Saya mengenal Semarang dari tiga cerita. Terlampau sedikit memang. Ada banyak kisah Semarang yang dituturkan, tapi tiga ini adalah yang begitu membekas.
Pertama adalah kisah Bondan Winarno tentang Gang Pinggir, sebuah daerah di Semarang yang banyak dihuni oleh warga keturunan Tionghoa. Sama seperti sebuah keniscayaan manapun, berkumpulnya warga Tionghoa berarti satu hal: ada banyak sekali rumah makan yang menyajikan makanan enak.
Kedua, dari kisah-kisah Yusi Avianto Pareanom. Saya mendapati hubungan antara mas Yusi dan Semarang seperti hubungan cinta dan benci. Sekali waktu, dia mengisahkan para orang Semarang punya bakat alamiah sebagai pengeluh terhebat. Di lain waktu, mas Yusi berkisah tentang betapa Semarang, lagi-lagi, punya banyak makanan yang enak.
Ketiga, tentu dari Power Slaves, band rock legendaris yang sekaligus menjadi satu-satunya band besar dari Semarang. Meski lagu “Semarang” kalah populer ketimbang “Yogyakarta” milik KLa Project, tetap saja ini menandakan sesuatu.
Sebuah kota yang dibuatkan lagu, atau dimaktubkan dalam tulisan, itu bisa berarti dua hal. Sangat menyenangkan sekali hingga harus diabadikan dengan gairah dan kenangan yang sama besar, seperti Michael Monroe menulis “Ballad of the Lower East Side”. Atau kota yang layak dicaci maki dan dibenci tujuh turunan, seperti Gil Scott-Heron menulis “New York is Killing Me” (omong-omong, dua lagu itu sama-sama berkisah tentang kota Apel Besar).
Kita tahu, lagu “Semarang” ditulis berdasarkan perasaan yang pertama.
***
Ada sejuta kenangan
Ada sejuta harapan
Terbuai ku di Simpang Lima
Power Slaves – Semarang
Saya tak punya kenangan, apalagi harapan di Semarang. Malahan, saya sama sekali tak punya kenangan di kota ini. Seumur hidup, mungkin hanya satu kali saya pergi ke sini. Itu pun sewaktu kecil dulu. Setelahnya, nyaris tak pernah.
Satu-satunya harapan saya sekarang adalah supaya Fahmi cepat datang. Semarang sedang disiram hujan. Tak deras memang, tapi cukup membuat yakin kalau memesan kopi susu di kantin Barokah yang terletak di dekat pintu keluar Stasiun Semarang Tawang adalah pilihan yang cerdas.
“Aku wis nang Semarang. Nang kantin Barokah, cedek pintu keluar.” Saya mengirim pesan pendek itu ke Fahmi.
Mungkin Fahmi terlambat datang. Dia tinggal di Grobogan, kota kecil yang berjarak sekitar 60 menit dari Semarang. Sekitar 90 menit lalu, dia mengirim pesan mau berangkat. Hujan, katanya. Jadi saya maklumi kalau Fahmi terlambat.
Fahmi adalah satu dari beberapa alasan saya mengunjungi Semarang. Ini akhir pekan sekaligus libur panjang. Rani pergi ke Dieng. Saya enggan sendirian di kontrakan. Maka saya putuskan untuk melancong sejenak. Alasan lainnya apalagi kalau bukan makan enak.
Wajah kuliner Semarang cukup menarik perhatian saya sejak bertahun lampau. Saya sudah kurang tertarik pergi ke destinasi wisata sebuah kota. Sekarang makanan menjadi daya tarik utama sebuah kota, setidaknya bagi saya. Karena itu saya yakin tak akan termangu di Simpang Lima seperti Heydi Ibrahim.
