Pada Dini Hari yang Biasa

Rani mengabari dia sudah di TB Simatupang. Itu berarti 5 menit lagi dia sudah sampai di gang kontrakan kami. Hujan masih lumayan deras. Saya mengambil jaket, menggunakannya sebagai penutup kepala. Kami tak punya payung. Saya menghilangkannya sewaktu pergi ke Bandung, sekira setahun silam. Waktu itu juga musim hujan. Rani memaksa saya membawa payung. Padahal saya sudah bilang tak usah. Saya kerap ceroboh. Benar saja, saya baru sadar kalau payung hilang saat sudah sampai di rumah. Mungkin jatuh sewaktu saya turun dari travel, dan saya tak sadar. Sejak saat itu kami alpa terus untuk membeli payung baru.

Rani datang dengan taksi. Dia menulis voucher yang diberikan kantor. Memberikannya pada supir. Lalu kami berdua setengah berlari menuju kontrakan. Menganggapnya romantis. Membayangkan jaket adalah daun pisang. Dan kami berdua adalah sepasang lelaki dan perempuan desa yang berlarian di pematang sawah. Tentu bukan di sana tempat kami berlari. Tapi di sebuah gang yang dindingnya dirambati lumut dan dimamah usia, yang kalau siang rimbun karena banyak pohon namun kalau malam bikin Rani takut sehingga saya harus selalu menjemputnya di bibir gang.

Sesampai di rumah, saya menunjukkan Rani semangkok margarin yang saya campur dengan cacahan bawang putih dan rosemary. Itu bahan untuk membuat roti bawang putih. Biasanya saya pakai oregano dan basil. Tapi dua bahan itu sedang habis.

Saya melanjutkan mencuci piring. Setelah ganti baju, Rani mulai mengoles adonan bumbu bawang putih ke roti tawar dan memanggangnya. Kemudian ia mulai bercerita. Tentang kantornya. Tentang istilah-istilah IT yang tak saya ketahui. Saya juga mulai berkicau tentang utang dua buku ke Eka Keong, hingga chord “God Only Knows” yang akhirnya saya kuasai. Kunci gitar lagu itu kepalang susah. Sampai-sampai saya harus mengunduh video tutorial yang diampu oleh Marty Schwartz. Sewaktu saya merasa sudah bisa memainkannya, saya jemawa.

Aroma bawang putih dan rosemary mulai tercium di udara. Rani membuka toples berisi saus keju yang saya buat. Dia kemudian bertanya saus apa yang ada di teflon. Marinara, kata saya. Sudah sekitar seminggu lalu saya membuatnya. Awalnya untuk menghabiskan sisa tomat di kulkas. Tapi karena tomat lokal tidak merah merona seperti di Mediterania, makanya hasilnya jadi agak gelap. Apalagi tadi saya iseng menambahi paprika bubuk dan sedikit madu. Rani mencolek saus itu. Dia menunjukkan muka meledek. Rani memang kurang suka rasa asam.

Setelah roti dioles saus keju, kami berdua masuk kamar. Rani ingin mengkudeta laptop, melanjutkan episode Desperate Housewives. Tapi saya tak setuju. Saya sedang asyik menonton episode pertama The Man in the High Castle. Serial ini amat menarik. Berkisah tentang pengandaian yang tak kalah asyik untuk dibayangkan: Amerika Serikat kalah di Perang Dunia II. Nazi berjaya. Begitu pula Jepang. Negara Paman Sam kemudian dibagi, jadi milik Fuhrer dan Kaisar Matahari Terbit.

Tapi, dasar suami menyebalkan, kemudian saya malah pamer keahlian memainkan “God Only Knows”. Ealah, ternyata beberapa kunci masih membuat jari terpeleset. Sialan betul si Brian Wilson dan kompatriotnya itu. Bikin lagu kok kuncinya rumit bener. Rani yang sudah bosan mendengar permainan gitar yang tot pletot, melengos. Ia memilih melanjutkan membaca komik Shanaou Yoshitsune. Saya kembali menekuri jurus gitar yang bikin jari tergelincir terus sejak semingguan silam. Em6. Bm6. D#/G dan entah apa lagi. Kalau gini saya jadi ingin belajar gitar ke Antruefunk. Laptop masih menyala. Film saya hentikan sejenak.

Di luar masih hujan. Ini dini hari yang biasa. []

3 thoughts on “Pada Dini Hari yang Biasa

    1. Hahaha, iya po mas? Aku baru nonton episode pertama. Trus serial iku terlupakan karena terlalu fokus ndelok Vinyl 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published.