Oleh: Tejal Rao
Foto: An Rong Xu
Sekarang hari Rabu pukul 6 pagi, dan Kabir Ahmed sudah menunda bunyi alarmnya berkali-kali. Ia bergerak pelan, telanjang kaki, di apartemen kecil dua lantainya yang terletak di Jamaica, Queens, membuat suara berderak di sepanjang lorong berwarna hijau dan merah muda.
Dia terlambat, tapi tak mau tergesa agar tidak membangunkan istri dan tiga anaknya, dan ibunya, yang akan bangun sejam lagi untuk sembahyang dan memasak sarapan. Ia mengenakan topi baseball, menyeret kakinya masuk ke bakiak karet, dan bersegera pergi tanpa sempat minum kopi.
Ahmed, 46, berjualan nasi dan ayam. Dia pindah dari Bangladesh 23 tahun lalu, dan sekarang menjadi pemilik gerobak makanan halal yang terletak di Jalan Greenwich, dekat World Trade Center, buka sepanjang tahun, hujan atau panas. Dia juga satu dari sekitar 10.000 orang, sebagian besar imigran, yang menggantungkan hidup dari menjual makanan di trotoar: tamale babi, hot dog, nasi goreng gulung, ayam suwir.
Para pedagang kaki lima adalah ornamen di jalanan New York dan merupakan pemandangan rutin bagi para New Yorker, bagian penting dari budaya kota ini. Tapi dari hari ke hari, mereka berjuang melawan berbagai rintangan: peraturan usang kota yang menyusahkan para pedagang kaki lima, denda amat besar bagi pelanggaran kecil (seperti letak gerobak yang lebih 1 inci ke pinggir jalan), dan sesekali ribut dengan pemilik gerobak atau warga. Belum lagi masalah cuaca, tingkah pejalan kaki, dan ujian berdiri berjam-jam, seringkali sendirian, zonder ruang privat.
“Apa yang susah dari pekerjaan ini?” kata Ahmed. “Semuanya susah. Kalau aku bertambah tua, aku gak bakal bisa kerja seperti ini lagi.”
Pekerjaannya memang amat menuntut dan amat rutin. Ahmed kerja 5 atau 6 hari dalam seminggu, 8 jam kerja per giliran. Jika naik kereta, perjalanan dari rumahnya menuju Lower Manhattan bisa ditempuh dalam waktu satu jam. Kalau dia dapat kursi di kereta E, dia tidur. Tenggelam di antara desakan badan orang asing, atau menonton film di ponselnya. Minggu lalu film yang ditonton adalah Asoka, yang diambil dari kisah hidup penguasa India di zaman besi, dimainkan oleh salah satu aktor favoritnya sepanjang masa, Shah Rukh Khan.
Tapi hari ini, Ahmed memeriksa emailnya terlebih dulu, berharap ada kabar dari salah satu sekolah pra yang sedang memproses ujian masuk anak bungsunya, Karen. Tapi nihil.
Pada pukul 7.15, dia sudah sampai di tempatnya berjualan, yang ia dapat tiga tahun lalu berkat omongan mulut ke mulut: sebuah petak lebar dari trotoar di depan bangunan BNY Mellon, lokasi yang menjadi amat sibuk dan riuh saat siang, kala semua orang di distrik finansial ini –campuran bankir Wall Street dan pekerja bangunan, pelajar, dan wisatawan– ingin membelanjakan 5 atau 6 dolar untuk makanan panas cepat saji.
Meski sesekali ada perang urat saraf antar PKL, Ahmed tak pernah ribut untuk lokasi berjualan. Dia beli sarapan –kopi dan donat– dari PKL di dekat lokasinya, yang memberi “diskon tetangga” untuk Ahmed.
“Selamat pagi, tetanggaku!” adalah sapaan hangatnya tiap hari kepada sekitar 6 PKL lain di bloknya.
