Manusia dalam dunia kopi mungkin terbagi dalam dua golongan: golongan romantis, dan golongan non-romantis. Ini tentu pengelompokan secara asal. Iseng belaka. Tentu tak bisa dijadikan patokan standar.

Sementara golongan non-romantis suka ngopi di tempat yang cozy, dengan sofa empuk, pendingin udara, plus jaringan internet nirkabel; para golongan romantis lebih suka mencari tempat ngopi yang biasanya punya sejarah panjang dan cerita menarik. Biasanya pula, tempat ini terkesan jauh dari nyaman.

Sekali lagi, ini adalah pengelompokan berdasarkan keisengan. Margin of error-nya jelas sangat tinggi.

* * *
Jambi sedang panas-panasnya di bulan Agustus. Matahari seperti sejengkal di atas kepala. Apesnya, saya sedang berada di Pasar Simpang Duo untuk mengantar istri dan keluarga besarnya mencari beberapa barang kebutuhan. Menurut teman saya, Iqbal Aji Daryono, kesabaran lelaki itu diuji saat harus menemani perempuan belanja. Sayangnya, saya bukan orang sabar.

 

Untunglah, saat sedang melewati jejeran toko, mata saya tak sengaja menumbuk warung kopi. Dari jauh, warung kopi ini tampak tak punya niat sebagai warung kopi. Berdiri di bangunan ruko dengan cat tembok yang mengelupas. Besar kemungkinan umur cat itu lebih tua ketimbang umur saya. Koloni cendawan menempel di tembok. Suasana tua juga hadir dalam jejeran kalender toko emas yang ditempel di tembok. Daftar menunya tulisan tangan, dengan tinta yang sudah pudar, dan ditempel di tembok.

Terang Bulan
Dapur kedai Terang Bulan dengan gelas-gelas berjajar. © Nuran Wibisono

Saya membaca daftar menu itu: Menu “halal”, mulai pempek, nasi goreng, nasi tim ayam, hingga sop ikan. Saya bertanya-tanya, mana menu non halalnya? Makan mie pangsit dengan minyak babi sepertinya lumayan enak di siang yang terik macam ini. Sayang, menu non halal tak ada.

Kedai ini cuma punya sekitar 5 meja. Cukup buat sekitar 20 orang saja. Namun ini yang menarik saya: banyak orang tua ngopi di sana.

Sekali lagi, saya suka seenaknya sendiri dalam menilai sesuatu. Menurut saya, kalau ada warung kopi yang kebanyakan konsumennya adalah orang berusia lanjut, mampirlah. Kalian pasti mendapatkan nuansa dan suasana yang menarik. Belum lagi cerita-cerita dari mereka yang terkesan sangat sureal. Macam dongeng di buku-buku Gabriel Garcia Marquez.

Akhirnya saya memutuskan untuk berpisah jalan dengan istri dan keluarga besar. Saya memilih untuk singgah di Terang Bulan, nama kedai kopi itu. Sedang istri dan keluarga besar meneruskan belanja.

Pilihan saya tak salah. Kedai kopi ini menarik. Bayangkan, kedai ini terletak di ramai pasar Angso Duo, pasar terbesar dan teriuh di Jambi. Orang-orang berbelanja, lalu lalang, bergegas. Sementara itu, dunia seperti berhenti di Terang Bulan. Beberapa orang rehat sejenak di kedai Terang Bulan, menikmati kopi atau kopi susu, sembari berbual soal politik nasional hingga gosip politisi lokal. Kurang puitis apa coba?

Pemilik kedai ini adalah seorang Tionghoa berusia 70-an tahun. Sayang ia sedikit pemalu dan menjaga jarak dengan saya. Tak mau menyebut nama. Walau senyum tak pernah absen. Salah seorang kawan saya bercerita, beberapa orang Tionghoa sedikit takut dengan orang yang banyak bertanya. Apalagi yang membawa kamera.

“Takut dipajak lebih tinggi,” katanya.

Ini mungkin terkait dengan trauma akibat perlakuan tak mengenakkan yang menimpa orang Tionghoa pada masa lalu. Namun meski menjaga jarak, Opa masih menyilakan saya mengambil gambar di dapurnya yang klasik itu. Ia juga sesekali bercerita soal sejarah kedai kopi Terang Bulan.

Terang Bulan
Pemilik kedai Terang Bulan. © Nuran Wibisono

Sang opa tua ini, mari sebut ia Fulan, sudah memulai kedai Terang Bulan sejak tahun 70-an. “Dulu tempat ini di dekat (bioskop) Presiden,” katanya sembari meracik kopi susu pesanan saya.

