DALAM buku Riders on the Storm, drummer The Doors John Densmore mengingat kesempatan pertama kalinya bisa manggung di Whisky a Go Go, klub malam terkenal di Sunset Strip, Hollywood Barat. Saat itu The Doors yang masih seumur jagung baru saja dipecat sebagai home band di klub bernama London Fog yang sedang mengalami kesusahan finansial.
“Untungnya seorang vokalis perempuan dengan suara seksi bak peri bernama Ronnie Harran pernah mendengar kami. Kupingnya mendengar bakat. Akhirnya kami bisa manggung di Whisky, sebuah konser yang bisa kami banggakan,” tulis John.
The Doors bermain pertama kali di Whisky pada 23 Mei 1966, biasanya bermain dua sesi. Kuartet ini menjadi pembuka untuk band-band yang sudah punya nama besar. Mereka pernah membuka konser Captain Beefheart And His Magic Band, Buffalo Springfield, Love, Them, The Turtles, dan Johnny Rivers.
Hingga akhirnya 21 Agustus tiba. Jim Morrison, sang vokalis, menghilang, membuat The Doors hanya bermain dengan tiga orang. Sebelum sesi kedua dimulai, tiga personel The Doors mencari vokalisnya yang bengal itu. Ternyata Jim ada di Hotel Tropicana, kamar 203. Teler. Nyaris telanjang. Hanya menyisakan celana dalam dan sepatu boots. Mereka segera mendandani Jim dan membawanya ke Whisky.
Mereka bermain dengan lancar. Penonton yang sudah tahu The Doors menikmati aksi panggung mereka. Lagu terakhir pun dimainkan, “The End”. Jim yang sedang teler berimprovisasi. Gitaris Robbie Krieger asik bermain sendiri. Sedangkan drummer John dan keyboardist Ray Manzarek berpandangan. Mereka seolah bisa menebak apa yang akan terjadi.
Mereka tak punya pilihan lain selain mengikuti improvisasi ini. “Seisi Whisky terhipnotis oleh Jim Morrison. Pelayan berhenti bekerja. Penari telanjang juga berhenti joget. Lalu Jim mulai melantunkan bait Oedipus itu. Dalam hati aku memaki, pokeh kau Jim, jangan diteruskan!” kenang Ray. Jim menutup mata. Ia meracau, melantunkan bait-bait yang dipengaruhi Oedipus Rex untuk pertama kalinya.
“Father.”
“Yes son.”
“I want to kill you.”
“Mother. I want to fuck you, all night loooong!”
Penonton langsung terperanjat. Sebebas-bebasnya orang Amerika Serikat, tak ada yang berani meneriakkan mimpi menyetubuhi ibunya sendiri. Whisky geger. Penonton perempuan terangsang. Penonton lelaki mendadak ingin jadi Jim Morrison. Semua senang. Kecuali satu orang: Phil Tanzini.
Phil salah satu pendiri Whisky. Tak seperti bayangan banyak orang tentang pendiri klub malam, Phil termasuk konservatif. Ia paling cerewet kalau ada band teler ketika manggung. Sewaktu The Doors turun panggung, Phil naik ke atas dan berteriak pada personel The Doors, terutama Jim.
“Kau, Morrison, adalah manusia paling cabul di planet ini! Kau tak boleh mengatakan hal jorok tentang ibumu di panggung ini! Kalian dipecat!”
Itu adalah panggung terakhir The Doors di Whiskey. Sisi baiknya, The Doors mendapat kontrak rekaman dari Elektra karena penampilan dahsyat itu. Mereka merilis album perdana pada 1967, dan sisanya adalah sejarah.
LOS ANGELES memang bukan tanah kelahiran rock n roll. Tapi ia adalah tanah suci bagi jamaah kepercayaan ini. Kuil terbesarnya ada dua: Whisky a Go Go dan Rainbow Bar and Grill. Dua tempat ini berada di Sunset Strip, sebuah ruas jalan legendaris di kota Hollywood Barat, Los Angeles.
Pada masa itu, konsep hubungan bintang rock dan penggemar tidak sekaku sekarang. Seorang fans bisa saja mengonsumsi peyote bareng Jim Morrison, atau berbagi korek api dengan John Lennon. Karena itu, para bintang ini juga santai untuk nongkrong di Whisky atau Rainbow.
