“Wah, pasti kangen nih ya?”
Mus Mujiono tersenyum lebar malam itu. Dengan kaos lengan panjang bergambar macan tutul di bagian tengah, ia dengan mantap menyandang gitar Les Paul warna hitam. Pria yang akrab dipanggil Nono ini tampak gembira melihat penonton aktif bernyanyi dan bertepuk tangan di setiap lagu yang ia mainkan. Mus, yang dijuluki George Benson-nya Indonesia, pun tak ingin mengecewakan penonton. Ia tampil maksimal demi penggemarnya. Kebanyakan penontonnya malam itu berusia 30-40an. Mereka yang melewati masa remaja dengan lagu-lagu Mus.
Malam itu Mus menunjukkan bahwa ia masih prima. Tetap mahir melakukan scat singing, mengikuti liukan melodi gitar. Jarinya pun masih lincah menari di atas fret gitar. Musisi kelahiran Surabaya ini memainkan beberapa lagu terkenalnya, seperti dua lagu ciptaan Oddie Agam, “Arti Kehidupan” dan “Tanda-Tanda” yang dinyanyikan Mus pada 1988.
Nostalgia menjadi benang merah yang benderang pada pagelaran Java Jazz tahun ini. Selain Mus, penyanyi lain yang merasakan manisnya nostalgia adalah Dian Pramana Poetra.
Penyanyi kelahiran Medan ini tampil segar malam itu. Rambutnya disisir rapi ke belakang. Klimis. Ia mengenakan jas berwarna cokelat, membungkus kemeja berwarna putih yang masih tampak pas di badannya, yang sama sekali tak tampak melebar sejak masa kejayaannya di era 80-an. Dian menyanyikan banyak lagu hitsnya. Mulai dari “Melayang”, yang merupakan kisah tentang penggunaan obat terlarang; “Oh Ya”, hingga “Keraguan”. Para penonton yang kebanyakan tumbuh besar di era 80-an dengan gembira ikut bernyanyi.
“Saya senang sekali masih banyak yang ingat lagu-lagu saya. Malam ini kita bernostalgia ya,” ajak Dian, yang langsung memainkan lagu “Bohong”.
Lagu ini adalah lagu yang dibawakan oleh grup K3S. Grup K3S terdiri atas Dian Pramana Poetra, Bagoes AA, dan Deddy Dhukun. Lagu “Bohong” merupakan lagu andalan dari album berjudul sama yang dirilis pada 1988. Lagu ini diaransemen oleh Addie MS. Karena lagu ini pernah sangat populer, tak heran kalau hampir semua penonton ikut bernyanyi.
Malam itu juga Dian mengajak Deddy Dhukun, lelaki yang menurutnya “…saya anggap sebagai kakak sendiri.” Deddy juga merupakan partner setia Dian dalam berkesenian. Mereka pernah membentuk duo 2D, yang namanya diambil dari inisial nama mereka berdua. Duo ini sempat mengeluarkan tiga album yang menjadi hits. Keraguan (1987), Masih Ada (1988), dan Sebelum Aku Pergi (1996).
Salah satu lagu mereka yang paling termasyhur adalah “Masih Ada”, yang juga dibawakan oleh mereka. Lagi-lagi penonton menyambutnya dengan koor di sepanjang lagu. Mumpung sedang nostalgia, dua lelaki ini sempat mengenang momen masa lalu. Seperti saat menceritakan tentang kisah di balik lagi “Aku Ini Punya Siapa”.
“Waktu itu saya dan Deddy naksir cewek yang sama. Akhirnya kita kencan bertiga di bioskop. Saya memegang tangan si cewek itu. Pas saya lirik, eh Deddy juga megang tangan si cewek itu,” kata Dian sembari tertawa. Deddy yang berdiri di sebelahnya ikut terbahak.
Suasana nostalgia memang selalu menyenangkan. Nostalgia di Java Jazz pun tak hanya didominasi oleh generasi 80-an. Para generasi 90-an pun ikut merasakan manisnya nostalgia dengan Sheila on 7. Ribuan penonton hadir dan menonton penampilan band asal Yogyakarta ini.
“Kami sebenarnya merasa tersanjung karena bermain di sini. Di festival jazz, padahal kami bukan band jazz. Dan kalian masih setia menunggu kami sampai jam segini, ini penghargaan buat kami,” kata Duta.
Sheila on 7 memang bermain di penampilan terakhir pada hari pertama. Yakni dari pukul 00.30 hingga 01.45. Tapi toh itu tak menghalangi para Generasi X –sebutan untuk generasi 90-an– untuk berteriak dan bernyanyi bersama Sheila On 7. Mereka memainkan lagu-lagu hits mereka. Seperti “Sahabat Sejati”, “Dan”, hingga “Tahukah”.
Sesuai janji Presiden Direktur Java Festival Production Dewi Gontha, Java Jazz tahun ini akan menghadirkan lebih banyak kolaborasi. Sheila On 7 salah satunya. Mereka bermain bersama Ron King Big Band. Kolaborasi ini membawa efek yang lumayan mengejutkan. Lagu “Pejantan Tangguh”, misalnya, terasa lebih gagah dengan tiupan brass section.
