Saya tak pernah menyangka kalau les bahasa Inggris di Eddy’s pada tahun 2000-an, bisa mengubah sedikit banyak hidup saya.
Setiap pulang les, selepas Maghrib, saya selalu jalan kaki. Dari Pertokoan Mutiara –tempat les saya berada di ruko– menuju Sumber Mas, nama sebuah supermarket yang hangus terbakar pada 15 Januari 1998. Meski supermarket itu sudah lama tak ada, kawasan yang sebenarnya masuk dalam Jalan Sultan Agung itu masih dikenal sebagai Sumber Mas. Dulu di sana adalah tempat ngetem angkot menuju Arjasa, rumah saya.
Setiap pulang itu lah, saya selalu melewati seorang penjual kaset bekas. Namanya Erwin. Saya pernah menulis tentangnya. Sekitar tahun 2005, dia memindah lapaknya di daerah kampus Universitas Jember. Saya lantas berteman akrab dengannya.
Dari tumpukan kaset bekas yang ia jual itu, saya tahu Motley Crue. Kaset Greatest Hits Motley Crue yang bersampul gambar kartun empat personel itu saya beli di Erwin. Dari sana saya memulai penjelajahan terhadap musik hair metal.
Sebelumnya saya cuma tahu Guns N Roses. Juga White Lion dan Skid Row. Saat itu saya belum tahu kalau scene hair metal ternyata punya banyak sekali band.
Setelah saya dengar Motley Crue, saya jatuh cinta. Apa boleh buat. Hook gitar Mick Mars sangat menempel di ingatan. Suara Vince Neil yang sedikit sumbang dan sengau itu juga tak mau minggat dari pikiran.
Di warnet yang berada di seputaran kampus lantas saya mencari berbagai informasi tentang Motley Crue. Saya terngaga begitu membaca kisah-kisah — terdiri dari seperempat fakta, seperempat legenda, seperempat omong kosong, dan seperempatnya lagi kebohongan — tentang Motley Crue.
Kisah yang paling saya ingat adalah saat Vince Neil menghantam Izzy Stradlin karena menggoda istrinya. Lalu Axl Rose tak terima dan menantang Vince berkelahi. Ini adalah fakta.
Yang bohong adalah saat sebuah situs konspirasi tak jelas menulis kalau Vince sengaja membunuh Razzle, drummer Hanoi Rocks, karena takut kalah tenar. Penulisnya mungkin terlalu banyak menonton sinetron Indonesia.
Setelah beranjak dewasa, saya tahu kalau berita itu bohong dan sampah belaka. Vince sangat terpukul dengan kecelakaan yang menimpanya dan Razzle. Ia bahkan sempat depresi berat. Album ketiga Motley, Theatre of Pain, adalah bentuk persembahan pada Razzle.
Kisah lucu lainnya adalah para personel Motley Crue dikabarkan sebagai penyembah setan karena menampilkan gambar pentagram dalam album Shout at the Devil.
Yang legendaris? Tentu kisah Nikki Sixx bangkit dari kematian. Remaja mana yang tak merinding, takjub, dan setengah girang membaca Nikki sempat mati dan hidup lagi setelah jantungnya dihunjam dua ampul adrenaline. Setelah bangun, alih-alih minta dirawat, ia malah melepas alat bantu pernafasannya. Dengan setengah telanjang ia pergi ke parkiran dan bertemu dua orang fans perempuan yang sedang menangis. Mereka kaget Nikki masih hidup dan berjalan menghampiri. Ia lantas minta diantar ke rumah seorang kawan. Sampai di sana Nikki kembali mabuk.
Wahai junjunganku!
Kisah lain yang mewarnai hidup para remaja tanggung adalah bagaimana Tommy Lee meniduri Pamela Anderson: perempuan idaman para lelaki dewasa dan bocah penyuka Baywatch. Termasuk saya. Setelah beberapa hari kencan, mereka berdua memutuskan untuk menikah.
Saya paham alasannya setelah video seks mereka tersebar. Ukuran penis Tommy yang lebih mirip pentungan itu jelas membuat Pamela kesengsem dan keenakan. Sekaligus membuat saya heran, kenapa Tommy tak banting setir jadi bintang porno selepas Motley Crue? Duitnya jelas lebih besar ketimbang membuat musik jelek dan jadi DJ medioker.
