“Sepurane, aku siktas mulih soko omah.”
Seorang lelaki tua bergegas menaiki tangga. Ia baru saja minta maaf karena beberapa orang pelanggannya menunggu lumayan lama. Katanya, ia baru saja pulang ke rumahnya, di perbatasan Surabaya-Sidoarjo.
Pelanggannya tak ada yang memasang muka masam. Semua tersenyum dengan polah Bing Kok, lelaki tua itu.
Dengan gesit, Kok yang pagi itu memakai celana bahan dan kaos kerah langsung mengambil gunting. Giliran pertama adalah seorang lelaki tua yang rambutnya sudah putih semua. Setelah dipasang kep (kain penutup badan), sang tamu mulai dipangkas rambutnya. Beberapa detik kemudian, sang tamu terlelap. Kok meneruskan pekerjaannya dengan tenang, berupaya tak membangunkan si pelanggan.
Tak berapa lama, datang seorang tamu lagi. Sama seperti pria yang sedang dipangkas, umurnya sudah uzur. Ia bahkan harus dipapah kala menaiki tangga menuju lantai dua tempat pangkas rambut ini.
“Saiki piro potong rambut?” tanya si tamu.
“Sak paket pekgo,” kata Kok.
Satu paket seharga Rp 150 ribu ini terdiri dari empat layanan. Potong rambut, cuci muka dan pangkas jenggot, korek kuping, dan styling.
“Wah kelarangen,” balas si tamu sambil ngeloyor pergi. Terlalu mahal, ujarnya.
Bing Kok adalah generasi kedua tempat pangkas rambut Shin Hua. Ini adalah tempat pangkas rambut tertua di Surabaya. Sudah berdiri sejak 1911. Pendirinya adalah Tan Sin Jo, ayah Bing Kok. Sejak awal berdiri hingga sekarang, tempatnya tak pernah berpindah, di sebuah bangunan tiga lantai di Kembang Jepun.
Di bagian bawah, dulu ditempati toko-toko kelontong. Waktu berderap, toko kelontong tak bisa bertahan melawan serbuan mini market. Mereka tutup. Lantai bawah kini kosong. Hanya saja, di depan gedung, keponakan Kok membuka kios rokok kecil yang juga menjual aneka minuman dingin. Lantai dua dipakai untuk kios potong rambut, sekaligus dapur. Lantai ketiga dijadikan tempat tinggal Kok.
“Dulu di atas itu banyak muridnya ayahku. Tinggal di atas, kayak asrama wis,” ujar Kok membuka percakapan.
Di masa kejayaannya, Shin Hua –bahasa Mandarin yang artinya “baru mekar”– bisa melayani seratusan orang setiap harinya.
Tan Sin Jo juga menjadi guru bagi beberapa murid yang datang dari luar kota. Para murid itu diharuskan magang selama tiga tahun terlebih dahulu. Selama masa magang itu, para murid tak boleh memotong rambut. Hanya menyimak dan memperhatikan Sin Jo memangkas rambut.
“Selama magang itu mereka gak dibayar. Tapi mangan karo turu ditanggung,” kata Kok.
Lucunya, beberapa murid kerap tak sabar hanya menonton. Jadilah mereka mulai bereksperimen. Tapi siapa yang mau dipangkas oleh tukang pangkas yang sama sekali belum punya pengalaman? Jelas tak ada.
Karena itu mereka kerap memaksa seorang tukang penjual onde-onde langganan Shin Hua. “Kalo ndak mau, sampai dikasih duit biar mau dipotong rambutnya,” kata Kok tertawa.
Saya datang bersama Ayos siang itu. Sebelumnya Ayos sudah beberapa kali datang ke Shin Hua, karena itu ia sudah akrab dengan Bin Kok. Namun kali ini Ayos ingin mencoba dipangkas rambutnya.
“Gaya opo?” kata Kok.
“Terserah wis.”
“Gaya Bong Dao ya?”
“Hah? Gaya opo iku?” kata Ayos tertawa dan heran mendengar nama gaya yang asing itu.