Bioskop Presiden Jambi dulu pernah berjaya di era 70 hingga pertengahan 90-an. Di masa senjakalanya, karena kepayahan melawan dominasi jaringan bioskop 21 dan munculnya pemutar video rumahan, bioskop ini memutar film-film seronok untuk menarik penonton.

Menariknya, walau sudah lama gulung tikar, masih terpajang poster film yang terakhir diputar di Bioskop Presiden. Dari poster lukisan tangan itu, saya jadi tahu tiga film terakhir yang diputar di sana. Yang pertama adalah Kenikmatan Tabu (1994) yang dibintangi bom seks zaman itu, Kiki Fatmala dan Inneke Koesherawati. Film ini konon jadi salah satu film erotik legendaris Indonesia. Pasti ada ratusan, bahkan ribuan, remaja yang berfantasi nakal pada dua orang aktris film ini. Mungkin kamu salah satunya?

Lalu ada film India yang judulnya sudah tak jelas. Tapi film ini dibintangi oleh Akshay Kumar dan Mamta Kulkarni. Saat saya Googling, ternyata film ini judulnya Sabse Bada Khiladi (1995). Cukup hits pada zaman itu. Hail Google!

Yang terakhir adalah Roda-roda Asmara di Sirkuit Sentul (1995) yang dibintangi oleh Inneke Koesherawati, Febby R. Lawrence, dan Alvin Bahar. Ini film terkenal sekali waktu itu. Informasi tentang film ini bahkan muncul di situs film populer, IMDB.

Sejak dulu, pelanggan Terang Bulan adalah para pedagang di pasar, atau orang-orang yang pulang menonton bioskop. Banyak pula yang menanti jam dimulainya film sembari ngopi dan mengudap di Terang Bulan.

Namun pada tahun 2010, sang opa yang kulitnya dipenuhi keratosis seberoik ini memindahkan kedainya ke tempat yang sekarang. Ia tak bercerita kenapa pindah. Namun karena sudah punya banyak langganan tetap, kedai kopi ini masih ramai dijejali pelanggan.

Saat saya datang, ada sekelompok opa-opa Tionghoa yang sedang berbincang dengan Bahasa Mandarin. Klasik benar. Saya merasa sedang ngopi di wilayah peranakan di Singapura, atau Hongkong. Dengan nuansa seperti ini, Terang Bulan sedikit banyak mengingatkan saya pada kedai kopi Tak Kie di Glodok sana.

Opa Fulan punya stok kopi sendiri. Saya sempat mengira ia memakai kopi AAA khas Jambi. Banyak orang Jambi yang saya kenal, termasuk istri saya, sangat fanatik dengan kopi AAA ini. Tapi ternyata sang Opa Fulan tak memakai kopi ini.

“Saya pakai kopi langganan sendiri. Buatan orang Cina di Jambi,” katanya sembari menyebutkan sebuah merek kopi. Sayang sekali ia tak jelas menyebutkan mereknya itu. Jadi saya alpa menghafalnya, apalagi menuliskannya.

Terang Bulan
Kudapan ringan sebagai teman menikmati kopi. © Nuran Wibisono
Selain kopi, Terang Bulan juga menyajikan roti telur kaya. Ini kudapan yang sungguh sedap. Setangkup roti tawar klasik, bukan buatan pabrik, dioles telur yang sudah dikocok. Lalu dipanggang di atas teflon hingga kuning kecoklatan. Lalu disajikan dengan selai kaya yang legit. Ini kudapan khas warga peranakan. Juga kerap ditemui di kopitiam-kopitiam yang menyajikan masakan dan kudapan khas peranakan.

Matahari sudah lumayan turun. Istri saya datang bersama barang belanjaan. Waktunya saya pergi. Sebelum pamit, saya sempat janjian dengan Opa Fulan untuk ngobrol lebih banyak.

“Iya, besok datang aja lagi. Kita ngobrol,” katanya pendek.

Esok hari, saya datang lagi. Tapi sayang, Opa Fulan tak ada di tempat. Saya menunggu hingga kedai kopi ini tutup. Meminum dua gelas besar kopi es. Tak jua ia datang. Kata sang pelayan, Opa sedang belanja dan ada jadwal membuat selai kaya. Sial sekali saya. Padahal besok saya sudah harus kembali ke Jakarta.

Mungkin nanti lagi, kalau saya balik ke Jambi, kita berbincang lagi ya Opa. Sampai saat itu datang, sehat terus ya.