Akhirnya: CB!

Mungkin sudah 14 tahun berlalu. Tapi saya selalu ingat CB Gelatik dengan tangki warna putih-biru itu. Ia menghadirkan aura klasik, maskulin, dan flamboyan dalam satu waktu. Ketika mesin dihidupkan, brrrrr, terdengar seperti gelatik menggeram ingin kawin –ini imajinasi saya saja sih, mana ada gelatik menggeram.

Mereka yang sering nongkrong di Warung Kopi Toyib, Jember, periode 2004-2007, pasti tahu CB gelatik yang saya maksud. Pemiliknya sering nongkrong siang hingga sore di Toyib. Saya yang SMA waktu itu, langsung jatuh cinta dengan CB keren itu pada pandangan pertama.

Saya sebenarnya nyaris tak punya ketertarikan pada sepeda motor. Waktu SMA, kakak saya membawa motor Tiger. Ayah menawari saya motor yang sama, tapi saya tolak.

Mungkin salah satu titik perubahan terjadi saat saya membaca The Motorcycle Diaries di bangku SMA. Dalam bayangan, rasanya gagah dan menyenangkan naik motor hingga jauh, sama seperti Ernesto Guevara dan Alberto Granado. Melanglang sampai batas yang kamu bisa. Dengan motor tua yang mengalami batuk-batuk dan encok, tapi berupaya bertahan sampai napas terakhir. Buku itu, dan motor CB gelatik yang saya temui di Toyib, membuat saya punya dua cita-cita: beli motor CB yang sama, dan mengendarainya hingga jauh.

Tapi apa daya, sebagai anak SMA dengan dompet tipis, rasanya kok mustahil saya bisa beli motor tua. Dulu ayah mau mewariskan vespa lawasnya, tapi motor itu sudah hilang digondol penipu kampret –saya masih dendam dengan orang itu, mungkin sampai saya mati nanti.

Saya tetap memendam impian bertualang jauh dengan motor. Kesampaian tahun 2009. Saya dan Ayos naik motor Grand Astrea 96, dari Jember hingga Flores. Grand Astrea memang bukan Norton 500 milik Alberto Granado di Motorcyle Diaries. Tapi perasaan diterpa angin dan debu jalanan rasanya mirip-mirip lah. Lalu saya sempat juga naik motor sendirian, dari Jember sampai Lombok.

Meski keinginan naik motor hingga jauh itu sudah lumayan terpuaskan, tapi cita-cita beli motor CB gelatik belum kesampaian. Di 2011, saya sempat menuliskan ini, sebagai bentuk “kredit” saya terhadap mimpi lama. Keinginan punya CB kemudian terlupa dengan sendirinya, walau tiap lihat motor sejenis, ia muncul lagi.

Sejak kerja di Jakarta tahun 2014, saya berusaha menabung. Tapi jangankan bisa beli motornya, buat beli bannya saja saya ndak mampu.

Harapannya adalah honor dari kerja sampingan. Tahun 2016, saya sempat memegang honor yang lumayan besar, cukup untuk beli motor CB. Tapi apa daya, waktu itu kami butuh uang untuk membangun dapur rumah. Dengan berat hati, tapi ikhlas kok, saya merelakan uang itu untuk membangun dapur.

Menikah dan membangun rumah itu prinsipnya sama kok: kerelaan untuk mengalah dan memutuskan mana yang lebih prioritas. Hehe.

Lalu lama lagi saya tak bisa menabung. Hingga akhirnya akhir Desember 2017 kemarin saya dapat pekerjaan sampingan. Honornya lumayan lah. Saya lalu bilang Rani: kali ini izinkan saya egois sedikit, pengen beli motor atuh.

Rani cuma geleng-geleng kepala. Dia mengizinkan saja, karena memang saya nyaris tak punya hobi apa-apa dan beli apa-apa. Walau ia sempat mengingatkan: kita kan mau bikin kitchen set. Hadeeeh. Tapi karena saya lihai merayu, ia luluh jua. Kebetulan ia baru dapat bonus, jadi ada dana yang bisa dicadangkan buat bikin kitchen set.

Awalnya saya sempat ingin beli motor yang ditawarkan seorang kawan. Harganya murah meriah karena ada beberapa masalah di mesin. Setelah hitung-hitungan, rasanya dana buat beli motor plus restorasi masih dalam lingkup bujet saya. Sayang, ketika uangnya sudah ada, motornya sudah laku.

Saya agak patah arang, sih. Menganggap mungkin belum jodoh buat beli motor impian.

Eh ndak berapa lama kemudian, ada orang posting motor CB gelatik dijual di salah satu forum jual beli CB yang saya ikuti. Posisinya kebetulan di Depok, tak jauh dari rumah. Harganya masuk akal, malah jauh lebih murah dari motor yang sempat masuk dalam radar pembelian. Saya langsung menghubunginya.

“Saya butuh uang buat pulang kampung, Mas. Kalau ndak, ya ndak bakal saya jual,” katanya.