Hampir semua nama-nama besar jagat rock n roll pernah nongkrong di dua kuil suci ini. Mulai Keith Moon, Alice Cooper, John Lennon, Ringo Starr, Frank Zappa, hingga Kim Fowley. Ketika musik heavy metal menjadi pusat perhatian dunia dan Sunset Strip jadi Mekkah-nya, band seperti Van Halen, Guns N Roses, Motley Crue, Poison, sampai L.A Guns mudah ditemukan teler di Rainbow atau Whisky. Lemmy, pendiri Motorhead, adalah pelanggan tetap Rainbow. Kalau sedang tak manggung, dia biasa minum Jack Daniel’s sembari bermain mesin poker di meja ujung bar.
W.A.S.P yang menulis lagu “Sunset and Babylon” dengan lirik yang tak jauh berbeda: ngider di Strip, aku bakal nongkrong di Rainbow Bar and Grill. Aku mabuk sampai aku bisa ngewe, kamu bisa menemukanku di rumah seorang bintang film.” Motley Crue menulis “Down at the Whisky” sebagai penghormatan untuk klub yang membesarkan namanya. “Mabuk lagi, manggung lagi. Sepanjang malam di Whisky A Go Go,” kata mereka gembira.
Mereka mengenang masa muda yang menyenangkan. Masa yang dihabiskan di Whisky. Uang tak ada. Kalaupun ada, dihamburkan untuk bikin tato dan beli rokok. “Kami melarat, tapi demi tuhan kami amat senang,” teriak mereka riang seakan mempersetankan hari esok.
Nama Rainbow diambil dari warna pelangi yang dianggap sebagai lambang perdamaian. Tentu saja susah mengharapkan kedamaian di klub malam yang berisi begundal-begundal paling beringas dalam sejarah musik rock. Dunia berputar kencang di dalam sana, dan ada satu nama di tengah pusaran itu semua: Mario Maglieri.
Pada 1964, Mario pindah dari Chicago. Pria keturunan Italia ini membantu Elmer Valentine untuk menjalankan Whisky yang baru dibuka beberapa hari. Kelak Mario membeli Whiksy dari Elmer, sahabatnya itu. Pada 1972, Mario, Elmer, dan Lou Adler mendirikan Rainbow, hanya berjarak dua blok dari Whisky. Sama seperti saudara tuanya, Rainbow menjadi jujugan bagi para mega bintang rock.
Mendengarkan cerita Mario sama seperti mendengarkan kisah fantasi rock n roll yang dituturkan kakekmu. Ceritanya bisa membuatmu terngaga sembari berteriak kesal, “Masa sih?!” Ia kenal semua bintang rock pujaanmu. Ia membelikan sebotol wiski Southern Comfort untuk Janis Joplin, tiga hari sebelum diva ini meninggal. Teman diskusi politik Mario adalah pria bernama John Lennon yang mungkin namanya pernah kau dengar entah di mana.
Gemerlap jagat rock n roll sebenarnya memberikan luka amat getir bagi Mario. Ia melihat terlalu banyak sahabatnya mati. Bintang muda potensial terhenti di tengah jalan. Ia beberapa kali menasehati Jim Morrison dan Janis untuk berhenti memakai narkoba. Usahanya gagal.
“Jim seperti bocah tua nakal,” kata Mario pada L.A Times. Ada nada getir yang kentara dibaca. “Dia anak baik. Sayang sekali aku tak bisa membuatnya bersih, aku sudah mencobanya sekeras mungkin.”
Pria kelahiran 1923 ini juga bersahabat dengan Terry Kath, gitaris band Chicago saat mereka masih jadi band tetap di Whisky. Ia pun sering menasehati Kath agar berhenti pakai narkoba. Tapi gagal juga. Pada 1978, Terry yang ditengarai masih dalam pengaruh kokain, menekan pelatuk pistol yang dikiranya nihil peluru, tepat ke arah kepala. Dor!
“Seringkali kawan-kawanku itu tidak mau mendengar nasihat. Mereka seperti ingin membentur titik terendah dulu. Beberapa bertahan, beberapa tidak,” kata Mario yang mengaku tak pernah sekalipun memakai narkoba ini.
“Aku sudah melihat terlalu banyak hidup yang hancur gara-gara narkoba.”
