Setiap ada laga Manchester United (MU) kontra Arsenal, ingatan saya selalu melambung ke David Januar. Dia adalah kawan saya sedari kecil. Lebih tua setahun ketimbang saya. Kami sama-sama suka mandi di sungai. Kami sama-sama suka bercanda mesum. Kami sama-sama suka nongkrong bareng di lin pak Kamdi tiap malam Minggu. Kami punya banyak kesamaan, kecuali dalam satu hal: tim bola favorit.
Saya menyukai MU, sedang David menyukai Arsenal. Saya suka David Beckham dan Andy Cole, David suka Marc Overmars dan Thierry Henry.
Menginjak remaja, kami makin gila dalam mendukung tim kami. Taruhan pun jadi ritus penyedap tiap tim setan merah bertemu meriam London. Saya sepenuhnya lupa berapa kali pertandingan MU vs Arsenal yang sudah kami lewati.
Taruhan kami tak seberapa besar. Paling pol ya cuma 10.000 rupiah saja. Tapi duit bukan hal utama dalam taruhan. Ada yang lebih besar dipertaruhkan di tiap pertandingan bergengsi ini: harga diri.
Harga diri memang sering dibinasakan kalau tim pujaan keok. Sudah duit melayang, eh dihina-hina pula. Ditambah, tahun 90-an, persaingan MU dan Arsenal sedang gencar-gencarnya. Kedua tim seimbang. Baik dari segi pelatih maupun pemain. Hal itu membuat kami sama-sama tak tahu siapa yang bakal menang.
Salah satu momen yang paling saya ingat adalah ketika Arsenal menekuk MU (saya lupa pertandingan yang mana). Tapi saat itu, saya nonton bareng di rumah David. Di tengah pertandingan, saya ketiduran.
Entah berapa lama ketiduran, saya tiba-tiba dikejutkan dengan David yang menggoncang tubuh saya.
“Le, le, tangi leeee. Henry ngelebokno ikiii” teriaknya setengah histeris sembari tertawa-tawa. Saya melihat panel waktu di ujung kiri layar televisi. Sudah nyaris masuk injury time. Sial. Itu artinya dua hal melayang dari saya: uang dan harga diri.
Tapi semenjak tahun 2005, derby kedua tim tak lagi seru. Muasalnya adalah Roy Keane pensiun, dan Patrick Vieira pindah ke Juventus. Keane dan Vieira adalah sosok sentral dalam rivalitas MU- Arsenal. Keduanya adalah kapten tim, dan keduanya juga sama-sama bertemperamen tinggi. Setelah mereka berdua hilang dari tim, praktis tak ada lagi rivalitas yang sengit.
Selain itu, kekuatan Arsenal juga menurun. Meski pelatihnya tetap sama, banyak pemain yang pergi. Penggantinya tak bisa menutup lubang yang ditinggalkan. Hasilnya?
Simak statistik ini: semenjak tahun 2006, ada 16 pertandingan antara MU dan Arsenal. MU memenangkan 10 pertandingan, Arsenal 4 pertandingan, dan sisanya imbang. Ada 2 pertandingan yang sangat mencolok mata. Yakni kemenangan MU 4 gol tanpa balas di Old Trafford. Dan yang paling mencolok: kemenangan MU 8-2 dalam laga Premiership tahun 2011.
Biar David gak lupa kalo tim kesayangannya pernah dihajar :p |
Saat tragedi pembantaian itu terjadi, saya dan David sudah jarang bertemu. Saya kos, dan David sibuk bekerja sebagai abdi negara di kota tetangga. Kami hanya sesekali saja bertukar kabar. Seusai pembantaian 8-2 itu, saya sms David. Saya malah menyayangkan pertandingan itu. Serius. Kemenangan telak itu jadi seperti meruntuhkan semua legenda tentang persaingan yang sengit. MU jadi mirip tim besar yang melawan tim divisi utama PSSI.
David hanya bisa mengirim tanda senyum. Senyum yang pahit, duga saya.
Malam ini, pasukan setan merah akan menjamu Arsenal di stadion kebanggaan Old Trafford. Sepertinya tensi pertandingan ini akan memanas. Robin Van Persie, mesin gol Arsenal selama beberapa musim, memperkuat MU musim ini.
Selagi menunggu pertandingan dimulai, saya ingat David dan kehebohan kami dalam membela tim kesayangan, juga ritus taruhan tiap pertandingan.
Ia sekarang sudah menikah, sudah punya 1 anak yang lucu bernama Kevin. Saya sudah nyaris 2 tahun tak pernah ketemu dengan David. Hanya sesekali saja bercakap via facebook.
Taruhan lagi Vid? For good old time sake 🙂
One thought on “Rivalitas Itu”