Saya menengok jam di pergelangan tangan. Pukul 5 lebih 33 menit. Kereta Bogowonto yang saya naiki datang tepat waktu. Hati saya tenang. Tadinya sempat deg-degan, takut kereta terlambat seperti kata Bang Iwan, “Dua jam itu biasa.” Dengan bergegas saya keluar stasiun. Sudah bisa ditebak. Di depan Stasiun Senen, macet mengular. Saya mendengus kesal. Di saat seperti ini, tiba-tiba lirik “Malam Jatuh di Surabaya” milik band Silampukau berputar di kepala.
Gelanggang ganas 5.15
di Ahmad Yani yang beringas
Saya segera mencari angkutan. Tentu di saat seperti ini, ojek adalah yang paling murah dan efisien. Seorang lelaki tua dengan capuchon di kepala menawarkan jasanya.
“Ke Cikini 20 ribu ya Pak,” ujar saya.
Dia menggeleng. “25 ribu. Macet nih.”
“Yaelah Pak, kapan sih Jakarta gak macet?”
Akhirnya dengan negosiasi yang sedikit alot, ia mau saja. Sebelum saya naik motor Smash tuanya, ia menyodorkan helm. Motor dinyalakan: dipencet double starter. Terdengar suara batuk yang renta dari mesin motor. Tak ada pijakan untuk kaki.
Dengan santai, si Bapak memutar motor. Melawan arah. Di tengah kemacetan yang biadab. Tak cukup dengan melawan macet, ia lantas naik trotoar. Orang-orang sepertinya mahfum. Mereka minggir. Motor tua kurang ajar ini melaju dengan tenang, melawan arah, di trotoar yang disesaki para pejalan kaki.
Baru sekitar 10 menit motor berjalan, terdengar suara adzan Maghrib memecah langit sore di depan toko buku Gunung Agung. Kembali teringat “Malam Jatuh di Surabaya”.
Maghrib mengambang lirih dan terabaikan
Tuhan kalah di riuh jalan
Di Jakarta, tak hanya tuhan yang dikalahkan ketika maghrib sambang. Dari pejalan kaki hingga polisi, semua tampak rapuh. Para pejalan kaki terpaksa menyingkir saat motor naik ke atas trotoar. Polisi tak berdaya, perintahnya tak lagi dituruti para pengemudi, mobil maupun motor.
Jakarta tak hanya beringas pada 5.15, bisa sangat panjang. Hingga malam nanti. Berbeda dengan Ahmad Yani di Surabaya yang selepas pukul 6 sore sudah tak terlalu ramai. Mungkin kalau Silampukau tinggal di Jakarta, mereka akan kehabisan kata untuk menggambarkan kebiadaban Jakarta.
Sampai di Tjikini, saya bertemu dengan Tinta. Punggawa perpustaan kolektif C20 di Surabaya ini sepertinya jadi personal manager Silampukau. Ia kaget melihat saya datang dengan membawa tas besar. Baru datang dari Jogja, kata saya. Tak ketinggalan, saya pesan kaos Silampukau pada perempuan berambut pendek dengan senyum ramah ini.
“Ada di aku. Tenang aja.”
Saya masuk ke dalam kafe. Bertemu dengan Pak Nabi Dave Siahaan, yang ditemani dua orang perempuan. Satu adalah Chichi, dan satunya lagi saya lupa namanya. Maaf. Hehehe. Pak Nabi ini memang flamboyan, satu saja tak cukup.
Lalu ada pula Atre, yang kemudian disusul oleh Giri, sang pacar. Ada juga Raka Ibrahim, jurnalis musik muda harapan umat, yang dibarengi oleh Stanley, dari Sounds from the Corner. Gigs ini memang rencananya direkam untuk acara fenomenal itu. Lalu saya melihat Dhani di bagian depan. Kemudian ada Ananda Badudu, kawan lama dari Pers Mahasiswa Unpar, yang sekarang tentu saja lebih dikenal sebagai gitaris band folk Bandaneira dan jurnalis Tempo. Mungkin dia sudah lupa dengan saya. Sudah bertahun lampau tak bertemu.
Ada pula Ardi Wilda, alias Awe Mayer, yang datang dengan seorang perempuan cantik. Kata Awe, itu adalah calon bininya. Luar biasa. Oh ya, si Domi juga datang dan sibuk berbincang dengan saya tentang Silampukau dan band lama Kharis, Greats.
Tentu saja saya bertemu dengan dua idola remaja masa kini: Eki Tresnowening dan Kharis Junandaru. Sayang saya tak sempat bercakap lebih lama. Mereka tampak sibuk mengecek alat, dan juga ngobrol dengan kawan lamanya.
