Jadi tadi malam si Rani install Path lagi di ponsel saya. Aplikasi ini sudah saya hapus sekira 5 bulan lalu, karena saya pikir nihil fungsi. Apa yang disediakan oleh Path juga disediakan oleh media sosial lain yang lebih sering saya pakai. Tapi karena sudah terlanjur terpasang, ya sudah saya jadi baca-baca status kawan. Yang paling menarik adalah apa yang ditulis oleh Mas Philips Vermonte.
Dia sudah jarang nulis status di Facebook atau mencuit di Twitter. Tapi di Path ia amat aktif. Mungkin karena di sana lingkaran perkawanannya lebih selektif, jadi ia merasa lebih bebas menulis apapun tanpa takut dituduh kafir atau zionis atau Syiah atau komunis. Hahaha.
Namun saya sekaligus kehilangan sih. Dulu di Facebook ia sering melontarkan guyonan receh khas Om-Om. Sebagian sumbernya mungkin didapat dari WA Group. Tapi di luar FB, ia juga sering menceritakan berbagai kisah lucu. Cuma ya tak selucu guyonan receh yang memang kedemenan saya. Saya unggah beberapa guyonan receh ala Philips Vermonte, lengkap dengan captionnya yang tak kalah bapak-bapak.
Apa yang ditulis di Path mas Philips amat beragam. Mulai soal pekerjaannya sebagai direktur CSIS yang mengharuskan ia melanglang ke berbagai tempat, kesukaannya menyantap makanan enak, hobinya mengajak jalan anjing Husky peliharaannya, hingga kegemarannya mendengarkan musik bagus.
Omong-omong soal musik, Mas Philips dan Mas Taufiq yang berjasa (atau berdosa?) mendorong saya untuk menulis musik dengan lebih serius. Suatu malam ia mengontak saya via komentar blog: komentar sembari memberikan alamat blognya. Saya lalu pergi ke blog yang diberi judul Berburu Vinyl itu, sembari gantian mengirim komentar. Lalu kami berbalas pesan via Yahoo Messenger kalau tak salah. Kemudian bertukar alamat Facebook, dan ngobrol di sana.
Mas Philips meminta saya nulis di Jakartabeat, situs yang ia buat bersama Taufiq Rahman, koleganya yang sedang kuliah master. Mas Philips sendiri saat itu sedang kuliah doktoral. Dua orang ini tampaknya sering pusing sendiri kena tugas kuliah, makanya cari pelarian. Karena bukan tipikal lelaki seks, drugs, rock n roll, ya pelampiasannya ya berburu piringan hitam dan nulis musik. Haha.
“Yang mahasiswa baru 1 orang, namanya Gde Dwitnya. Kalau kamu mau, jadi 2 orang,” kata Philips.
Saya tentu mau, gak pakai pikir panjang. Saat itu saya cuma penulis yang bahkan tak tahu aturan tanda baca. Menulis cuma di blog yang mengenaskan itu. Waktu ada orang yang meminta saya menulis musik, ya jelas saya tersanjung.
Saat itu ceritanya saya sedang patah hati agak serius dengan seorang perempuan. Karena mood-nya sedang biru, saya mendengarkan Continuum milik John Mayer terus-terusan. Album ini memang seperti merayakan kesedihan akibat hati yang hancur berantakan. Album ini rutin saya putar di ruang atas Tegalboto, ataupun di komputer redaksi di lantai bawah. Sembari terus-terusan menggumamkan, “I’m gonna find another you.” Patah hati saya waktu itu ternyata tak serius-serius amat, saya sembuh dalam seminggu saja.
Akhirnya saya menulis tentang John Mayer dan Continuum. Dimuat tahun 2009 kalau tak salah. Apa 2008 ya? Saya lupa. Patah hati memang tak penting untuk diingat :p Tulisan itu dimuat jadi tulisan pertama saya di Jakartabeat. Setelahnya saya ketagihan nulis di sana. Malah sempat minta picis buat liputan hair metal ke Yogyakarta dan Jakarta, meliput Sangkakala dan Gribs.