Seperti banyak pemilik gerobak, Ahmed mempekerjakan satu supir untuk mengantar gerobaknya setiap pagi dan meletakkan gerobak itu ke garasi penyimpanan tiap malam. Pemilik lain mencantolkan gerobak ke mobil dan membawanya, tapi mereka harus ribet mencari tempat parkir.
Namun pada 7.40, Ahmed mulai gelisah: supir gerobaknya terlambat. “Mungkin bannya bocor,” katanya. Dia tetap kalem, meski kadang dia tetap membayangkan hal terburuk. Ahmed adalah warga New York saat terjadi traged 9/11, dan bagian kota ini punya arti baginya. “Banyak orang, mereka kerja sepertiku. Mereka berpikir hari itu adalah hari biasa,” ujarnya.
Ini bulan April yang berawan dan dingin, Ahmed masih ngantuk, tapi dia tak tergoda menyeruput kopi panas kedua. Dia sadar diri, sebelum rekannya muncul 8 jam dari sekarang, ia tak bisa meninggalkan gerobak untuk rehat ke toilet yang terletak di toko Target, seberang jalan; atau di Whole Foods, sekitar berapa blok dari lokasinya. Segelas kopi tambahan di hari yang terlampau pagi ini terlalu beresiko.
Akhirnya supir datang membawa gerobak Ahmed pada 7.52, dan dua orang ini langsung bekerja cepat. Di dalam gerobak suhunya dingin, bersih, dan dipenuhi kotak berisi bahan baku.
Bahan makanan datang dari dapur rekanan yang terletak berdampingan dengan garasi gerobak di Long Island City, Queens. Pemkot mengharuskan gerobak makanan dilayani dan disuplai oleh rekanan yang banyak tersebar di New York, dengan berbagai ukuran, dengan pemilik yang berbeda pula.
Dengan ongkos tambahan, dapur rekanan ini menyediakan kebutuhan Ahmed untuk sehari: selada, beberapa dus tomat dan kentang, domba halal siap iris, beberapa bungkus paha ayam tanpa tulang, dua karung ukuran 5,4 kilogram berisi beras basmati, empat kontainer besar air bersih untuk memasak dan mencuci, tumpukan wadah makanan, dan tisu.
Ahmed mengikat apron dan menaruh beberapa kotak di bawah gerobak sehingga ia bisa masuk dan mulai kerja. Kalau ada kotak yang menyembul melebihi batas gerobak, ia bisa kena denda hingga 1.000 dolar. Begitu juga kalau gerobaknya diparkir melebihi 6 inci dari pinggir jalan, juga 20 meter dari pintu masuk gedung. Ahmed hafal betul peraturan itu.
Dia menyambungkan gas dan mulai memanaskan panggangan. Ia memotong selada dan tomat, memanggang domba dan beberapa tangkup potongan ayam. Dengan hati-hati di ruangan yang amat kecil, dia menjaga agar masakan vegetariannya berada di bagian yang terpisah. Selama beberapa saat, Ahmed mencacah bawang bombay dalam diam.
“Kalau aku nyetel musik, aku bisa terganggu,” katanya. “Aku bisa lupa ngasih garam.”
Meski saat baru memulai berjualan Ahmed hanya punya sedikit pengalaman memasak, istrinya, Sheren Akter, mengatakan makanan buatan Ahmed lebih baik ketimbang dagangan PKL lain: tidak berminyak, lebih penuh rasa, dibumbui dengan baik.
Menunya terdiri dari sekitar 20 hidangan, sebagian besar dimasak begitu ada pesanan. Tapi dia hafal menu paling laris, seperti biryani ayam, bertabur bawang goreng dan daun ketumbar, diberi separuh telur rebus. Harganya 6 dolar sudah termasuk minum. Ahmed ingin menaikkan harganya, tapi takut akan kehilangan pelanggan.