Tapi toh ia menurut saja dengan Kok. Maka mulailah Kok memangkas rambut Ayos. Tangannya lincah. Sama sekali tak ada gerakan yang tak perlu. Tak menandakan usia yang sudah lanjut. Setelah selesai, ternyata gaya Bong Dao nyaris mirip dengan gaya undercut ala generasi milenium. Bagian pinggir dan belakang dipangkas tipis, tapi masih menyisakan rambut bagian tengah.
Bing Kok mengingatkan saya tentang usaha pangkas rambut yang dijalankan oleh kaum peranakan Tionghoa. Selama ini, terutama di Pulau Jawa, pangkas rambut kerap diasosiasikan dengan dua daerah: Madura dan Garut.
Sejarah tukang pangkas rambut dari Madura berawal dari konflik antara Trunojoyo dan Amangkurat II yang terjadi pada medio 1677. Dalam jurnal berjudul Agama, Migrasi dan Orang Madura, Muhamad Syamsuddin menuliskan bahwa akibat konflik itu, banyak orang Madura yang melarikan diri, tersebar ke berbagai daerah, dan enggan kembali ke kampung halaman. Sejumlah penduduk yang lain bermigrasi karena kondisi geografis Madura yang gersang. Para imigran dari Madura lantas banyak bekerja di sektor informal.
Beberapa foto dari lembaga KITLV dan Royal Netherland Institute of Southeast Asia and Caribbean Studies berpenanda waktu 1911 dan 1920 juga menujukkan orang-orang Madura yang mempunyai usaha pangkas rambut di Surabaya.
Sedangkan Garut, banyak warganya menjadi tukang pangkas rambut sejak pemberontakan DI/TII. Dalam kurun 1949 hingga 1950, ada banyak warga Garut yang mengungsi. Untuk menyambung hidup, mereka bekerja di sektor informal. Salah satu yang paling banyak peminatnya adalah pekerjaan pemangkas rambut. Kini, menurut data Paguyuban Warga Asal Garut di Jakarta dan Sekitarnya, ada sekitar 15 ribu tukang pangkas rambut asal Garut.
Selain warga Madura dan Garut, warga peranakan juga banyak bekerja sebagai tukang potong rambut. Ini terkait juga dengan kebijakan diskriminatif terhadap warga keturunan Tiongkok. Mereka tak bisa bekerja di sektor formal. Tak boleh jadi polisi, tentara, juga pegawai negeri. Hanya sektor informal yang tersisa bagi mereka. Maka kaum peranakan berjualan makanan, membuka usaha dagang, membuka warung kopi, juga menjadi tukang pangkas rambut.
Penulis Haryoto Kunto dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, pernah menulis bahwa sudah sejak lama orang keturunan Tiongkok menjalani profesi sebagai pemangkas rambut. Sedikit berbeda dengan pangkas rambut mazhab Madura atau Garut, mereka juga memberikan layanan korek kuping. Alatnya dinamakan kili-kili.
Shin Hua masih menyediakan layanan korek kuping itu. Tarifnya Rp 50 ribu. Peralatannya sedikit menyeramkan. Mengingatkan pada perangkat penyiksaan milik Nazi. Ada yang berbulu, ada yang berupa besi pipih dengan ujung bengkok.
“Iki gak semua orang bisa korek kuping. Ada teknik tersendiri lho,” kata Kok sembari tertawa.
Kalau Ayos ingin dipangkas rambutnya, saya penasaran ingin mencoba layanan korek kuping Shin Hua. Setelah selesai memangkas rambut Ayos, Kok menyilahkan saya duduk di kursi hidrolik berbantal hijau. Kemudian Kok menyalakan lampu dan diarahkan ke kuping saya.
“Ketok ta Om?”
“Tenang ae rek, motoko sik tajem.”
Kok mulai memasukkan korek kuping berbahan besi itu. Mengorek bagian dalam telinga. Lalu mengeluarkan kotoran kuping, dan diusapkan ke kain lap. Begitu seterusnya. Puncaknya, Kok memasukkan korek kuping berbulu yang membuat saya menggelinjang kegelian.