Mencari makanan di Semarang sebenarnya gampang-gampang susah. Gampang karena ada banyak sekali makanan enak di Semarang. Saya yakin itu. Sebagai sebuah kota yang pernah menjadi pusat perdagangan sekaligus kota pelabuhan besar di era Kolonial, serta menjadi mangkuk salad berisi kebudayaan negara lain –kau sebut saja Arab, Tionghoa, Belanda– saya yakin ada banyak warisan kuliner di kota ini.
Susah, karena tak banyak orang yang menuliskan kuliner Semarang dengan begitu menarik. Memang benar ada banyak sekali tulisan tentang kuliner Semarang di internet. Tapi kebanyakan hanya berisi nama dan alamat. Tak ada kisah personal yang menggugah orang untuk bertandang ke sana.
Satu dari sedikit sekali tulisan makanan Semarang yang ditulis secara apik adalah Gang Pinggir, tulisan dari Bondan Winarno. Bisa dibaca di sini.
Maka saya menghubungi Paman Yusi untuk mencari referensi kuliner Semarang. Sebagai orang yang lahir dan besar di Semarang, juga karena lidahnya sangat bisa diandalkan, Paman Yusi pasti bisa memberi rekomendasi kuliner yang menarik.
“Kamu sampai Semarang jam berapa?”
“Sekitar jam 10 malam mas.”
“Oke, sebelum kamu sampai, aku kirimkan rekomendasinya,” kata mas Yusi.
Benar saja, sekira satu jam sebelum kaki saya menginjak Semarang, pesan pendek masuk. Lumayan panjang. Dan rekomendasinya lebih menarik ketimbang rekomendasi-rekomendasi kuliner Semarang yang saya baca selama ini.
Untuk santap malam, Paman Yusi mereferensikan bestik kambing Pak Amat. Kedainya terletak di M.H Thamrin, sekitar 10 menit saja dari Stasiun Tawang.
“Pesan bistik dengan kentang, tak usah pakai nasi, nanti terlalu kenyang.”
Menurut sebuah survei, daging kambing paling banyak diolah jadi sate. Baru di urutan berikutnya dimasak untuk menjadi tengkleng, tongseng, lalu jadi lauk nasi goreng. Daging kambing dijadikan bistik? Menarik, pikir saya. Pasti enak disantap hangat-hangat di waktu gerimis macam begini.
“Aku wis nang ngarep cuk.”
Pesan pendek dari Fahmi membuyarkan lamunan saya tentang bistik kambing yang berkuah dan pasti segar itu. Saya berlari kecil dari bangku depan Kantin Barokah. Pria keling itu ternyata sudah menunggu saya di pintu keluar. Memakai jas hujan two pieces berwarna cokelat dan mengendarai sebuah motor besar.
“Udan ta?” tanya saya.
Pertanyaan bodoh.
“Gak ketok ta matane?”
Saya ngikik.
Karena lapar, saya langsung mengajak Fahmi ke jalan Thamrin. Semarang sudah sepi. Namun di Jalan Pemuda, sekitar 500 meter dari Stasiun Tawang, masih tampak beberapa warung penjual lumpia. Juga angkringan. Pun penjual nasi goreng. Saya sempat tergoda mampir beli lumpia. Tapi bayangan semangkuk bistik kambing begitu kuat.
Orang bijak bilang, kalau kamu sedang ingin makanan maka belilah. Saya mendapati kebenarannya. Seporsi lumpia yang tak jadi saya beli membuat saya makin kecewa karena… warung Pak Amat tutup.
Setelah dua kali mengukur jalan Thamrin serta menemukan restoran coto Makassar, Bakmi Bangka, angkringan, nasi goreng, bakmi Jawa, akhirnya saya memutuskan untuk mampir di tahu gimbal Bu Atin.
Tahu gimbal memang diplot sebagai salah satu harta karun kudapan Semarang. Dengan tahu sebagai bahan baku utama, mungkin posisinya serupa dengan tahu gejrot ala Cirebon, atau tahu petis dari Sidoarjo.