Selain Sheila on 7 dan Ron King, masih ada banyak sekali kolaborasi. Seperti Chaka Kan yang berkolaborasi dengan Incognito. Lalu ada Glenn Freddy yang berkolaborasi dengan Marcell Siahaan, Sandy Sandhoro, dan Is Payung Teduh. Mereka menghadirkan penampilan bertajuk Tribute to Michael Jackson. Secara bergantian mereka menyanyikan lagu hits penyanyi yang berjuluk The King of Pop itu. Dari “Rock With You”, “She’s Out of My Life”, “One Day in Your Life”,”Billie Jean”, hingga “Heal the World”.
“Saya ingat jiwa kemanusiaan kalau bicara tentang Michael Jackson. Banyak sekali lagu Michael yang menginspirasi saya,” kata Glenn yang diikuti tepuk tangan meriah ribuan penonton yang duduk anteng di kursi.
Lalu ada penyanyi pendatang baru, Tulus, yang berkolaborasi dengan Maurice Brown, pemain terompet yang pernah mendapat Grammy Awards bersama Tedeschi Trucks Band.
Jangan lupakan pula, kolaborasi tiga penyanyi legendaris Indonesia: Ermy Kulit, Margie Segers, dan Rien Djamain. Penampilan ketiga diva yang mengusung nama The Ladies of Jazz ini sangat langka karena mereka lumayan jarang tampil di depan publik. Apalagi tampil bersama.
Konsep kolaborasi ini lumayan berhasil mengangkat festival Java Jazz tahun ini, mengingat tak ada nama bintang tamu yang terlalu spesial. Di samping konsep kolaborasi ini, Java Jazz masih menunjukkan kelasnya sebagai festival musik terbesar di Indonesia, dan salah satu yang terbesar di Asia. Tata suara yang dihadirkan kelas dunia. Panggung dan pencahayaannya pun patut dipuji. Tahun ini, ada 16 panggung yang dihadirkan dengan 470 musisi yang bermain.
Walau demikian, kritik tetap harus dilayangkan perkara ketepatan waktu. Di hari pertama, nyaris semua pertunjukkan dimulai tepat waktu. Namun entah kenapa, di hari kedua dan ketiga, sepertinya mulai kedodoran. Ada yang terlambat 10, 15 menit. Bahkan hingga 30 menit lebih. Di penampilan terakhir di hari terakhir, saya dan ratusan penonton menunggu lebih dari 30 menit sebelum akhirnya Mondo Gascaro naik panggung.
Selain itu, masih ada kesalahan tata suara, sebuah hal buruk yang seharusnya bisa dihindari oleh festival sekelas Java Jazz. Hal seperti ini menimpa Matajiwa saat memainkan lagu terakhir mereka, “Inti”. Saat seharusnya mencapai klimaks, suasana jadi canggung karena gitar Anda Perdana, gitaris dan vokalis Matajiwa, mendadak hilang suara. Untung grup yang terdiri dari Anda dan Reza Achman ini masih bisa berimprovisasi dengan mulus. Walau begitu, kesalahan minor seperti ini seharusnya bisa dihilangkan.
Kritik lain yang muncul sebenarnya merupakan kritik klise dan tak tepat sasaran: bintang tamu. Tahun ini Sheila On 7 yang jadi sasaran tembak kritik dan dipertanyakan. Banyak orang menanyakan di mana letak jazz-nya Sheila On 7?
Pertanyaan dan cibiran semacam ini sebenarnya selalu ada setiap tahun. Pernah menimpa JKT 48 dan Agnes Monica di tahun 2014, atau bahkan Slank di tahun 2009. Padahal,setiap tahun pula, panitia Java Jazz selalu memberikan pengertian bahwa Java Jazz tidak melulu mengundang musisi jazz.
“Ada beberapa pertimbangan, seperti jazz name, legend names, popular names, dan beberapa lagi,” ujar Eki Puradiredja, koordinator program Java Jazz, tahun lalu.
Hal yang perlu dipahami: festival musik adalah bagian dari industri musik. Dan industri musik adalah salah satu industri paling lentur di sepanjang sejarah peradaban. Sebagai industri pula, festival musik tentu tak bisa melulu “keras kepala” dan enggan menghadirkan bintang tamu lintas genre. Apalagi untuk sebuah pagelaran musik jazz, yang notabene belum terlalu memasyarakat di Indonesia, pun sangat segmented.
Seharusnya para pengkritik mengenai bintang tamu ini harus menengok ulang festival musik di belahan dunia lain. Festival Jazz Montreux, misalkan. Salah satu festival jazz terbesar di dunia ini pernah mengundang band heavy metal Led Zeppelin. Juga maestro psychedelic rock Frank Zappa. Di New Orleans, kota yang dianggap sebagai tempat lahirnya musik jazz, New Orlean Jazz Festival pun bisa dianggap sebagai festival lintas genre. Ada blues, gospel, hingga world music di setiap tahun penyelenggaraannya.
Saat ini, kebanyakan festival di dunia memang lebih merayakan keberagaman ketimbang merayakan murninya sebuah genre. Dan memang seperti itulah semestinya Java Jazz. []