Layanan korek kuping tak hanya ada di Shin Hua. Tempat pangkas rambut Ko Tang juga menyediakan layanan yang sama, dengan peralatan yang juga sama. Ko Tang juga tempat pangkas rambut kuno mazhab Tiongkok, sudah berdiri di kawasan Glodok, Jakarta Pusat, sejak 1936.
Menuju Ko Tang, para pelanggan harus melewati riuh Gang Gloria yang begitu hidup. Ada banyak penjual makanan di kanan kiri gang. Letak Ko Tang hanya berjarak dua toko dari kedai kopi legendaris Tak Kie.
Sama seperti di Shin Hua, tak banyak yang menguasai ilmu korek kuping di Ko Tang. Hanya ada tiga orang pekerja di sana yang bisa melakukannya. Peralatan korek kuping di Ko Tang tak jauh berbeda dengan Shin Hua. Selain pangkas rambut dan korek kuping, Ko Tang juga melayani cuci rambut dan semir rambut.
Saya pernah mencoba potong rambut di sana. Dulu sewaktu jaya, ada banyak tukang pangkas rambut di Ko Tang. Kini tersisa tiga saja. Ada Pi Cis yang kalem, berambut gaya pinggir dan selalu klimis; A Pauw yang berbadan subur dan berambut gundul, serta Ji Sin, yang paling senior di Ko Tang.
Kalau keramas, ada dua orang pekerja perempuan yang akan melayani. Kalau keramas, pelanggan akan dibawa duduk di depan wastafel. Sang pekerja akan menundukkan kepalamu, lalu mulai membilas rambut. Memberi shampoo, kemudian memijat, dan dibilas lagi. Diulang hingga dua kali. Sepertinya pijatnya memakai teknik khusus. Kepala jadi ringan setelah keramas di sana.
Ada yang menarik di Ko Tang: Om Ji Sin ternyata pernah bekerja di Shin Hua sewaktu masih muda dulu.
“Waktu aku kerja di sana, si Kok itu masih kecil, masih sekolah,” kata Om Jin, begitu saya memanggilnya. Ia cukup senang sewaktu saya mengabarkan kalau Om Bin Kok masih sehat dan meneruskan usaha sang ayah.
Baik Shin Hua maupun Ko Tang punya masalah yang sama. Para pelanggannya kebanyakan berusia uzur. Jarang sekali ada anak muda yang mau memangkas rambutnya di tempat pangkas rambut tradisional seperti Shin Hua atau Ko Tang.
Di Shin Hua, masa jaya sudah tinggal kenangan. Tak ada lagi seratusan pelanggan tiap hari. Kini lima atau enam orang pelanggan saja sudah bagus.
“Di Ko Tang juga begitu. Sekarang ada 10 pelanggan saja sudah masuk hitungan ramai,” ujar Pi Cis.
Selain itu, dua tempat pangkas rambut legendaris ini juga punya masalah lain: regenerasi. Bin Kok sudah berumur 66 tahun. Para tukang pangkas di Ko Tang rata-rata berumur 70-an tahun. Sama sekali tak ada yang muda.
“Di sini semua tua mas. Mulai dari tukang potong sampe televisinya pun tua,” canda seorang pembilas rambut di Ko Tang.
Bin Kok sebenarnya punya seorang anak lelaki yang meneruskan profesinya. Tapi ia tak mau meneruskan Shin Hua. “Dia lebih milih buka kios cukur di Sidoarjo, tapi sekarang lagi kena lumpur Lapindo,” kata Kok santai.
Baik Bing Kok maupun para tukang pangkas di Ko Tang menanggapi isu regenerasi ini dengan santai belaka. Bagi mereka, kalau usaha harus berhenti, ya sudahlah. Mereka menganggap zaman tak bisa dilawan.
“Yah palingan 10 tahun lagi tempat pangkas rambut ini sudah gak ada,” kata Pi Cis. []
nice writing mas. menyenangkan sekali membacanya. 😀
Terima kasih mbak Yenni 🙂
Saya merinding di bagian alat korek kupingnya… -__-u
Serius aman tuh mas?
Hahaha. Aman kok. Buktinya sampe sekarang saya gak budeg :)))