Saya sama sekali tak mengharapkan gimbal yang berbahan baku udang. Benar, tak ada udang di sini. Tapi gimbalnya membuat saya bahagia. Adonan tepung terigu dan tepung beras yang dibumbui garam serta merica dalam takaran yang pas menghasilkan gimbal yang renyah dan gurih. Bahkan setelah dicampur dengan saus kacang sekalipun. Tidak melembek sama sekali. Seringkali kau menemukan gorengan macam gimbal yang langsung lemas saat bercampur dengan saus, dan percayalah itu bukan pengalaman lidah yang menyenangkan. Apalagi warung ini menyajikan dengan sistem: anda pesan baru kami goreng. Hasilnya, gimbal yang masih panas dan tentu saja renyah.
Permintaan saya untuk rasa yang amat pedas, ditanggapi dengan sangat baik oleh Bu Atin. Cacahan cabai yang tak tergerus dengan baik, bercampur dengan kacang tanah yang memang sengaja tak diulek dengan sempurna. Memberikan tekstur gurih, pedas, dilengkapi dengan rasa legit dari kecap manis.
Dengan pengalaman santap pertama yang mengesankan, saya optimis keesokan hari akan jauh lebih menyenangkan.
***
Kontrakan Fahmi ada di Grobogan. Jalan menuju ke sana mengingatkan saya pada jalur yang menghubungkan Lumajang dan Jember. Ada banyak pohon besar sebagai peneduh jalan. Petakan sawah dan kebun kacang di kanan kiri jalan bisa dengan mudah dilihat mata.
Ada banyak hal menarik yang sempat saya tengok. Mulai dari penjual sate Madura bernama John Syahrul –orang Madura kok namanya John, pasti Madura palsu–, percetakan foto Q-Lat, hingga tebaran spanduk dan plang penjual swikee. Grobogan beribukota Purwodadi –tanah suci bagi para penggemar masakan kodok itu. Wajar kalau banyak penjual swikee di sini.
“Tapi jalan Semarang-Grobogan itu kecil,” kata Fahmi.
Memang benar. Sebagai jalan yang menghubungkan sebuah kota dengan kota lain, jalur Semarang-Grobogan yang melewati Demak ini memang begitu kecil. Padahal, kata Fahmi, ada sebuah pabrik tekstil besar di pinggir jalan ini.
“Kalau udah jam pulang, kendaraan bisa gak gerak,” katanya.
Hal ini yang membuat Fahmi enggan pindah ke Semarang. Sebenarnya dia tak keberatan menempuh perjalanan Semarang-Grobogan tiap hari. Dia kesepian. Grobogan terlalu sepi untuk jiwa muda macam Fahmi. Tak ada kafe untuk nongkrong atau nonton bola bareng. Apalagi pertunjukan musik rock n roll kegemarannya.
Menurut kesaksiannya, pertunjukan musik terakhir yang dihelat di Grobogan adalah pentas rockdut, yang kalau ditilik dari namanya sudah jelas kalau itu perzinahan tak senonoh antara musik rock dan dangdut. Bintang tamunya ST 12. Itu pun sudah berlalu sekira tiga bulan lalu.
Karena itu, Fahmi sempat kepikiran untuk pindah ke Semarang demi mencari hidup yang lebih ramai. Tapi karena faktor pabrik dan kemacetan, keinginan itu padam dengan sendirinya. Kini dia baru pindah kontrakan. Kontrakan lamanya terletak di sebuah daerah tanpa lampu jalan.
“Itu,” katanya sembari menunjuk sebuah jalan tanah gelap dan tampak tak berujung, “kosanku dulu di sana. Aku gak punya tetangga.” Saya bergidik juga. Membayangkan kalau tengah malam lapar namun stok mie instan sedang kosong kemudian ingin pergi ke minimarket terdekat.
Sekarang kontrakan Fahmi berada di perumahan. Ada dua kamar. Rapi. Saya tak kaget sebenarnya. Fahmi memang orang yang paling rapi di antara gerombolan kami. Kalau sedang bertandang ke rumahnya, kamar Fahmi tak pernah berantakan. Selimut terlipat rapi. Sajadah dan sarung pun demikian.