Tanggal 18 Februari 2018 akhirnya saya bertemu dengan si penjual motor. Motor ini dasarnya adalah GL 100 tahun 1995. Sudah dibuat model gelatik. Tangkinya warna putih, dengan selarik warna merah –tak jauh beda dengan gelatik putih biru yang dulu saya idamkan,  yang sekarang sudah dapat sebutan sebagai motor Dilan. Lampu sein hidup. Klakson mati. Spion hanya satu, yang kiri. Di tutup aki, ada stiker yang warnanya pudar. Motor ini, walau bukanlah CB asli, tetap menampakkan keanggunan di tengah ruwetnya kabel dan penampilan yang tak terawat.

Saya minta Kresna menemani. Si penjual menyuruh saya mencoba motornya. Saya coba jalan beberapa ratus meter. Oke juga. Ia kemudian mencocokkan nomor rangka dan mesin, mantap. Ia bilang ini mesin Tiger, saya manggut-manggut saja. Lha gimana, saya tidak paham mesin motor. Haha. Jadi ya cukup berbekal pikiran baik dan rasa percaya, akhirnya uang di amplop cokelat itu berpindah tangan.

Waktu pertama kali mengendarainya sendiri: wuiiiih, saya seperti Jon Bon Jovi di video klip “Miracle”. Wajah kena angin malam yang sejuk. Senyum saya lebar mengembang. Lalu… drrrt. Motornya mati, dan saya sedikit terdorong ke depan. Saya salah menginjak gigi.

Saya memang tidak pernah menyetir motor kopling dengan serius. Dulu Budi pernah mengajari saya, cuma saya sudah lupa caranya. Kresna yang mengikuti saya dari belakang hanya cengengesan. Mungkin pikirnya, “Cah pekok, gak bisa motor kopling sok-sokan beli motor kopling.”

Dengan penuh perjuangan, saya toh akhirnya sampai juga. Menyetir motor rasanya tak pernah selelah ini.

Sampai rumah, saya WA si Fahmi. Dia lama pegang motor Megapro, sebelum akhirnya motor itu digondol maling. Bersama nyaris semua teman akrab saya, Fahmi adalah orang yang sering meledek saya perkara motor. Apalagi dulu saya pernah tidak ganti oli motor selama beberapa bulan, dan tak tahu kalau oli motor matic bisa kering.

Waktu saya ceritakan kalau saya mau beli motor CB, kawan-kawan saya ini meledek. Cari penyakit, kata mereka. Saya cuma bisa misuh-misuh. Saya kemudian cerita pengen turing pakai CB ini.

“Ah elah, oli gak pernah ganti aja sok-sokan mau turing.”

“Hadeh, letak busi dan karburator aja gak tau kok mau sok-sokan turing.”

Jancok tenan.

Tapi toh akhirnya Fahmi memberi kursus singkat mengendarai motor kopling. Bagaimana memasukkan gigi, kapan harus menekan kopling, dan bagaimana menurunkan gigi dan menetralkannya. Sumpah, saya sebelumnya buta soal ini. Saya juga sempat khusyuk nonton video tutorial cara mengendarai motor kopling di Youtube.

Setelah dua hari beli motor, akhirnya saya berani mengendarai CB ini ke kantor. Wuiiih, rasanya senang dan lega begitu sampai kantor. Norak ya? Babahno.

Beberapa hari kemudian, kebetulan saya dapat rejeki tambahan lagi. Saya pakai untuk merestorasi motor. Ganti tangki, ganti jok, ngecat mesin, hingga urut kabel. Biar motor enak dipandang dan nyaman dikendarai. Hasilnya lumayan lah, walau masih butuh tambahan perbaikan sana-sini.

                                                                               Gak buruk kan?

Saya memilih untuk pelan-pelan saja. Soalnya, kata kawan saya, motor ini gak bakal ada habisnya buat dikulik. Uang seberapa aja gak bakal cukup kalau nurutin motor. Jadi mending pakai gigi satu saja dulu.

Oh ya, biar sama seperti Ernesto dan Alberto, saya juga ingin menamai motor saya. Awalnya ingin saya kasih nama El Capitano. Sok-sokan niru El Poderosa. Lalu kepikiran nama Munaroh, sosok idola saya dari serial Si Doel Anak Sekolahan. Tapi ndak jadi ah. Saya akhirnya pakai nama Che untuk motor merah putih ini. Kalian tahu lah dari siapa nama itu diambil.

Rencana ke depan, saya ingin mengurus STNK dan pajak motor yang sudah pulas terlalu lama. Setelahnya, di 2019, saya ingin melaksanakan mimpi lain saya bareng Budi: mudik ke Jember naik motor. Kalau itu sudah terwujud, mari bermimpi lagi untuk Sulawesi!

4 thoughts on “Akhirnya: CB!

  1. Soal CB, yang berkerak di ingatan adalah cerita Bapak yang menyebut penulis Darmanto Jatman selalu menaiki CB-nya ke sana ke mari. Bapak memergokinya beberapa kali di Semarang di era 70an.

    Setelah itu, CB hadir lewat Pak Hadi, drummer band lagu nostalgia, yang kerap ngeband di sebelah rumah. Ia habiskan segepok uang untuk membangun CB sampai tandas. Kinclong sekali motor itu dengan tangkinya yang berwarna abu-abu.

    CB memang bukan sekadar motor. Ia adalah cerita tersendiri.

    1. Wah asyik sekali ceritanya, Mas. Semoga kapan-kapan Mas Ryan sempat menulisnya lebih panjang. Bakal asyik.

Leave a Reply

Your email address will not be published.