Mick Mars juga meninggalkan bayangan yang sukar dienyahkan. Saat Motley Crue akan reuni, Mick adalah personel yang paling sukar dicari. Ketika ketemu, ia berada di kamar yang jorok, gelap, dengan keadaan yang nyaris mati karena tak terawat.
Karena lagu-lagunya yang enak, juga bersemangat karena didorong berbagai kisah ajaib nan legendaris, saya mulai memburu kaset Motley Crue. Tentu tak bisa dengan cepat. Uang jajan terbatas. Maklum, baru bocah berseragam putih biru.
Setelah uang terkumpul, album Motley Crue pertama yang saya beli jatuh pada Dr. Feelgood, karena Greatest Hits tak saya hitung sebagai album studio. Waktu itu saya berpikir pragmatis saja: banyak lagu hits dari album Dr.Feelgood. Belakangan saya tahu kalau pilihan saya tak salah. Itu album terbaik mereka. Ya walaupun penilaian ini sangat subyektif.
Beberapa orang lebih suka Too Fast for Love yang lebih mentah dan kasar. Ada pula yang lebih suka Shout at the Devil karena menunjukkan kematangan musikalitas Motley. Dan beberapa suka album Motley Crue karena ada John Corabi yang membawa warna lain bagi Motley Crue.
Tapi tetap, bagi saya, Dr. Feelgood adalah yang terbaik. Album ini perpaduan paripurna dari musikalitas afdal –hook gitar yang memorable sampai dengan unsur pop di antara sound hard rock dan heavy metal– keberhasilan memasukkan kisah hidup dalam lagu, energi baru setelah berhasil melewati berbagai drama hidup yang macam roller coaster, serta kombinasi komplit antara citra dan musik.
Tanggal 1 September silam album ini merayakan usia yang ke 26. Usia yang lumayan panjang. Apalagi untuk band yang hidup ugal-ugalan, para personelnya diprediksi bakal mati mengenaskan sebelum umur 40, dan dianggap band dari genre yang “…menarik musik metal ke derajat paling rendah”.
Sulit untuk menolak fakta bahwa album ini sangat solid. Bahkan lagu “Rattlesnake Shake” yang funky dan memiliki semua potensi untuk jadi radio single, tertutup oleh lagu-lagu lain yang jauh lebih dahsyat.
“Dr Feelgood” membuka album ini tanpa tedeng aling-aling. Ini kalau kita mengabaikan “T.N.T (Terror ‘n Tinseltown)” yang hanya berdurasi 44 detik itu. Hantaman gitar yang berat itu. Juga hook gitar di bagian intro, siapa yang bisa lupa?
Karakter Jimmy di lagu ini nyaris sama ikoniknya dengan Ricky di lagu “18 and Life” milik Skid Row. Ia mengendarai Chevy 65, mengedarkan heroin, sosok glamor, dan panggilannya adalah Dr. Feelgood. Karena dia bisa membuat kamu merasa nyaman, sekaligus menghantuimu seperti Frankenstein.
Mick Mars seperti menggeram dan memanggilmu untuk moshing di lagu “Kickstart My Heart”, sebuah ode untuk nyawa Nikki yang sempat terbang, namun kembali lagi.
Lagu ini punya reff yang megah. Anthemic. Cocok sekali untuk dimainkan di segala tempat pun suasana. Mau di bar sempit yang penuh asap rokok dan bau pesing, boleh. Atau di stadion besar dengan penonton puluhan ribu, sikat Jon! Pasti akan mengundang koor para penonton.
Dan Mick Mars, aduh, sang hair metal wizard itu memang brutal kalau sudah diberi gitar. Di bagian akhir lagu, dia mengamuk memakai talk box. Membuat “Livin on A Prayer” seperti ajang Richie Sambora berlatih memainkan talk box.
Tommy Lee, sebelum meniduri Pam, sempat menjalin hubungan romantis –berujung pernikahan– yang berjalan cukup lama dengan Heather Locklear. Kisah cinta mereka bisa dibaca di biografi Motley Crue, The Dirt.
Kisah cinta mereka mengilhami “Without You”, lagu rock romantis yang selalu ada di setiap kompilasi Love Rock atau Slow Rock. Video klipnya yang surealis juga membuat saya bengong saat pertama kali melihatnya. Apa-apaan ini kok ada piramida dengan mata, kunci melayang, dan jaguar?
Lagu “Don’t Go Away Mad (Just Go Away)” menghadirkan rock riang gembira. Dengan video klip yang juga menghibur dan dipungkasi dengan satu band berlatih bersama. Ini sebenarnya sedikit ironis dan menipu. Karena nyatanya album Dr. Feelgood direkam terpisah, agar para personel Motley tak saling bertengkar satu sama lain.
