Pelajaran dari Yusi Avianto Pareanom

Sekira pukul 10 malam, pada akhir Maret lalu, sewaktu menunggu sate ayam selesai dibakar untuk kemudian dibawa pulang, saya menerima pesan via Facebook Mesengger. Pengirimnya adalah penulis kesayangan kita semua, Yusi Avianto Pareanom.

“Iseng. Versi ringkas. Judul tidak aku ganti,” tulisnya pendek.

Ternyata beliau mengirim versi editan tulisan saya tentang sop buntut Cut Meutia. Waduh. Saya gelagapan, tentu saja. Lha gimana ndak bingung sekaligus tersanjung. Bukan rahasia umum, kalau Mas Yusi adalah orang yang sibuk. Tapi toh beliau masih mau menyempatkan diri mengedit tulisan saya. Tak hanya itu, bahkan lelaki asal Semarang ini juga memberikan banyak wejangan terkait menulis.

Ia, misalkan, mengritik tulisan saya yang kadang bertele dan kerap memberikan keterangan tidak penting. Dalam kasus tulisan sop buntut ini, ia mengritik saya yang menulis ‘gang kecil’, dan juga sop buntut yang pakai kol.

“Kalau gang itu pasti kecil, kalau luas ya namanya alun-alun. Sop buntut Semarang dan Medan juga pakai kol. Jangan suka heran gitu ah,” tulisnya.

Saya nyengir. Rupanya tak cuma kekurangan soal menulis, kekurangtahuan saya perihal kuliner pun juga beliau sentil.

Setelahnya, saya langsung baca editan Mas Yusi. Jinguk, tulisannya jadi mengalir. Tak ada kalimat yang tak perlu. Ibarat kungfu, tak ada gerakan yang sia-sia. Semua terukur, efisien, dan tertata rapi. Kemudian, Mas Yusi kembali memberi pelajaran tentang kaki-dashi, alias kalimat pembuka dalam tulisan.

“Pembukamu terlalu panjang. Dan pembukaan dengan pernyataan itu kurang menarik, kecuali pernyataannya kuat. Padahal, kuncinya, kau harus membuat pembaca mau meneruskan setelah tiga-empat kalimat pertama,” tulisnya.

Saya mantuk-mantuk tentu saja. Sate masih dibakar. Penjual mulai meracik adonan bumbu kacang dan kecap.

“Pakai lontong apa nasi, dek?” tanyanya dengan logat Madura yang kental. Nasi, kata saya. Kemudian saya beranjak kembali ke layar telepon pintar.

Perihal kaki-dashi ini begitu sering dibahas oleh banyak penulis. Bahwa kaki-dashi yang bagus akan membuat pembaca tetap bertahan. Sedangkan sebaliknya: pembuka yang membosankan bisa membuat orang minggat.

“Pengulanganmu juga banyak. Sebenarnya bagian pembeli yang cerewet itu bisa dijadikan pembuka. Tapi berisiko kehilangan fokus,” lanjut Mas Yusi.

“Pembukaan ini tidak selalu harus berupa percakapan ya? Bisa deskripsi, dan lain-lain, yang penting menarik?” tanya saya.

“Ada beberapa teknik pembukaan tulisan. Intinya satu: mengail minat pembaca. Itu saja. Pembukaanmu di tulisan sop buntut ini kan seperti petisi.”

Jancuk. Saya merasa ditonjok di rahang. Hahahaha. Setelah saya baca ulang, benar memang. Kalimat pembuka saya terlalu kaku, pretensius, dan membosankan. Plus, ada banyak pengulangan yang bikin sebal.

Ia pun berkisah pendek tentang lead bercerita. “Teknik ini,” tulis Yusi, “dipakai menggambarkan suasana dan enak untuk tulisan perjalanan atau petualangan. Dengan cara ini, pembaca diajak hadir ke tengah cerita.”

Mendadak, ingatan saya melayang ke salah satu tulisan perjalanan beliau. Judulnya “Menyisakan Rasa Penasaran di San Fransisco”. Tulisan ini punya pembuka yang sangat memikat. Untuk tulisan perjalanan dari Indonesia, salah dua yang punya pembuka dahsyat adalah tulisan itu dan tulisan Puthut EA, “Ranting Dari Ahmad”.