Untuk membuat biryani, Ahmed menumis bawang bombay hingga layu. Kemudian dia menambahkan kayu manis, pekak, kapulaga hijau, dan daun salam. Sebelum meletakkan ayam, dia menambahkan pasta bawang putih dan sesendok makan ghee (sejenis minyak samin). Dia memasak nasi di wadah yang sama, tinggal tambahkan air dan campuran rempah yang berisi, antara lain, pepaya kering dan plum. Semua pelintas, orang yang lewat dengan menenteng mug dan mengenakan ID karyawan, atau orang yang berjalan-jalan bersama anjing, atau mereka yang lewat dengan mendorong kereta bayi, akan menghirup wangi biryani ayam buatan Ahmed.
Salman Akhtar, mahasiswa kesehatan di Borough of Manhanttan Community College, adalah pembeli pertama Ahmed hari itu, pada pukul 9.30. Mereka bercakap dengan bahasa Bangla, dan saat Ahmed ngobrol dengan bahasa ibunya, suaranya lebih keras dan lebih cepat, dan semakin gesit melempar guyonan.
Ahmed datang ke New York sendirian saat berusia 23. Dia pernah belajar akuntansi dan perdagangan di Dhaka College, tapi dia butuh beberapa bulan untuk bisa dapat kerja di Queens. Kala itu, dia berutang hampir 3.000 dolar ke kawan sekamarnya di Sunnyside.
Dia bekerja untuk melunasi utang, jadi supir bis atau taksi. Namun kemudian setelah Ahmed menikah dan punya anak, dia bermimpi punya bisnis kecil-kecilan yang bisa ia kembangkan kelak.
Maka dia memasukkan aplikasi izin untuk PKL makanan, mengambil kelas kesehatan dan keamanan yang diwajibkan, membeli gerobak bekas dan membawanya untuk diinspeksi pegawai kota. Departemen Kesehatan memeriksa gerobak makanan ini setidaknya sekali setahun, dan akan lebih sering kalau ada laporan pelanggaran.
Namun Ahmed masih perlu surat izin menjual makanan keliling, dan karena izin ini sudah tak dikeluarkan sejak 1980-an, hanya ada sekitar 4.000 izin yang beredar. Ahmed menyewa surat izin ini dari seorang pemilik izin yang memalak Ahmed dan rekannya sebesar 25 ribu dolar untuk sewa 2 tahun. Padahal si pemilik cuma mengeluarkan 200 dolar untuk membuatnya. Ahmed masih menyewa surat izin itu hingga sekarang.
Sehari lalu, Ahmed menerima pesan pendek: 100 pedagang akan berdemo perkara surat izin ini. Demonstrasi ini diatur oleh Street Vendor Project, kelompok nirlaba yang merupakan bagian dari Urban Justice Centre dan menawarkan bantuan hukum bagi para PKL. Mereka berharap bisa menekan DPRD untuk meloloskan Undang-Undang Street Vending Modernization Act, yang akan menambah jumlah izin berjualan makanan keliling secara bertahap hingga 7 tahun ke depan. Ahmed, yang beranggapan biaya semacam itu harusnya lebih murah, ingin bergabung dengan demonstrasi itu. Tapi seperti kebanyakan PKL lain, dia tak bisa meninggalkan pekerjaannya.
“Sistem ini memang gila,” kata Ahmed. “Seharusnya siapapun yang punya izin berjualan, harus dikasih juga izin. Itu akan baik untuk kami semua.”
Saat kehebohan makan siang dimulai sejak 11.30, Ahmed tak bisa beranjak dari gerobaknya. Dia tak lagi sendirian. Saat siang, dia ditemani dua orang lagi –rekannya dan seorang pegawai– di gerobak sepanjang 3 meter. Mereka bekerja dengan efisien di sekeliling panggangan, penggorengan, dan meja kukusan, membuat ritme sendiri di tengah gelombang pesanan yang makin menumpuk seiring makin banyaknya orang yang muncul.
Satu biryani ayam, tanpa salad (dipesan pelajar jurusan administrasi bisnis yang memakai penutup telingan dan sepatu datar beludru berwarna hitam). Ayam dan nasi, tanpa bawang (dipesan seorang berwajah marah, berpipi merah, yang mengenakan setelan biru lungset). Kati roll dengan sayuran (dipesan pekerja bangunan dengan sepatu berdebu, yang menyiulkan lagu latar Frasier).
