Saya selalu membayangkan mas Yusi Avianto Pareanom lebih cocok tinggal di New York, San Fransisco, atau Paris. Lelaki flamboyan ini rasa-rasanya kok terlalu elok tinggal di Jakarta yang bising dan ramai tanpa ampun.
Malam itu, saya seperti menemui pembenaran anggapan itu.
Mas Yusi duduk dengan anteng di atas kursi kayu. Di meja depannya, tergeletak cangkir kopi yang sudah mulai kosong, lepek kecap dengan irisan cabai untuk teman tempe mendoan, asbak yang sudah penuh puntung, botol-botol air mineral yang tinggal berisi udara, beberapa bungkus rokok dan koreknya, serta berbotol bir yang hanya menyisakan buih di dasarnya.
Dengan tenang, lelaki berkacamata itu mengambil tembakau rajangan yang terletak dalam kaleng berbentuk bundar. Tembakau yang punya aroma vanilla itu adalah rajangan tembakau jenis Dark Cavendish dari Denmark, yang bercampur dengan tembakau Burley serta Virginia. Pelengkapnya adalah tembakau lauk, Samsun dari Turki, satu dari sedikit sekali tembakau lauk di dunia.
Selain Samsun, tembakau lauk yang terkenal adalah tembakau srinthil dari Temanggung, kasturi dari Jember dan Madura, serta krosok dari Lombok.
Mas Yusi meletakkan sejumput tembakau di mulut cangklong yang bertangkai panjang itu. Ia menghisap dengan sangat dalam dan panjang. Lalu dengan satu sentakan tenang, asap dihembuskan ke udara. Wangi vanilla yang tajam langsung menguar.
Elegan sekali. Hanya bisa ditandingi oleh Nody Arizona kala menenggak sebotol bintang sembari merokok dan mendengarkan Tom Waits.
Saya membayangkan adegan seperti ini terjadi di kafe-kafe kecil nan hangat di pinggir kota California. Di depan pantai Venice, mungkin. Tempat Jim Morrison bercakap dengan Ray Manzarek untuk pertama kalinya. Di mana Jim, lelaki pemalu berambut ombak itu, menyanyikan beberapa larik puisi “Moonlight Drive”, dan membuat Ray terpukau.
Lalu di kafe yang penuh dengan para lelaki dan perempuan yang terjebak masa generasi bunga itu, Mas Yusi akan mengenalkan diri:
“Namaku Yusi Avianto Pareanom, penulis, pemerhati seni rupa, dan punya penerbitan buku.”
Tapi itu hanya bayangan saya. Mas Yusi, malam itu, dengan santai menemani para pemuda yang bisa dengan mudah dibenci calon mertua: Dea Anugrah, Gita Wiryawan, dan tentu nabi kita Dave Priyanto Siahaan. Saya tentu tak mau ketinggalan ikut jamuan malam agung malam itu.
Gita datang jauh-jauh dari Jambi untuk bertemu Nabi Dave, meminta syafaat dan nasehat. Pria kurus ini begitu berbinar saat bertemu dengan Nabi Dave. Sedangkan Pak Nabi, seperti biasa, bersikap tenang, berwibawa, dan lapang dada. Tak jauh beda responnya saat diputus sang kekasih beberapa tahun lalu.
Kami tertawa tertiwi saja malam itu. Menertawakan kisah jaket yang tertinggal di Salihara, atau kunci motor yang ketinggalan di meja kekasih yang baru saja minta putus, juga tentang tulisan-tulisan yang begitu perlu banyak perbaikan, termasuk tentang betapa takutnya seorang sastrawan terkenal asal Semarang dengan jarum suntik.
Mas Yusi sedang tak enak hati. Beberapa orang kawan baik sekaligus penggemarnya terus-terusan menanyakan kabar novel terbarunya, Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi. Novel ini sudah diperam begitu lama. Mirip Axl Rose memeram Chinese Democracy.
“Pokoknya tahun ini selesai lah,” ujarnya pendek.
Ia coba mengalihkan pembicaraan itu dengan keinginannya untuk menghidupkan kembali usaha penerbitan bukunya, Penerbit Banana. Saya suka sekali dengan karya-karya yang dicetak oleh penerbit ini.
Terjemahnnya tak biasa. Seringkali nakal dan kurang ajar. Misal, tak segan menerjemahkan “Fuck You” dengan “Pukimak kau!”, alih-alih memakai “dasar sialan” yang normatif dan sopan.
Saya punya tiga karya favorit Banana Publisher: Catcher in the Rye, The Motorcycle Diaries, serta Million Dollar Baby. Semuanya memuaskan.
Tahun ini Banana akan punya hajat besar. Pertama, menerbitkan ulang Catcher in the Rye. “Sampulnya akan lebih minimalis,” kata Mas Yusi. Sebelumnya, gambar sampul depannya adalah seorang remaja dengan rambut njenggirat dan memasang tampang marah. Terlalu ramai.
Hajat besar kedua adalah… sila tahan nafas: menerbitkan On the Road karya Al Mukarrom Jack Kerouac. Saya mendegut ludah. Kitab para pengelana bohemian itu akan hadir dalam Bahasa Indonesia. Sungguh sangat menggembirakan.
“Tapi naskahnya sedang aku baca dan aku periksa. Soalnya ada beberapa kata dan kalimat yang agak susah diterjemahkan.”
Saya sih sabar saja menunggu.
Malam itu kami bercengkrama hingga dini hari. Kami semakin bahagia karena kedatangan seorang mata-mata dari Korea Utara, Kim Yo Onno, yang menyaru sebagai seorang pegawai pajak sekaligus guru les bagi mereka yang ingin tes Pegawai Negeri Sipil.
Ketawa-ketawa tanpa sadar, jarum pendek sudah menunjukkan angka satu. Seperti biasa, Mas Yusi, sebagai satu-satunya jutawan di antara kami, dengan gagah berani mengambil alih kewajiban membayar. Sedangkan kami hanya tersipu sembari mengingat tanggal gajian yang masih lama.
Ah, malam yang menyenangkan. []