Produser Bob Rock bahkan mengatakan betapa sulitnya menangani Motley Crue di album ini, karena mereka “…empat orang bajingan Los Angles yang setiap saat selalu mabuk dan ingin membunuh satu sama lain.”
Mahakarya dari 1989 ini ditutup oleh lagu yang paling menarik sekaligus paling menyedihkan: “Time for Change”. Lagu itu ibarat nubuat bagi nasib, tak hanya Motley Crue, tapi juga para band-band hair metal saat demam grunge mulai datang. Suara Vince terdengar parau, sekaligus getir. Seperti tahu kalau hidupnya bakal berat selepas dekade 80.
I heard some kids telling me
How they’ve lost all the faith, in the way
Selepas era 80-an berlalu, angin musik yang awalnya berpusat di Los Angeles bertiup ke arah Seattle. Para anak-anak muda sudah bosan dengan dandanan ala band hair metal, juga gaya hidup mereka yang glamor. They have lost all the faith. Mereka lebih menyukai Nirvana, Pearl Jam, atau Alice in Chains. Lebih apa adanya. Membumi. Dan akrab dengan kelas pekerja.
The lines on their faces so deep, yeah
A revolution, or reach out
And touch the day
We’re overdue, child
Era hair metal sudah usai. Saatnya para band hair metal mengepak segala macam alat musik mereka. Kembali manggung di bar kecil dengan bayaran yang hanya cukup untuk beli satu botol Jack Daniels. Kevin DuBrow mulai botak, bangkrut sampai picis terakhir hingga harus hidup menumpang di rumah orang tua. No more cherry pie for them, even for Jani Lane.
I feel the the future
In the hands of our youth
No more lies
Jalan sejarah musik rock dan metal kini ada pada tangan anak-anak yang lebih muda. Kurt Cobain, Jerry Cantrell, Perry Farrell, atau Eddie Vedder. Mereka tampak lebih nyata, tanpa polesan. Tak seperti dunia glam rock yang penuh dengan bedak dan pesta pora yang melelahkan.
Change
Now it’s time for change
Nothing stays the same
Now it’s time for change
Akhirnya perubahan lah yang menang. Slash dan Duff keluar dari Guns N Roses. C.C DeVille dipecat dari Poison. Segala macam band tiga huruf macam XYZ, Y&T, TNT, atau KIX, bubar jalan dan belajar main scrabble. Blackie Lawless entah ke mana. Dee Snider jadi tua dan penggerutu. Joe Leste menekuni pekerjaan sebagai vokalis band kover AC/DC di Las Vegas.
Motley Crue? Vince Neil dipecat dan digantikan oleh John Corabi. Merilis album Motley Crue dan gagal di pasaran. Formasi lama kembali dan merilis Generation Swine pada 1997. Tetap babak belur di pasaran. Lantas Nikki Sixx membuat beberapa band baru. Begitu pula Tommy Lee yang bahkan sempat jadi DJ –bodohnya dia menolak tawaran jadi bintang porno. Tak ada karya mereka yang benar-benar bagus, kalau tak mau menyebutnya sampah belaka.
Apa yang patut dirayakan dari Motley Crue? Ya nostalgia. Apalagi tahun ini adalah tahun terakhir Motley Crue bermusik. Tahun depan sudah tak ada lagi Motley Crue. Walau saya masih sangsi. Motley Crue masih akan tetap ada selama mereka masih butuh uang.
Meski akhirnya Motley Crue benar-benar bubar, saya yakin mereka dan album Dr. Feelgood akan terus dikenang. Hingga 10, 20 tahun, bahkan hingga 50 tahun lagi. Siapa yang tahu.
Apalagi jika kamu menyempatkan diri melongok fanspage Nikki Sixx dan mengetahui fakta bahwa banyak sekali anak-anak usia 9 hingga 10 tahun ikut diajak menonton konser Motley Crue oleh orang tuanya. Wajah anak-anak itu girang sekali. Seperti jatuh cinta pada musik untuk pertama kalinya. Sama seperti saya saat mendengar lagu “Dr. Feelgood” pertama kali dan memaki kalau lagu ini brengsek betul.
Penggemar musik selalu beregenerasi. Itu kenapa musik yang baik, termasuk Dr. Feelgood, tak akan pernah mati. []