3 Tahun Tak Tahu Arah dan Tak Tahu di Mana Kaus Kaki

Seminggu lalu saya kesal bukan buatan. Saya sedang di Cilandak, kerja sembari numpang internetan gratis buat mengunduh film. Rani mengabari mau pulang, minta dijemput. Saya bilang kita ketemuan di halte TransJak Kementrian Pertanian. Dulu waktu ngontrak di TB Simatupang, saya sering mengantar Rani di halte itu. Dia setuju.

Sekitar 30 menit kemudian dia ngabari udah hampir sampai. Saya bergegas menuju halte sembari sedikit berhujan-hujanan. Sampai halte, saya tunggu. 5 menit. 10 menit. 15 menit. Asem, mana bocah ini. Lalu dia telepon.

“Aku gak jadi di halte Pertanian.”

“Lhaaa, di mana?”

Suaranya tampak kebingungan. “Di Trakindo,” katanya dari balik telepon. He? Halte Trakindo, tanya saya. Dia tambah bingung. Saya tambah kesal. Hujan tambah deras. Kampret.

“Tadi gak naik bis biasa. Naik bis kecil.”

“Ya udah, dijemput di mana jadinyaaaa,” kata saya sembari agak menegangkan urat leher.

“Ini lho di tempat kamu sering makan kerang bau itu.”

Saya bingung. Kerang bau apaan, Bang???

“Kerang kiloan?”

“Iya itu pokoknya yang kamu suka.”

Lha. Kerang kiloan yang dimaksud itu ada di Fatmawati. Dan seingat saya, kami cuma sekali makan di sana karena harganya mahal dan gak bikin kenyang blas.

“Pokoknya halte setelah Pertanian,” kata Rani.

Saya sudah ngut-merengut. Seingat saya setelah Pertanian, tak ada halte lain kecuali halte terakhir, Ragunan. Saya pun pergi ke sana. Benar, tak ada halte lagi. Saya telepon Rani dengan kesal yang sudah nyaris di ubun-ubun.

“Kamu di manaaaaaa?”

Saya pernah membaca idiom menarik tentang perbedaan lelaki dan perempuan: perempuan tak bisa baca peta, lelaki tak tahu letak kaos kaki. Meski idiom itu tak perlu dipercaya sepenuhnya, ia berlaku untuk kami berdua. Rani buta arah. Saya sering meledeknya direction retarded. Jahat memang, tapi Rani mengiyakannya. Sedangkan saya –kalau sedang kumat ingin pakai sepatu– selalu bertanya di mana kaus kaki.

Saya tahu Rani pasti gugup. Baginya yang imbisil soal arah, berada di tempat asing itu pasti menakutkan. Jangankan disuruh menjelaskan arah menuju ke sana, dia bahkan tak tahu lokasinya di mana. Tapi kekesalan saya menutupi rasa memahami itu.

“Ini dekat tempat kamu makan kerang bau ituuuu,” katanya setengah panik.

Saya pingin makan orang.

Saya tetap mencecarnya. Menuntut agar memberikan, paling tidak, patokan arah. Itu cara paling mudah untuk menemukan orang yang tersesat. Asal jangan kasih patokan Indomaret atau Alfamart aja.

“Itu di perempatan yang arah mau ke Cilandak,” katanya.

Lalu saya dengar suara Rani bertanya ke orang di dekatnya.

“Arah ke Cilandak KKO.”

Masyaallah. Tadi saya lewat sana. Coba dari tadi kasih petunjuk begitu. Lalu segera saya ke sana. Benar, 5 menit setelah saya tutup telepon, saya melihat Rani di pinggir jalan. Mukanya ketakutan. Bukan karena takut diculik. Tapi takut karena muka saya seram.

Di perjalanan saya diam saja. Masih amat kesal. Gini amat istriku. Sudah 5 tahun tinggal di Jakarta masih gak tahu nama daerah. Dan asal tahu saja, Cilandak KKO itu jalan yang kami lewati setiap malam kalau pulang kantor, sudah berjalan sejak 6 bulan, sejak kami tinggal di Depok. SETIAP MALAM! Bisa kau bayangkan Rani bahkan tak bisa menyebutkan nama daerah yang dilewati SETIAP MALAM selama 6 bulan itu?