Kalau sekarang diingat-ingat, sepertinya cuma saya kontributor yang kurang ajar berani minta uang ke mas Philips dan mas Taufiq buat liputan, haha. Padahal Jakartabeat bukan situs yang memasang iklan dan tak diniatkan cari uang. Gilanya juga, ide liputan itu disetujui. Kalau tak salah ingat, itu juga menjadi pengalaman pertama saya liputan musik agak panjang deh.
Sekarang tanggal 2 Mei 2017.
Saya jadi nulis ini semua karena membaca status-status Path mas Philips. Ia tampak betul kangen nulis musik dan santai. Tapi apa boleh buat, pekerjaannya bikin agak susah nulis musik panjang lebar seperti dulu. Ini agak berkebalikan dengan mas Taufiq.
Selepas lulus kuliah, ia kembali ke Jakarta dan The Jakartapost. Kini ia jadi orang penting di sana. Di sela kesibukannya, mas Taufiq masih sempat bikin label rekaman senang-senang, Elevation. Label ini jadi menjelma jadi entitas penting di skena musik Indonesia. Tak hanya itu, Elevation juga melebarkan sayap jadi penerbitan buku yang khusus menerbitkan buku tentang musik. Terbitan pertamanya adalah buku kumpulan naskah Herry Sutresna, alias Morgue Vanguard, alias Ucok Homicide. Terbitan keduanya adalah buku mas Taufiq sendiri, Pop Kosong Berbunyi Nyaring. Buku ini sedang saya baca, kalau sudah tuntas akan saya tulis di sini.
Sedangkan Gde Dwitya, mahasiswa pertama yang direkrut Jakartabeat sebagai agen pengacau pola pikir anak muda, sedang melanjutkan kuliah doktoral di Amerika sono. Satu almamater dengan mas Philips. Ia jarang aktif FB, juga jarang nulis santai lagi, bikin saya kangen. Artikelnya selalu dahsyat, padahal. Kami sempat satu gedung saat sekolah di Jogja dulu. Di tahun pertamanya kuliah, ia sempat pulang ke Jogja dan memberikan buku Jack Kerouac, Lonesome Traveler. Waktu Rani pergi ke Orlando, Gde juga menitipkan buku makanan dan minuman terbitan The New Yorker, Secret Ingredients.
Jakartabeat sendiri sudah mati suri. Tapi kupikir ia akan dikenang oleh banyak orang karena berhasil memberikan pengalaman menyenangkan. Baik untuk penulis ataupun pembacanya.
Sedangkan John Mayer? Ia baru saja merilis album ketujuhnya, The Search for Everything. Paten punya. Sering saya putar kalau malam tiba. Ada sentuhan R&B ringan di sana. Groove-nya asyik. Benang merahnya masih agak sama dengan Continuum: patah hati dan perasaan terasing.
Rupanya untuk soal move on, saya lebih jago ketimbang John Mayer. []
Karena penasaran, saya coba melacak percakapan pertama saya dengan Mas Philips. Ia meninggalkan komentar di blog saya pada 3 September 2008. Sementara saya membalas komentar di postingan tentang Appetite for Destruction pada 12 September 2008. Sudah nyaris 9 tahun, edan. Sedangkan postingan tentang Continuum dan John Mayer itu ternyata dimuat 2 April 2009.
Sayang, Yahoo Messenger sudah tak ada lagi. Saya jadi kesusahan melacak percakapan kami. Sedangkan percakapan pertama kami yang tercatat di Facebook bertarikh 27 Oktober 2009. Saat itu saya baru saja menulis tentang Teenage Death Star. Saya baca-baca percakapan kami, jadi ngikik sendiri. Ada banyak cita-cita di sana, baik punya saya atau punya mas Philips. Mulai cita-cita tinggal di Amerika (itu punya saya), dan bikin majalah yang mengandalkan jurnalisme naratif (itu cita-citanya mas Philips).
Jadi kapan kita bikin majalah idaman itu, Mas? :))
Dan saya nyari lagu-lagu John Mayer dari tulisan mas Nuran. btw, saya adik kelas mas Gde di Sastra Inggris UGM.
Wah, hehe. Padahal saya juga menyimak lebih tekun lagu-lagunya Mayer setelah patah hati itu mbak. Hehe. Wah, adik kelasnya bli Gde toh. Dia orang keren, pasti mbak Yenni juga orang keren 😀