Wis tambah tuek le? 🙂 |
Anak itu berjalan pelan menuju gerbang sekolahan. Rambutnya keriting. Wajahnya tirus. Badannya kurus. Memakai tas punggung dengan sepatu berwarna biru. Tapi yang paling mencuri perhatian: tinggi badannya yang minimalis untuk ukuran anak SMA.
Nama anak itu adalah Angga Pribadiyono.
Saya tak akrab dengannya di awal masuk SMA. Pasalnya, kelas kami berjauhan. Saya di 1.2, Angga di 1.5. Tapi pernah satu kali kami bertemu di Pasir Putih.
Saat itu saya dan beberapa kawan masa kecil menghabiskan waktu dengan berkemah di Pasir Putih Situbondo. Tak dinyana, disana saya bertemu dengan Deni Hamzah, kawan saya semasa SD. Dia juga bareng kawan-kawannya semasa kecil. Ada wajah yang saya kenal, wajah Angga.
Sejak saat itu saya akrab dengan Angga.
Kami sering bertukar sapa di kantin. Memergokinya merokok sembunyi-sembunyi di kantin. Hingga ia yang sering disetrap di halaman sekolah karena sering terlambat masuk.
Kami akhirnya sekelas ketika naik ke kelas 2. Karena sudah akrab, kami memutuskan duduk sebangku. Saat itu, saya mulai makin mengenalnya.
Ada banyak hal yang bisa diceritakan tentang pria berwajah imut itu. Tapi yang paling terkenal adalah julukannya sebagai bandar bokep. Oke, bukan dia saja, tapi saya juga.
Kami sering membawa CD bokep (saat itu belum ada flashdisk dan tidak ada softcopy seperti sekarang) yang diselempitkan di tengah-tengah halaman buku pelajaran. Dan kurang ajarnya, dua buku favorit sebagai tempat persembunyian bokep adalah buku PPKn dan Agama. Hahaha.
Bendol, ketua kelas kami saat itu, menjuluki Angga dengan sebutan Nyen. Semua juga gara-gara rutinitas Angga dalam mendistribusikan VCD bokep. Nyen adalah singkatan dari Onyen, bahasa prokem Madura untuk bersetubuh. Ternyata, panggilan Nyen itu bertahan lama. Hingga sekarang, mulai teman SMA, teman rumah, hingga teman kuliahnya, memanggil Angga dengan sebutan Nyen. Bisa jadi hingga ia meninggal kelak, orang akan tetap mengingat Angga sebagai Nyen.
***
Selain jadi bandar bokep, Nyen juga diingat sebagai pria bertinggi badan minimalis di angkatan kami. Tapi itu semua berubah semenjak Nyen bertemu dengan Bu Ismi.
Bu Ismi adalah guru matematika kami di kelas 2. Beliau orangnya suka iseng. Kalau nilai ujian matematika kami rendah, beliau suka menghukum kami. Kalau ada dari kami yang ketahuan tak tertib –baju seragam keluar, atau tak memakai sabuk–, hukuman juga dilayangkan. Jenis hukumannya macam-macam. Yang paling lucu tentu balapan merangkak di depan kelas. Sialan.
Tapi beda kasus untuk Nyen. Bu Ismi menyuruh Nyen melompat dan menyentuh ujung bagian atas pintu kelas kami. Nyen tak suka hukuman itu. Setiap dapat hukuman itu, wajahnya selalu merengut. Ia kesal. Tapi sekarang ia harus berterimakasih pada bu Ismi. Sejak rutin melakukan ‘lompat tinggi’ itu, Nyen bertambah tinggi.
Kami berpisah ketika naik kelas 3. Saya masuk kelas sosial 2, dan Nyen masuk kelas sosial 1. Tapi sebagai kaum minoritas (kelas sosial hanya ada 2, kelas eksakta ada 4), nyaris setiap hari kami berkumpul. Entah itu di terminal depan sekolah kami, warung nasi pecel depan sekolah, sungai belakang sekolah, atau di kantin.