Tentu saja setelah membaca kaki-dashi yang memikat, kau tak akan sanggup beranjak sebelum titik terakhir kau lihat. Begini kaki-dhasi “Menyisakan Rasa Penasaran di San Fransisco”.

Saya langsung mengeluarkan bungkus rokok begitu pantat menyentuh bangku tinggi di bar itu. Sedari tadi saya kedinginan di luar. Namun, belum lagi saya menarik pemantik, bartender sudah bersuara.

“Anda tak boleh merokok di sini,” katanya tegas, tangannya tak berhenti mengelap gelas-gelas kecil di meja.

“Tapi di sini bar,” saya memprotes.

“Bukan saya yang bikin peraturan,” katanya. Kali ini ia tersenyum seperti minta permakluman.

Pria kulit putih bertubuh subur di samping kanan saya ikut tersenyum mengangkat gelar birnya seolah mau bilang bahwa peraturan antirokok itu memang menyebalkan.

Apa boleh buat. Setelah memesan minum saya berputar dan melongok isi bar. Pemandangan pertama yang saya jumpai langsung membuat saya melongo. Dua lelaki bermesraan saling pagut bibir di sudut kanan. Bukan itu saja.

Saya langsung berbalik. “Jadi, saya tak boleh merokok sementara laki-laki itu boleh menjilati puting temannya?” kata saya kepada bartender.

Ia langsung ketawa ngakak sementara laki-laki gemuk itu hampir tersedak.

“Ha, ha, ha, selamat datang di Distrik Castro, kawan,” kata bartender sembari menepuk bahu saya.

“Anda boleh menjilat puting saya jika Anda mau,” kata si gemuk setelah reda tawanya.

Giliran saya yang tersedak.

Kurang ajar memikatnya kan? Malam itu saya manggut-manggut. Mendapat pelajaran berharga. Mungkin pelajaran seperti ini sudah pernah saya dapatkan entah di mana, bisa di Tegalboto, atau di kelas menulis lain. Namun saya gudangnya alpa. Maka obrolan dengan mas Yusi malam itu sungguh sangat berharga. Membuat saja kembali belajar ulang tentang kaki-dashi.

Sepuluh tusuk sate sudah selesai dibungkus. Aromanya mengintip keluar dari celah kertas pembungkus. Wangi. Saya beranjak pulang. Ini tulisan Sop Buntut Cut Meutia editan mas Yusi. Sila dibaca dan dibandingkan dengan tulisan versi non editnya.

***

Sop Buntut Cut Meutia

Masih ada sisa minyak, ceceran nasi, dan tumpahan kuah di meja yang dilapisi helai mika dengan merk minuman botol. Melihat ini lidah saya malah makin tak sabar. Orang yang bersantap sebelum saya di meja itu pasti sangat menikmati makan siangnya sehingga makannya sampai tumpah-tumpah. Siang itu saya berada di berada di Warung Sop Buntut Semoga (Hj. Nurjanah) di Jalan Menteng Kecil, sebuah gang yang berada pas di belakang Masjid Cut Meutia, Jakarta Pusat. Tempat ini mudah dicari, tak jauh dari Stasiun Gondangdia.

Pesanan saya datang. Saya langsung “segan”. Daging buntutnya berwarna merah, ini ciri daging berkualitas. Buntut yang seperti ini menyimpan kaldu yang gurih dan berminyak. Isian pendampingnya tak lazim di mata saya. Selain kentang, wortel, seledri, dan bawang daun, ada beberapa lembar daun kol berenang tenang di kuah pekat yang saya yakin berasal dari rebusan buntut selama berjam-jam.

Saya menyendok kuahnya. Rasanya asam segar. Sepertinya kuah sop ini sudah mendapatkan kucuran jeruk nipis sebelumnya. Tapi, sebelum melanjutkan menyantap, saya sempat terusik karena ulah seorang pengunjung yang cerewetnya luar biasa. Laki-laki paruh baya berkacamata itu minta sop tanpa nasi dan sayuran, tanya perkedel ada atau tidak, sampai meminta bantuan pelayan membukakan botol mineral. Untunglah, segala petingkahnya yang menjengkelkan itu tak mengendurkan nafsu makan saya.