Fahmi kerja di sebuah pabrik makanan ternak besar. Katanya, penggerak roda ekonomi Grobogan adalah pabrik-pabrik ini. Selain pabrik tempat kerja Fahmi, ada beberapa pabrik lain. Termasuk pabrik pakan ternak milik Cargill, perusahaan agrikultur besar dari Amerika Serikat.
Kehadiran beberapa perusahaan pakan ternak, juga karena ini jalur Pantura, membuat perjalanan kami banyak bertemu dengan bus dan truk besar yang mengangkut bahan pakan ternak. Karena jalan kecil, kerap jarak antara motor kami dan kendaraan-kendaraan raksasa itu begitu mepet. Anginnya terasa. Kalau mereka ngebut, motor kami goyang. Kepet.
Di kamar Fahmi ada beberapa buku. Ini kemajuan lumayan. Dulu di gerombolan kami nyaris nihil yang suka baca buku. Kini Fahmi kerap meminta saran buku apa yang harus dia baca. Tentu saya paham, itu adalah usahanya untuk membunuh sepi. Maka saya menyarankan buku-buku Puthut EA, kumpulan cerpen Yusi Avianto Pareanom, dan tentu saja novel terbarunya, Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi. Semua buku yang saya sarankan, ia beli dengan takzim.
Namun tak urung saya terbelalak juga –untuk kemudian terharu begitu dalam– mendapati buku tentang candi Borobudur yang dibilang peninggalan Nabi Sulaiman, setidaknya itu yang saya tangkap dari judulnya. Entah sudah separah apa kesepian si Fahmi sehingga menganggap buku itu layak dikoleksi.
Mengingat saya tak ingin kawan baik menjadi orang yang kehilangan arah, saya menasehati bahwa buku tak selamanya membawamu ke jalan yang terang. Ada pula buku-buku yang hanya berupa jejeran omong kosong dan tak seharusnya dibaca, apalagi dibeli. Karena sudah terlanjur, ya apa boleh buat. Untung Fahmi menurut dan bersumpah –kalau melanggar akan disambar gledek di biji pelir– untuk tak membaca buku itu lagi.
Setelah itu saya baru bisa tidur dengan tenang. Walau perlu waktu lama untuk benar-benar tertidur. Grobogan panas sekali.
***
Saran makan pagi dari Paman Yusi terpaksa saya abaikan. Bukan karena referensinya tak menarik. Tapi karena saya yakin bakal bangun agak siang. Apalagi semalam saya baru bergosip –setengahnya diisi dengan cerita tentang video orang-orang yang percaya tumpukan batu di Borobudur bisa dibuka dengan kartu sejenis kartu debit, dan di dalamnya ada harta tersembunyi Nabi Sulaiman– dengan Fahmi hingga jam 4 pagi.
Saya bangun jam 9 pagi. Perjalanan menuju Semarang saja membutuhkan waktu sekitar 1 jam. Maka tak usah sarapan. Cukup makan siang dengan beberapa kali mengudap saya rasa sudah cukup untuk menenangkan perut.
Tujuan awal saya adalah Phien Tjwan Hiang, restoran tiga generasi yang berganti nama jadi Permata Merah. Restoran ini berada di Gang Pinggir, kawasan yang menjadi pusat pemukiman warga keturunan Tionghoa. Makanya orang mengenalnya sebagai kawasan Pecinan.
Gang Pinggir menempati lokasi khusus di hati Bondan Winarno, penulis kuliner dan pencicip makanan par exelence di Indonesia. Dalam artikel berjudul Gang Pinggir, Bondan menulis tentang tiga restoran terkenal di sana. Yakni Ki Twan Kie, Bien Lok, dan tentu saja Phien Tjwan Hiang. Dua nama pertama sudah tutup, dan nama terakhir masih ada dan dipegang oleh generasi ketiga.
