Iya Mun. Aku gak nulis soal albumnya, dengan dua alasan. Pertama, karena belum beli albumnya. Kedua, meskipun punya sekalipun, aku bakal kesusahan ngereview, karena aku gak paham jazz. Hahaha. Ayo lah kapan aja ngopi, aku mah selo. Situ yang sibuuuuk :p
Saya pikir bangsa kita adalah bangsa yang ‘latah’ mas. Dan sayangnya seringkali apa yang bangsa kita latahkan adalah hasil dari sudut pandang yang sempit. Terlepas Joey berasal dari Indonesia atau tidak, saya tetap akan mengagumi anak itu karena kemampuan dan musikalitasnya. Salam.
He’s the citizen of the world. Jadi gak masalah sih portal/media mana yg kasih reviews. Emang klo disini, dari beberapa wawancara di tv lebih banyak ngomongin betapa ajaibnya Joey. Tidak lebih tidak kurang. Gak ada yg explore musiknya. Mungkin emang knowledge yg kurang atau antusiasme yg minim terhadap musiknya. Tapi paling tidak ulasan di NYT udah representatif banget sebagai argument betapa dia benar-benar prodigy. Kita bersyukur dia ada, terutama bukan hanya karena dia orang Indonesia yg outstanding tapi terutama dia membawa musik yg kita suka..
Akhirnya ada yang menulis opini soal joey 😅
Saya juga sempat heran, apa istimewanya joey? Lagi pula waktu kecil saya sudah sering lihat atau dengar anak-anak yang mahir main musik.
Jujur aja, permainan joey memang terdengar ‘sesuatu’, meskipun saya termasuk orang yang tidak mengerti Jazz. (enggak tahu gimana cara reviewnya dengan pengetahuan musik jazz:P)
Saya tidak tahu apakah Joey memang seistimewa itu, yang jelas dia orang yang membuat saya menyukai Jazz. Bahwa Jazz bukan musik asal-asalan, tapi ‘sesuatu’ (susah jelasinnya)