MARIO, Whisky, Rainbow, adalah trinitas suci rock n roll di Los Angeles. Namun musuh terbesar mereka adalah uang. Ironis, sebab Los Angeles sudah sejak lama jadi pusat perputaran uang industri hiburan. Tapi era lama sudah akan berakhir. Penghuni-penghuni lawas kota ini perlahan tersingkir. Yang kumuh ditendang. Bangunan peninggalan hiburan era dulu digusur. Gentrifikasi terjadi. Semakin kencang sejak 5 tahun terakhir.
Los Angeles mengoles pupur makin menor demi menyambut wisatawan. Pendapatan utama Hollywood Barat memang berasal dari pariwisata: 24 persen berasal dari pajak hotel. Hunian hotel mencapai 95 persen. Saat ini sekitar 2.000 kamar hotel sedang dibangun.
Tentu pembangunan tergesa dan skala besar seperti ini berdampak luas. Uang memang berdatangan, tapi tak ada ruang untuk romantisme. Apalagi nostalgia. Bangunan sarat sejarah dan kisah dirobohkan, diganti oleh bangunan pengeruk uang baru.
Pada 2015, The House of Blues, klub musik yang sudah berusia 21 tahun menutup usia. Di tempat ini legenda seperti James Brown, Jerry Lee Lewis, John Lee Hooker, juga Etta James pernah bermain. Konser terakhir di tempat ini diisi oleh Steel Panther, band heavy metal yang rutin bermain sejak awal karirnya. Lahan lokasi House of Blues dibeli konsorsium besar untuk dijadikan bangunan raksasa yang berisi 149 kamar hotel, 40 unit apartemen, dan 3.200 meter persegi pusat perbelanjaan. Bioskop Tiffany yang melambungkan nama Rob Reiner juga sudah hilang. Begitu pula toko erotis milik pemilik Hustler, Larry Flynt.
Whisky, Rainbow, dan tentu saja Mario masih berupaya bertahan. Ada banyak rayuan agar Mario mau menjual dua klubnya. Aku bisa untung besar, kata Mario pada The Guardian. Dulu Mario membeli Whisky sebesar 1,5 juta dolar. Sekarang kalau dijual, tanah dan bangunan Whisky bisa seharga 30 juta dolar.
“Tapi aku tak terbujuk. Ini bisnis untuk cucuku,” katanya.
Hingga kemarin, Mario memang masih masih rutin datang ke Whisky atau Rainbow. Sesekali berkisah tentang kejayaan rock n roll di era lampau pada tamu-tamunya: masa menyenangkan sebelum musik yang hanya dibuat oleh perangkat lunak komputer datang menyerang. Kadang ia memberi nasihat kepada musisi muda agar tak terjerumus pakai narkoba, sama seperti ia memberi nasihat pada Jim dan Janis Joplin 50 tahun lalu. Pengelolaan Rainbow sekarang dipegang oleh Mikael Maglieri, cucunya. Keluarga Maglieri, Rainbow, dan juga Whisky sekarang menjadi benteng terakhir rock n roll di Los Angeles.
Namun kabar sedih datang: Mario Maglieri, bapak rock n roll yang dijuluki Lurah Sunset Strip ini meninggal dunia 4 Mei 2017 pada usia 94 tahun, sekitar pukul 3 sore waktu Los Angeles. Tak disebutkan penyebab meninggalnya Mario.
Meninggalnya Mario membuat banyak orang sedih sekaligus bersyak wasangka. Jangan-jangan ini adalah pertanda berakhirnya sebuah era di Sunset Strip. Berakhirnya era rock n roll yang liar dan menyenangkan. Kumuh sedikit tak masalah asal penuh kehangatan. Tak ada cerita melarat tapi hidup senang, seperti masa Motley Crue awal merintis karir. Romantisme itu akan berganti dengan gedung tinggi yang dingin dan congkak.
Dalam sayup pemakaman Mario, di belakang Whisky mungkin ada orang memutar “Maybe The People Would Be The Times Or Between Clark And Hilldale”, lagu ciptaan Arthur Lee dari band Love. Sebuah penghormatan untuk Whisky a Go Go. Sebuah lagu tentang berakhirnya sebuah era.
What is happening and how have you been
Gotta go but I’ll see you again
And oh, the music is so loud
And then I fade into the…
When I leave now don’t you weep for me
I’ll be back, just save a seat for me
But if you just can’t make the room
Look up and see me on the…