Berpegang teguh pada tulisan itu, juga sedikit petunjuk dari Google, saya mencari lokasi Permata Merah. Mobil kami parkir di pinggir jalan. Lalu berjalan kaki. Semarang sedang panas-panasnya. Tapi karena ini jalan satu arah dan kami tak ingin kelewatan, maka kami memilih berjalan kaki.
Setelah bertanya-tanya pada tukang parkir, mereka tak pernah tahu nama restoran yang saya sebut. Masygul. Mumpung dekat, maka sekalian saya mampir ke lumpia Gang Lombok yang legendaris itu. Sekalian mengganjal perut, pikir saya.
Tapi mata saya melotot melihat antriannya. Sekitar dua puluhan orang duduk menunggu dengan sabar di luar gerai kuno dengan papan tulisan yang juga tampak dibuat sejak beberapa dekade lalu, sementara tiga pegawai melipat lumpia, satu orang menggoreng, dan satu orang lagi mengatur keuangan. Saya mendadak kenyang. Kemudian mengajak Fahmi untuk kembali mencari Permata Merah.
Setelah beberapa kali bertanya, akhirnya saya memutuskan untuk bertanya pada tukang parkir yang berusia lanjut. Umurnya mungkin bisa membantu tahu restoran-restoran lama di kawasan ini. Benar saja, dia tahu Permata Merah. Tapi jawabannya membuat saya kecewa. Restoran itu sudah lama tutup.
“Sekarang tempatnya dijadikan tempat les musik,” katanya sembari menunjuk ke arah yang sudah kami lewati.
Ketimbang meratapi ketidakberuntungan, saya menganggap sate kambing 29 adalah pelipur lara yang tepat. Maka saya meminta Fahmi kembali ke Jalan Pemuda. Tepat di Gereja Blenduk, di sana sate kambing 29 berada. Ini adalah rekomendasi Mas Yusi.
“Makan satenya plus gule sumsum, dijamin nambah,” katanya.
Warung sate kambing 29 ini termasuk restoran lama yang berumur panjang. Sudah ada sejak dekade 1940-an. Interior dalamnya mengingatkan saya pada interior restoran lawas, mulai Oen di Malang, Sumber Hidangan di Bandung, maupun nasi pecel Bu Darum di Jember. Ada banyak lukisan berpigura besar. Juga foto-foto hitam putih.
Saya memesan sate buntel, penasaran ingin membandingkannya dengan sate buntel Solo. Kemudian tentu saja, sesuai saran Mas Yusi, memesan gule sumsum. Fahmi juga memesan sate buntel. Dan kawan Fahmi memesan sate kambing biasa.
Ketika pesanan datang, saya lumayan terkejut melihat penampakan sate buntelnya. Lebarnya sekira tiga jari dijejer. Panjangnya nyaris tiga perempat jengkal. Dengan kata lain: besar! Isinya memang cuma dua tusuk. Tapi ukurannya bisa membuat pusing kalau satenya ditumbukkan ke kepala. Sate buntel dibakar dengan pas. Tidak terlalu gosong. Cukup di bagian permukaan saja, sekadar melelehkan ikatan lemak yang membuntel cacahan daging. Bagian dalamnya juicy. Ketika digigit, semburan kaldunya langsung semburat di mulut. Gurih.
Gule sumsum datang dengan tampilan yang lebih normal. Tulang-tulang kambing ukuran moderat, dengan kuah yang keruh dan sekilas tampak berlemak. Tapi penampilannya menipu. Kuahnya ringan. Amat ringan malah, apalagi kalau dibandingkan gule ala Arab yang lemaknya sadis. Gule ala 29 ini tidak memakai santan. Sumsum di dalam bisa dicungkil dengan ujung tajam sujen sate.
Makan siang kami pungkasi dengan es teh liang. Kemudian petualangan perut kami lanjutkan. Saya sempat bingung memilih antara toko Oen –yang saya duga hidangannya tak beda jauh dengan Oen di Malang– atau es krim panekuk. Mengingat perut masih sedikit penuh, maka es krim rasanya jadi pilihan yang tepat.