Di hari baik, setelah membayar ongkos pengemudi dan garasi, dan membagi dengan rekannya, Ahmed bisa membawa pulang 125 dolar. Bagi seorang pemilik gerobak, jumlah itu tidak wajar.
Ia bisa dapat lebih, bekerja lebih lama sendirian, tapi Ahmed tak mau. Ia sering berkisah tentang seorang PKL yang membuat makanan paling enak, saking larisnya ia pernah membawa 3.000 dolar dalam sehari. Pedagang itu bekerja sendirian, dan bekerja keras bagai kuda, sehingga jatuh sakit. Sekarang si pedagang itu tidak bisa bekerja dan tidak ada orang yang merawatnya.
Anak lelaki Ahmed, Kowshik, yang bermimpi kerja untuk NASA, akan masuk SMA musim semi ini, dan Ahmed ingin semua anaknya berkuliah. “Makanya sekarang aku tak boleh sakit,” kata Ahmed, “dan aku tak boleh berhenti bekerja.”
Pada 15.30, giliran Ahmed selesai dan dia berjalan ke stasiun bawah tanah. Rekannya akan terus berjualan hingga tutup pada pukul 20.00.
Sekarang kaki Ahmed terasa ngilu dan punggungnya linu. Belakangan ini punggungnya selalu sakit. Kereta F terlambat, tapi Ahmed yang selalu mengikuti meme terbaru dan nyaris tak bersentuhan dengan internet selama kerja, tak kesal atau keberatan. Dia menghabiskan waktu dengan menonton video-video lucu.
Ia melihat video yang sama sebanyak tiga kali: video dari 2015, seorang perempuan berusia 102 tahun yang ingin meniup lilin ulang tahun, tapi malahan gigi palsunya meloncat keluar dan mendarat di kue ulang tahun. Orang-orang di jalur tunggu kereta mulai menengok ke Ahmed yang tertawa hingga perutnya terguncang dan nyaris menangis. Di kereta, ia dapat kabar kalau anak bungsunya keterima di sekolah pra.
Pada pukul 17, dia sudah di rumah, menelpon beberapa kali dan kemudian mandi. Nyonya Akter, yang bekerja paruh waktu sebagai kasir di supermarket Key Food, juga sudah ada di rumah. Dia membuat seteko kopi dan menghangatkan makanan yang dibuat ibu Ahmed: kari sapi, kentang dalam kaldu, cacahan melon pahit (Momordica charantia) yang ditumis dengan bawang bombay, salad tomat dan timun, serta dua jenis nasi.
Ini adalah jamuan besar, diletakkan di meja sempit di ruang tamu, di mana TV memutar sinetron. Saat mereka berkumpul, Karen memanjat sofa untuk meringkuk dalam selimut, dan Akter menyisir rambut Karen.
Setelah bekerja di hari Jumat, Ahmed biasanya pergi ke masjid, tapi hari ini tidak. Dalam waktu beberapa jam lagi, waktunya menonton berita.
Setiap tahun, mereka menabung sehingga Akter bisa membawa anak-anaknya ke Dhaka untuk silaturahmi dengan para saudara. Tapi minggu lalu, dia menyarankan liburan naik kapal pesiar ke Karibia. Ahmed merasa mereka tak sanggup membiayai liburan seperti itu, apalagi liburan ini akan membuatnya tak kerja terlalu lama.
Tapi setelah naik kereta E hari ini, mengupas kentang, mengganti tabung gas yang kosong, dia memikirkan liburan yang sama. Dia berangan-angan seperti apa rasanya naik kapal pesiar, bagaimana rasanya pergi berlayar di kapan besar dengan keluargamu, berlibur seperti di dalam film, dan merasakan tidur tanpa perlu menghidupkan alarm. []
Catatan: artikel ini diterjemahkan bebas dari sini.