Ketika lulus dan masuk dunia kampus, kami pun kembali berpisah. Saya masuk Unej dan Nyen di Unmuh. Tapi kami masih sering berkumpul. Nyaris tiap akhir pekan kami cangkruk bareng kawan-kawan SMA. Siang hari, ketika sepulang sekolah, juga jadi waktu yang menyenangkan untuk minum segelas joshua sambil berkelakar mengenai kuliah.
***
“Ayo melu aku, nggepuki arek”
Saya tergeragap. Pagi itu, matahari bahkan masih belum jua terik, Nyen sudah menghampiri saya di Warkop Toyib. Secangkir kopi saya bahkan masih mengepulkan uap panas. Tapi Nyen sudah datang berkalang kemarahan. Ada apa ini?
Usut punya usut, Nyen sedang sakit hati. Sama seperti remaja lainnya, Nyen pun tak luput dari sakit hati. Ini menarik bagi saya dan kawan-kawan lain. Pasalnya, ketika SMA, Nyen tak pernah melirik cewek. Tak pernah menitipkan hati pada perempuan mana pun. Ia termasuk pria yang kedap dengan ritual naksir perempuan.
Kalau ada novel berkisah tentang cerita cinta remaja SMA, sudah pasti bukan Nyen yang jadi inspirasi. Nyen, kala itu, adalah remaja yang paling kuat menahan godaan naksir perempuan.
Tapi ketika duduk di bangku kuliah, ia memutuskan untuk menitipkan hati pada seorang gadis. Olala, siapakah gadis yang beruntung itu? Nyen ternyata menganut prinsip lokalitas. Ia jatuh cinta dengan gadis tetangga.
Tapi pagi itu, ketika asap kopi masih mengebul, Nyen sudah tersulut amarah. Tak pernah saya melihat Nyen murka, apalagi perkara perempuan. Ia lantas bercerita kisah kasihnya. Ya bisa dibilang kisah standar percintaan. Tapi karena Nyen tak pernah mengalaminya, kisah itu lantas jadi duri yang merajam. Perih.
Hingga sekarang, kisah kasih purba milik Nyen itu masih saja dijadikan gojlokan tiap kawan-kawan SMA berkumpul. Dan seperti biasa, Nyen –yang sudah sembuh karena waktu– hanya bisa berlagak cool dan terkekeh kecil. Ia sudah tumbuh dewasa.
Memang, seringkali luka dan waktu yang akan mengajarkan kita untuk tumbuh dewasa. Nyen belajar itu dengan baik, dan lulus dengan baik pula.
Oh ya, sampai sekarang hati Nyen masih belum berpunya. Kalau ada yang punya nyali mencoba, bisa dicoba untuk merebut hatinya Nyen 🙂
***
Malam ini, disela deadline kerjaan yang sudah di urat leher, saya menengok siapa saja yang berulang tahun hari ini. Ternyata Nyen ada dalam daftar. Untuk mengingatnya, saya menuliskan sesuatu tentangnya. Kelak, ketika Nyen punya anak, sang anak bisa tahu kisah sang bapak. Termasuk yang tabu dan lucu seperti menyembunyikan VCD bokep di buku Agama atau PPKn.
Nyen, sama seperti saya dan kawan-kawan lain, sudah masuk ke dalam tahap yang rawan: lulus kuliah dan harus menghadapi realitas hidup. Semoga ia tak patah arang dan tetap nyalang menghunus pedang. Semoga ia tetap santai, sesantai ketika ia menabrak anjing ketika sedang “tinggi” dan tetap menjadikannya sebagai guyonan.
Umur memang boleh bertambah. Tapi kemudaan jiwa tetap harus dipertahankan. Semoga ketika angka di KTP semakin bertambah besar dan kerut semakin tampak dalam wajah, semakin anak-anak jiwa kita.
Seperti yang ditulis Joko Pinurbo:
“Ya, hari ini saya ulang tahun ke-50.
Tahun besok saya akan ulang tahun ke-49.
Tahun lusa saya akan ulang tahun ke-48.
Sekian tahun lagi usia saya akan genap 17.
Kemudian saya akan mencapai usia 9 tahun.”
Selamat ulang tahun Nyen!
Selamat Ulang Tahun….