Setelah dua kali menyusuri Jalan Tanjung karena tak kunjung menemukan tempatnya, ternyata es krim panekuk ini ada di lokasi yang sama dengan gado-gadi Pak Yono. Kami cuma memesan es krim saja.
Es krim datang dalam piring hijau berbentuk daun. Tiga sekop es krim, masing-masing rasa cokelat, strawberry, dan vanilla. Panekuknya dipotong dadu. Begitu pula agar-agar yang jadi pihak ketiga. Es krimnya tidak berasa manis seperti es krim pabrikan. Rasanya cenderung sedikit gurih. Karena ini es krim rumahan, yang dibuat menggunakan santan dan garam. Tak jauh berbeda dengan es puter atau es tung tung yang bisa ditemukan di masa kecil.
Selepas benar-benar kenyang, saya mencoba menziarahi jalan Mandasia. Ini tentu ada hubungannya dengan novel Raden Mandasia. Sewaktu ditanya kenapa mas Yusi memilih Mandasia sebagai tokoh dalam novelnya –padahal Raja Watugunung punya 27 anak– ternyata karena Mas Yusi punya kenangan dengan Mandasia.
“Dulu di belakang rumahku itu ada jalan namanya Jalan Mandasia. Di dekatnya lagi ada Jalan Watugunung,” kata Mas Yusi.
Dua tempat itu lumayan jauh dari pusat kota Semarang, terutama karena macet. Berbekal peta dari Mbah Google, akhirnya kami sampai juga. Kemudian tentu saya mengambil foto di plang jalan bertuliskan Jl. Mandasia dan Jl. Watugunung itu. Fahmi yang melihat saya cuma bisa geleng-geleng.
“Adoh-adoh rene cuma kape foto nang ngarepe plang dalan? Ancene edan koen,” katanya.
Setelah agak sore dan perut sedikit kosong, kami menyempatkan diri mampir ke kue lekker Paimo. Seperti namanya, kue ini punya pengaruh dari Belanda. Di Jember, langganan ayah sedari dulu, yang kemudian diturunkan pada saya, adalah penjual kue lekker gerobakan di depan bioskop Kusuma. Sederhana, murah, namun rasanya bersinonim dengan kebahagiaan. Saya pikir hal yang tak pernah salah adalah perpaduan potongan pisang dan susu cokelat kental manis.
Kue lekker Paimo terletak di seruas jalan kecil bernama Karang Anyar. Pas di depan sekolah Kolose Loyola. Begitu melihat antriannya, saya spontan menyeru sejuta topan badai. Ramai sekali.
Saya sempat tanya, kira-kira antriannya berapa lama. Dengan wajah cuek dan tanpa kata-kata, si pelayan menunjukkan sebundel kertas berisi pesanan pembeli. Saya mendegut ludah. Tak puas, saya tanya kira-kira berapa jam lagi? “Paling cepet ya 2 jam.”
Mataneee.
Tapi akhirnya saya pesan juga. Yang klasik seperti pisang cokelat keju adalah wajib. Kemudian saya penasaran dengan kue lekker kontemporer yang diisi tuna, jagung, dan mozarella. Harganya memang murah meriah, terutama yang klasik. Yang rasa cokelat hanya seribu rupiah saja. Yang paling mahal –melibatkan tuna, atau sosis, juga mozarella– sekitar Rp16 ribu.
Kemudian saya tinggal membeli oleh-oleh. Lumpia Mbak Lin –karena saya terlalu malas antri di Gang Lombok– juga tahu bakso, serta bandeng presto. Kami sempat keliling-keliling dulu sebentar. Tanpa tujuan. Selagi menunggu dua jam.