Sampai rumah, kekesalan saya sudah lumayan menguap. Rani merayu supaya saya tak marah.

“Kan tadi udah aku bilang, itu tempatmu suka makan kerang bau itu.”

“Kerang bau apaan sih woyyy,” kata saya kesal.

Rani lalu mendeskripsikannya: kecil, warna kuahnya gelap, dimakan pakai lontong.

“Ya tuhan. Itu namanya lontong kupang wooooy.”

Dan asal tahu saja, lontong kupang langganan saya itu ada di Fatmawati, bukan di Cilandak. Demi Toutatis.

“Tapi kamu baik ya, meski aku bikin kesel tetep aja kamu jemput,” kata Rani merayu.

Dasar perempuan perayu.

***

Apakah bahagia itu? Entah. Tapi menurut fisuf Inggris, Richard Ashcroft, kebahagiaan itu cuma perkara perubahan dalam diri. Perubahan dalam kebebasan. Kebahagiaan, sama seperti kesedihan atau kemarahan atau kebosanan atau kekesalan, datang dan pergi.

Ada banyak hal yang berubah sejak saya menikah. Banyak. Mulai cara bersikap. Cara mengendalikan kemarahan. Berdamai dengan banyak hal. Tapi saya juga belajar banyak cara sederhana untuk berbahagia. Sukses memasang rak susun. Rumah tak lagi bocor. Koleksi buku tambah banyak. Tomat murah. Telur asin masir. Banyak hal.

Satu yang pasti, saya merasa sebagai lelaki beruntung karena punya pasangan seperti Rani. Ia tabah benar menghadapi seonggok lemak penuh dosa dan egoisme seperti saya. Soal betapa sabarnya dia menghadapi saya yang kemproh ini tak usah diceritakan lah ya, sudah pada tahu sepertinya.

Hari ini adalah peringatan 3 tahun kami menikah. Ini memang durasi yang masih amat pendek. Tapi ada satu dua hal yang memang sepertinya patut dirayakan. Mungkin salah satunya momen pernikahan. Tahun lalu kami terpaksa merayakan via layar ponsel, terpisah jarak dan zona waktu. Kali ini pun kami belum bisa merayakan bersama. Saya memilih menginap di kantor karena besok pagi harus liputan. Pilkada memang sialan. Ia tak hanya memecah belah banyak orang, tapi juga membuat banyak orang gagal kelonan. Wkwk.

Tapi malam nanti, setelah semua kerjaan selesai, saya berencana memasak untuk kami berdua. Putra, chef cabul itu, memberi saya rekomendasi toko daging murah. Saya ingin memasak sekerat daging saus jamur kesukaan Rani.

“Terus ayam goreng ungkep.”

Saya mengiyakan.

“Terus ceker dimsum.”

Saya mengiyakan.

Dan pasti ada telur masir dari warung langganan kami. Saya yang bikin propaganda kalau telur asin itu enak. Rani pertama kali makan telur asin gara-gara saya paksa. Sejak saat itu, ia kecanduan telur asin. Kasus yang sama juga terjadi dengan ceker. Seumur hidup, sebelum bertemu saya, Rani tak pernah makan ceker. Setelah saya rayu, baru dia mau. Rekornya: satu panci ceker (sekira 1 kilogram) buatan saya pernah ia tandaskan.

Tapi saya harus beli beras pulen dulu. Di rumah berasnya pera’, tipe kesukaan Rani. Saya kurang cocok. Ah pernikahan memang sederhana. Yang hebat hanya tafsirannya saja.

Selamat 3 tahun pernikahan, Cuk!

One thought on “3 Tahun Tak Tahu Arah dan Tak Tahu di Mana Kaus Kaki

Leave a Reply

Your email address will not be published.