Mereka sedang memeriksa suara dan peralatan. Ada beberapa orang kru yang membantu Silampukau check sound. Mereka memainkan “Aku Duduk Menanti” dengan langgam keroncong, ditingkahi dengan slide blues malas yang dimainkan oleh Vega, gitaris band Vox. Lagu sendu ini cocok untuk para penonton yang sudah menanti sedari tadi.
aku masih di sini;
ku duduk menanti,
hanya menanti,
tak bergegas mencari
Saya memesan Es Teh Tarik. Lalu duduk di meja belakang. Meja di deretan depan sudah dipesan sejak jauh-jauh hari. Penuh. Perasaan saya tidak enak. Pasti penonton pada meluber dan menutupi mereka yang ada di belakang.
Tepat pukul 19.30, Silampukau mulai duduk di kursinya. Masing-masing mengambil gitar mereka. Seperti biasa, dimulai dengan ucapan terima kasih dan selamat malam. Lalu dimulailah lagu pertama, kalau saya tak salah ingat, “Lagu Rantau”. Ini memang lagu yang cocok untuk pembuka. Melodius. Akrab. Dan tentu pas untuk para penonton yang sepertinya sebagian besar adalah perantau.
Selanjutnya, gigs mengalir. Dari respon penonton, tampak kalau lagu Silampukau sudah tak asing lagi. Banyak yang ikut bernyanyi. Seru. Kafe Tjikini tampak seperti ruang karaoke dadakan.
Saya sudah lupa urutan lagu yang dimainkan. Tapi semua lagu di album baru dimainkan. Tak ada yang luput. Lagu yang paling ramai didendangkan bersama adalah “Doa 1”, lagu tentang perjuangan band indie yang berusaha masuk televisi untuk sang ibu. Part yang paling ramai tentu saja saat Kharis bernyanyi separuh meledek: ku cemas gusti, suatu hari nanti aku berubah murahan seperti…
“Ahmad Dhani!!!”
Dasar.
Mungkin karena terlalu asyik bernyanyi, Kharis sempat salah lirik lagu di “Sang Juragan”. Ah tapi jelas itu bukan sesuatu yang mengganggu. Malam itu sungguh menyenangkan. Setelah 10 lagu baru selesai dirampungkan, penonton tak ikhlas melihat Silampukau undur diri. Encore!
Lagu “Cinta Itu” dimainkan sebagai lagu tambahan pertama. Kalau ini, sepertinya hanya sedikit yang tahu. Lagu dari EP pertama ini memang tampak kurang populer. Tapi toh penonton tak mau cuek begitu saja. Mereka menyimak dengan khusyuk.
Saat Silampukau mau pamit, penonton kembali tak rela. Encore lagi! Maka lagu pamungkas “Sampai Jumpa” dimainkan. Ini seperti lagu “Kamu Harus Cepat Pulang” saat Slank tampil. Selalu dimainkan di akhir. Sayang sekali “Berbenah”, lagu favorit sekaligus lagu Silampukau pertama yang saya kenal, tak dimainkan. Tapi sudahlah. Ini malam yang nyaris sempurna. Dan ditutup tanpa cela oleh “Sampai Jumpa”.
Kuharap malam ini indah bagi kita,
kuharap besok-besok tak kalah indahnya,
kuharap akhir kita bukanlah di sini.
Semoga detik ini mengendap selamanya,
semoga rindu tak membebani kita,
semoga.
Sampai jumpa. Sampai jumpa lagi.
Saat bertemu di lain waktu,
sampaikan salam, lambaikan tangan.
Saat bertemu di lain waktu,
senyum yang baru kita ciptakan.
Semoga tak ada salah-salah kata,
semoga kami berkenan di hati anda,
semoga.
Sampai jumpa. Sampai jumpa lagi.
Terima kasih Eki dan Kharis sudah menghadirkan musik dan konser yang menyenangkan kemarin malam. Sori gak sempat pamit, kalian sibuk tanda tangan CD dan foto bareng kawan-kawan. Lain kali kita harus berbincang seharian, sebab aku pengen nulis panjang soal kalian. Oh ya Domi, suwun wis ditraktir mie ayam. Hehehe.
Beberapa tulisan lama soal Silampukau dan Greats bisa dibaca di: sini, sini, sini, sini, sini dan sini.
Menyenangkan sekali ya mas disana, oiya tepatnya mrk membawakan 13lagu,, dan lagu terakhirnya sampai jumpa, dan ditutup satu lagu tambahan yg gada di list yaitu cinta itu,,
Kalau aku ndak salah hitung, harusnya 12. Karena 10 lagu itu dari album terbaru mereka. Lalu encore dua kali. Cinta Itu, sama Sampai Jumpa. Jadi total 12 lagu. Tapi semoga aku ndak salah 🙂 Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak 🙂
hoo,, iya kak, 12lagu bener,, penutupnya cinta itu,,
aku ndak sua Kak Nuran. 🙁
Lho, kamu nonton juga kak? Wah, aku di barisan belakang, ndak bisa maju, penuh 🙁