Ketika akhirnya dua jam datang, kami kembali ke Karang Anyar. Ternyata masih harus menunggu beberapa orang lagi. Asu. Ketika akhirnya tiba giliran pesanan kami, girangnya seperti anak kecil yang dapat permen. Juru masak duduk di hadapan dua teflon kecil berbentuk budar yang bisa berputar. Di kanan kiri teflon ada berbagai bahan isian. Pisang, tuna kalengan, sosis kaleng, jagung, mesis, sampai susu kental manis.
Adonan diletakkan dalam teko plastik panjang. Satu lekker berarti satu sendok sayur adonan. Khusus untuk yang isian banyak seperti campuran jagung, tuna, dan mozarella, adonan dituang sebanyak dua sendok sayur agar tak mudah robek. Setelah diletakkan di permukaan teflon, tinggal digoyang supaya adonan rata. Kemudian diberi isian. Lalu dilipat. Cepat. Praktis.
Di mobil dalam perjalanan pulang, saya mencoba yang klasik dulu. Pisang, susu cokelat, dan keju. Enak! Seperti yang saya bilang tadi, kombinasi antara pisang dan susu cokelat tak akan pernah salah. Apalagi ditambah keju. Adonan lekkernya juga tipis dan kering. Renyah.
Kini saatnya mencoba kue lekker yang kiwari. Tuna, jagung, dan mozarella. Saya sempat kesusahan memotongnya. Adonannya memang lebih tebal ketimbang versi klasik. Ketika disuap, saya terdiam…
Rasanya ambyar.
Ra karu-karuan.
Dari adonannya saja kue lekker kiwari ini sudah tak menarik. Terlalu tebal dan lembek. Isiannya pun campur aduk dan bertabrakan. Sama sekali tak saling mengisi. Apalagi saya pesan pedas, yang ditambahkan sambal buatan sendiri. Sambalnya mengalahkan semua rasa jagung dan tunanya. Rasanya jelas kebanting dengan lekker klasik.
Penantian dua jam rasanya kok terasa sia-sia.
***
Wajah kuliner Semarang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan, katakanlah, Yogyakarta atau Solo. Tiga kota ini punya warisan kuliner masa lampau yang mengagumkan. Mulai gudeg, selat Solo, tengkleng, tongseng, nasi ayam, hingga babat gongso. Namun sebagai tiga kota besar di Jawa Tengah, mereka punya kampus besar yang dijadikan tujuan studi mahasiswa dari banyak daerah.
Karena itu banyak bertumbuhan rumah makan baru, dengan hidangan yang juga baru, bahkan mungkin asing bagi lidah-lidah Semarang. Di sisi lain, banyak restoran lama mulai gantung wajan. Terutama restoran gagrak Tionghoa yang non halal, yang pangsa pasarnya jelas semakin sempit.
Sama seperti di Jogja dan Solo, masakan Semarang juga berjuang keras untuk tak tergulung begitu saja. Lumpia, tahu gimbal, babat gongso, hingga nasi goreng babat, saya kira masih punya taji untuk sekadar bersaing dengan pizza atau burger yang monoton.
Menghadapi kota yang demikian ini, rasa-rasanya harus menyiapkan diri agar tak patah hati. Tidak gumun semisal restoran yang punya sejarah panjang harus tutup. Atau mendapati restoran lawas berganti generasi dan rasa hidangannya berubah. Karena, selain perubahan itu adalah kepastian, kota yang seperti ini biasanya akan tetap memberikan kejutan-kejutan tak terduga. Entah dari masakan lama yang diperbaharui, atau dari masakan yang benar-benar baru dan memperkaya khazanah kuliner.
Perjalan ke Semarang ini mengesankan tentu saja. Kesalahan saya hanya dua. Memesan kue lekker kiwari yang rasanya ambyar. Juga karena hanya semalam di Semarang. Saya bahkan belum mencoba bistik kambing, nasi goreng babat, nasi ayam, kue baling-baling, juga babat gongso.
Lain kali, tentu saja. []
Boleh donk om, dikenalin sama Fahmi