Daging buntut yang lembut langsung lumer saat bertemu gigi saya. Kuah daging yang kental menyembur di rongga mulut. Sebenarnya, saya tak memacak ekspektasi tinggi saat datang tadi. Soalnya, untuk sop buntut standar saya adalah masakan Mamak saya yang rasa-rasanya hingga sekarang belum menemukan lawan tanding. Siang itu juga bukan perkecualian. Sop buntut Hj. Nurjanah masih satu tingkat di bawah masakan Mamak.

Namun, sop buntut ini sangat layak dikunjungi karena menjumpai sop buntut yang enak di Jakarta tidak mudah. Ada beberapa hal yang perlu dicermati saat makan di warung ini. Sambal di warung ini sangat kuat rasa asamnya. Kalau kita menambahkan sambal terlalu banyak, rasa asam sambal akan mengalahkan rasa asam sopnya.

Porsi nasi di warung sangat sedikit, empat atau lima suap sudah tandas. Bagi para penggila hidratarang ini tentu tidak cukup. Jika dua piring nasi belum juga cukup, mungkin perkedel kentang bisa dicoba sebagai variasi asupan karbo.

Warung sop buntut ini sudah berdiri sejak 1970-an. Menurut sang penjual, cita rasa asam segar mereka pilih karena pengunjung mereka menyukainya. Menilik lokasinya yang berada di gang, pemeo rasa adalah segalanya layak disematkan ke warung ini. Reputasi yang terjaga membuat warung selalu dikunjungi, dengan puncak keramaian pada jam makan siang.

Pengunjungnya dari segala lapisan. Bahwa beberapa ada yang perilakunya tengil, itu rejeki orang-orang yang kebetulan berbarengan makan bersamanya, termasuk saya pada siang itu.

Secara keseluruhan, saya merekomendasikan Sop Buntut Semoga. Memasak sop buntut mesti telaten.

Untuk has dalam, has luar, atau sandung lamur dan samcan belakang, si juru masak akan dirajam dan dihinakan serendah-rendahnya jika mengolah bagian-bagian itu terlalu lama sampai well done—dianggap dosa besar tak terampuni di mata steak purist. Untuk buntut lain perkara. Buntut adalah bagian sapi yang paling berkarakter dan rasanya paling kaya, tapi juru masaknya harus mengolahnya berjam-jam. Karena alasan inilah pergi ke sop buntut di Cut Meutia menjadi sangat pantas.

Oh ya, kini saya sedang mengincar sop buntut Mr. Sangid ex Borobudur. Bagi yang belum tahu, Pak Sangid adalah mantan koki Hotel Borobudur yang menciptakan resep sop buntut khas sana. Setelah pensiun, Pak Sangid menurunkan resep andalannya itu ke putrinya. Sang putri, yang mantan chef di Jepang, lantas mengembangkan menu buntut menjadi aneka macam olahan. Mulai buntut goreng mentega, buntut bakar, hingga buntut sambal dabu-dabu.

Omong-omong soal masakan buntut, saya jadi ingat kelakar ayah saya. “Bagian-bagian yang paling enak itu justru yang terletak di bagian belakang. Di ayam, ada brutu. Sedang di sapi, ya buntut.” Mungkin ayah saya asal bunyi waktu itu. Tapi, setelah menjajal sop buntut di Cut Meutia, saya berpikir boleh jadi Ayah benar.

2 thoughts on “Pelajaran dari Yusi Avianto Pareanom

  1. artikel sampeyan kali ini bener-bener asik, tentang penulis keren yang dikomentari penulis yang tak kalah keren, untuk kemudian ditulis kembali menjadi tulisan baru yang jadi keren..

    entah apa jadinya kalau tulisan saya dihajar oleh mas Yusi di atas, ah tampaknya melihat kalimat pembukanya saja bakal membuat beliau menguap lebar haha

    makasih atas tulisan ini, saya jd bisa belajar lebih banyak 🙂

    1. Hehehe, suwun mas 🙂 Sampean kapan-kapan harus ketemu sama mas Yusi ini. Orangnya asyik, kayak sampean 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published.