Rujak Madura dan rujak cingur itu serupa tapi tak sama. Nama yang pertama, memakai petis merah. Beken dengan nama petis Madura. Seperti karakter masakan Madura, petis Madura jauh lebih asin dan gurih ketimbang petis hitam yang bercitarasa sedikit manis.
Kalau rujak cingur ala Surabaya, biasanya tak pakai petis Madura. Cukup petis hitam. Makanya warnanya hitam pekat. Kalau rujak Madura kebalikannya. Zonder petis hitam, hanya petis Madura. Warnanya jadi cokelat berkilat. Rasanya pun lebih gurih, dengan tendangan rasa asin yang menonjol.
Sejauh pengamatan saya, rujak Madura hanya populer di daerah asalnya dan jazirah Tapal Kuda: Jember, Bondowoso, Lumajang, Situbondo. Daerah itu memang banyak dihuni oleh pendatang asal Madura yang dulu didatangkan untuk menggarap kebun-kebun milik Belanda.
Para pendatang asal Madura ini lantas berbaur dengan masyarakat Jawa yang datang dari kawasan Mataram. Karena itu penduduk di Tapal Kuda kebanyakan bisa berbahasa Madura, tapi tak mau disebut sebagai orang Madura. Mereka punya identitas sendiri: pendalungan, atau orang campuran. Meski begitu, perihal rasa mereka tetap tak jauh dari leluhur, menyukai rasa asin dan gurih khas masyarakat pesisir. Tak heran kalau rujak dengan petis Madura memang hanya populer di Madura dan kawasan Tapal Kuda.
Meski tak memakai petis hitam ala rujak cingur, isiannya nyaris sama. Timun, tempe, tahu, kedondong mangga, cingur, kangkung, dan toge. Di Bangkalan, Madura, saya pernah menemukan rujak dengan isian buah jambu monyet. Memberi rasa sepat yang unik.
Kalau di Jember, rujak langganan saya ada di bilangan Raden Patah. Dekat SD saya. Rujak ini langganan ayah dan mamak sejak masih kuliah. Usaha ini diteruskan oleh anaknya. Ada pula rujak Mbah Minah di belakang TK Pertiwi. Rujak ini sudah ada sejak zaman penjajahan Jepang. Mbah Minah kini sudah meninggal. Saya belum sempat datang ke warung yang terletak dalam gang sempit ini selepas beliau meninggal. Bisa jadi rasanya sedikit berubah.
Malangnya, di Jakarta nihil penjual rujak Madura. Adanya rujak cingur ala Surabaya yang pakai petis hitam dan agak manis itu. Dan sejak beberapa hari lalu saya ngidam rujak Madura. Bayangan petis yang kental dan berwarna cokelat, dengan harum laut yang kuat, serta rasa asin yang menggelitik lidah, begitu mengganggu tidur saya.
Iseng, saya curhat ke Budi soal keinginan makan rujak Madura. Bagi yang belum tahu, Budi adalah kawan saya semenjak lama sekali. Kami sudah berteman semenjak sekolah di SMP yang sama. Kemudian di SMA yang juga sama. Begitu pula ketika kuliah di jurusan dan kampus yang sama. Berkali-kali mengulang mata kuliah yang sama (apalagi kalau bukan Grammar dan Syntax), hingga sekarang pun bersama-sama memburuh di Jakarta. Mendengar rengekan saya, tak dinyana ia mengajak saya untuk membuatnya.
“Ibunya Rere (mertua Budi) selalu stok petis Madura, gak usah khawatir,” katanya. Kebetulan, mertua Budi berasal dari Madura.
Akhirnya saya rela bangun pagi untuk kemudian memacu motor ke rumah Budi yang terletak di Sawangan. Untung Jakarta sedang ramah. Para penghuninya banyak yang memindah macet ke arah Bandung dan Yogyakarta. Jadi jalanan lumayan kosong melompong. Perjalanan ke rumah Budi hanya butuh 40 menit, kalau di hari biasa butuh 1 jam.
Ternyata Budi juga berjuang keras untuk mewujudkan rujakan ala Madura ini. Ia kerepotan mencari pisang kluthuk (di Jakarta disebut dengan pisang batu). Di pasar manapun, Budi tak bisa mendapat pisang kluthuk. Padahal pisang kluthuk ini adalah elemen kunci dalam rujak Madura. Budi mencari pisang ini hingga Ciputat, sekitar 10-12 kilometer dari rumahnya.
Akhirnya pisang kluthuk didapatkan di lapak penjual rujak manis. Tentu saja sebenarnya pisang kluthuk itu tidak dijual. Tapi Rere, yang sedang hamil 5 bulan, merajuk.
“Ayolah, Pak. Saya sedang ngidam nih.”
Akhirnya bisa ditebak: sang bapak iba dan menjual setandan pisang kluthuk itu. Hehehe.
Saat saya sampai, Budi baru saja usai menggoreng tempe dan tahu. Juga sudah mencuci bersih toge dan merebus kangkung. Kacang juga sudah digoreng. Petis siap sedia. Air asam siap dituang. Ulekan pun demikian. Cingurnya mana? Kebetulan, saya dan Budi kurang suka cingur. Entah kenapa. Apalagi mengolah cingur itu sedikit susah. Kalau salah perlakuan, cingur bisa amis. Ditambah lagi, agak susah mencari cingur di pasar dekat rumah Budi.
Budi kebagian tugas membuat semuanya. Dia juga ingin membuktikan pada Rere kalau membuat rujak itu perkara gampang.
Langkah pertama, kupas dulu pisang kluthuk. Lalu diiris tipis. Beri kacang. Kemudian siram air asam. Tabur sedikit garam. Ulek hingga setengah halus. Kasih petis. Ulek lagi sampai menyatu. Kasih air hingga adonan larut. Budi semangat sekali mengulek dengan tangan kirinya (omong-omong, Budi memang kidal). Setelah saus rujak sudah siap, tinggal potong tempe, tahu, ditambah dengan sejumput toge dan sejeput kangkung. Campur.
Saya kebagian menyaksikan dan mendokumentasikan kejadian kudus ini. Saat petis dikeluarkan dari wadahnya, bau pesisir seperti membawa saya pulang ke Jember, kota yang dijanjikan. Saya sudah bisa merasakan asinnya petis bahkan sebelum saya membuka mulut.
Ketika Budi menyodorkan piring, saya terdiam sejenak. Penantian panjang ini akhirnya usai juga. Kami bikin rujak tanpa lontong. Gantinya adalah nasi. Full strike carbohydrate! Saya menyendok nasi, potongan timun, tempe, dan tahu, dan saya cium aromanya. Saya mendegut ludah. Ketika akhirnya masuk mulut, saya tahu kalau saya sudah tak butuh apa-apa lagi untuk bahagia.
Selepas menyantap rujak yang bakal bisa membuat saya tidur dengan nyenyak, Budi mengeluarkan botol berisi cairan hitam.
“Iki cold brew, soko kopi sing mbok kei,” katanya.
Beberapa waktu lalu saya memang memberi biji kopi dari Jember. Dikasih oleh Mas Bebe. Budi lantas menggerindanya, setengah kasar, lalu dibuat cold brew. Rasanya masam dan segar. Enak sekali kalau diberi campuran susu. Saya dan Budi menghabiskan siang dengan bercakap ngalor ngidul. Menjelang sore, saya pamitan. Sebelumnya, saya punya satu permintaan lagi.
“Bud, nambah lagi dong rujaknya.” []
kalau rujak cingur pernah coba yang madura belum, jd penasaran rujak madura
Kalau main ke tapal kuda, harus coba tuh 🙂